Monday, November 2, 2015

KETINGGIAN HAMPIR MEMBUNUHKU

Ada yang berbeda pagi itu saat Saya mencapai Shelter 3 Gunung Kerinci. Sesaat menapakan kaki di area Selter 3 ini, tiba- tiba saja Saya sangat susah untuk bernafas, padahal Saya tidak mempunyai riwayat penyakit asma. Mungkin kawan pendaki tahu, saat ulu hati kita dipukul dengan keras, dan itu jelas membuat nafas kita terhenti dan kesusahan untuk bernafas kembali ? Seperti itulah yang Saya rasakan saat itu. Sampai- sampai Saya tertunduk dan akhirnya rebah, rata dengan batas vegetasi Shelter 3 Kerinci.


Gunung Kerinci (juga dieja "Kerintji", dan dikenal sebagai Gunung Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi di Sumatra, gunung berapi tertinggi di Indonesia, dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua. Gunung Kerinci terletak di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan terletak sekitar 130 km sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat dan merupakan habitat harimau sumatra dan badak sumatra.

Puncak Gunung Kerinci berada pada ketinggian 3.805 mdpl, di sini pengunjung dapat melihat di kejauhan membentang pemandangan indah Kota Jambi, Padang, dan Bengkulu. Bahkan Samudera Hindia yang luas dapat terlihat dengan jelas. Gunung Kerinci memiliki kawah seluas 400 x 120 meter dan berisi air yang berwarna hijau. Di sebelah timur terdapat danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di Sumatera. Di belakangnya terdapat gunung tujuh, danau tertinggi di Asia Tenggara dengan kawah yang sangat indah.

Gunung Kerinci termasuk dalam bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). yang memiliki luas 1.484.650 hektare hutan konservasi dan terletak di wilayah empat provinsi, dan sebagian besarnya berada di wilayah Jambi.

Gunung Kerinci terletak pada koordinat 1°41′48″LU101°15′56″BT dan pertama didaki oleh Von Hasselt and Veth pada Tahun 1877. Gunung ini dapat ditempuh melalui darat dari Jambi menuju Sungaipenuh melalui Bangko. Dapat juga ditempuh dari Padang, Lubuk Linggau, dan Bengkulu. Dengan pesawat terbang dapat mendarat di Padang atau Jambi.

Pendakian ke puncak Gunung Kerinci memakan waktu dua hari mulai dari Pos Kersik Tuo. Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro berada pada ketinggian 1.400 mdpl dengan penduduk yang terdiri dari para pekerja perkebunan keturunan Jawa, sehingga bahasa setempat adalah bahasa Jawa. Dari Kersik Tuo kita menuju ke Pos penjagaan TNKS atau R10 pada ketinggian 1.611 mdpi dengan berjalan kaki sekitar 45 menit melintasi perkebunan teh.

Pondok R 10 adalah pondok jaga balai TNKS untuk mengawasi setiap pengunjung yang akan mendaki Gunung Kerinci. Dari R10 kita menuju ke Pintu Rimba dengan ketinggian 1.800 mdpl, Jaraknya sekitar 2 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Medannya berupa perkebunan/ ladang penduduk, kondisi jalan baik (aspal) sampai ke batas hutan.

Pintu Rimba merupakan gerbang awal pendakian berada dalam batas hutan antara ladang dan hutan heterogen sebagai pintu masuk. Di sini ada lokasi shelter dan juga lokasi air kurang lebih 200 meter sebelah kiri. Jarak tempuh ke Bangku Panjang 2 km atau 30 menit perjalanan, lintasannya agak landai memasuki kawasan hutan heterogen.

Pos Bangku Panjang dengan ketinggian 1.909 mdpl, terdapat dua buah shelter yang dapat digunakan untuk beristirahat. Menuju Batu Lumut medan masih landai jarak 2 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit melintasi kawasan hutan. Pendaki dapat beristirahat di Pos Batu Lumut yang berada di ketinggian 2.000 mdpl, namun di sini tidak ada shelter-nya. Terdapat sungai yang kadang kala kering di musim kemarau.

Untuk menuju Pos 1 yang berjarak sekitar 2 km dari Batu Lumut kita membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Jalur memasuki kawasan hutan yang lebat dan terjal dengan kemiringan 45 hingga 60 derajat.

Pos 1 ini berada di ketinggian 2.225 mdpl dan terdapat sebuah pondok yang dapat digunakan untuk beristirahat. Untuk menuju Pos 2 jarak yang harus ditempuh sekitar 3 km dengan waktu tempuh 2 jam. Di lintasan ini kadang kala dijumpai medan yang terjal dengan kemiringan hingga 45 derajat tetapi masih bertemu dengan medan yang landai.

Terdapat sebuah Pondok yang sudah tua di Pos 2 (shelter 1) yang berada di ketinggian 2.510 mdpl, di sini pendaki dapat beristirahat. Untuk menuju Pos 3 jarak yang harus ditempuh adalah 2 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Di lintasan ini dapat kita jumpai tumbuhan paku-pakuan dengan kondisi hutan yang agak terbuka.

Terdapat Pondok yang sudah rusak tinggal kerangkanya di Pos 3 (shelter 2) yang berada di ketinggian 3.073 mdpl. Di tempat ini pendaki dapat beristirahat dan masih nyaman untuk mendirikan tenda karena masih terlindung oleh pepohonan. Waktu tempuh untuk menuju puncak dari pos ini sekitar 4 jam.

Untuk menuju ke Pos 4 jarak yang harus ditempuh sekitar 1,5 km, memerlukan waktu sekitar 1,5 jam. Kondisi jalur berupa bekas aliran air sehingga akan berubah menjadi selokan bila turun hujan. Pos 4 (shelter 3) berada pada ketinggian 3.351 mdpl, tempat ini cukup lapang dan bisa untuk mendirikan beberapa tenda, namun cuaca di sini sering kali tidak bersahabat. Lintasan selanjutnya untuk menuju puncak berupa pasir dan batuan cadas. Jarak tempuh menuju puncak 2 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Di lintasan ini pendaki perlu ekstra hati-hati.

Kejadian susah untuk bernafas di Shelter 3 Gunung Kerinci yang telah Saya ceritakan di awal tulisan ini terjadi di Tahun 1996, di mana Saya mendapatkan kesempatan untuk mendaki ke Gunung Kerinci ini untuk yang kesekian kalinya. Jalur trek gunung Kerinci ini seperti biasanya, saat itu  Saya selesaikan dalam waktu satu malam. Naik start dari Pintu Rimba sekitar jam 14:00 WIB dan sampai di Shelter 2 sekitar jam 21:00 WIB. Istirahat sebentar, kemudian jam 4 paginya dilanjutkan menuju ke Shelter 3 untuk sunrise attack. Demikianlah yang selalu Saya jalani saat mendaki ke Kerinci.

Saat itu perjalanan ke Shelter 3 dapat Saya tempuh dalam waktu 1 jam. Hari masih gelap karena masih jam 5:00 pagi.

Kurang lebih lima menit lamanya Saya rebah di tanah saat itu dengan nafas tersengal- sengal. Saya merasakan badan Saya sehat, namun oksigen yang Saya hirup terasa susah sekali untuk mengumpulkannya ke dalam paru- paru.

Alhamdulillah, sedikit demi sedikit oksigen tersebut terasa agak banyak Saya dapatkan. Perlahan berusaha untuk mencari udara kembali dan tidak beberapa lama kemudian Saya sudah mulai dapat bernafas dengan normal. Saat Saya mencoba untuk duduk, sinar Matahari pagi baru saja membias dari belakang Gunung Tujuh di arah Timur. Ini waktunya sunrise hunting…

Kawan pendaki, Saya baru saja menginformasikan bahwa Saya sudah terkena efek buruk karena pendakian dengan kecepatan tinggi. Saya terlalu cepat mencapai ketinggian 3.351 mdpl dalam waktu hanya beberapa jam saja. Biasanya tidak terjadi hal seperti itu terhadap Saya, karena naik ke Kerinci bukanlah trek baru bagi Saya. Namun tekanan barometric yang besar dan suhu yang juga rendah pagi itu membuat tubuh Saya bereaksi sedemikian rupa.

Udara di ketinggian umumnya dikira rendah oksigen, tetapi ini tidak benar. Udara, di tingkat manapun, mengandung oksigen 20,93%, 0,03% karbon dioksida dan nitrogen 79,04%. Sebaliknya, seperti meningkatkan elevasi, oksigen memiliki tekanan parsial semakin rendah.Pada setiap titik di bumi, udara lebih yang berada di atas titik itu, semakin besar tekanan barometriknya. Ini adalah prinsip yang sama seperti berada di bawah air. Semakin penyelam turun lebih dalam, ada lebih banyak air di atasnya dan semakin besar tekanan.

Pada permukaan laut, udara memberikan tekanan sekitar 760mmHg. Pada puncak Gunung Everest, 8.848m (29.028 kaki) di atas permukaan laut, udara hanya memberikan sebuah tekanan sekitar 231mmHg dan pada ketinggian 3.000m sekitar 534 mmHg. Pada ketinggian 3.000 mdpl menyebabkan oksigen yang dihirup hanya sekitar 15% dari yang biasa dihirup, atau berkurang 29% dibandingkan oksigen pada permukaan laut.

Ingat,,, bahwa setelah kita hirup, oksigen dalam alveoli (kantung udara kecil di paru-paru) lolos ke darah untuk diangkut ke jaringan. Pertukaran gas antara alveoli dan darah ini terjadi karena perbedaan tekanan yang disebut gradien tekanan. Tekanan oksigen dalam alveoli lebih besar dari tekanan oksigen dalam darah sekitar paru-paru. Hal ini mendorong oksigen dari paru ke dalam darah. Itu masuk akal, bahwa setiap penurunan tekanan oksigen memasuki paru-paru akan mengurangi perbedaan tekanan atau gradien. Pada ketinggian, itulah yang terjadi.

Dengan tipisnya kadar oksigen di ketinggian, hipoksia (keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk menjamin keperluan hidupnya) akan mendorong terjadinya vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) pada paru. Ini bertujuan agar oksigen yang dihantarkan ke tubuh tetap cukup, meski oksigen di udara lebih rendah. Vasokonstriksi pulmoner (penyempitan pembuluh darah pada paru) yang berlebihan pada akhirnya dapat menyebabkan hipertensi pulmoner dan kegagalan jantung kanan yang disebabkan oleh peningkatan Tekanan Arteri Paru ( Pulmonary Arterial Pressure [PAP] ) dan high altitude pulmonary oedema (HAPE).

Ini pertama ditemukan pada prajurit India, yang ditempatkan di ketinggian 5.800 – 6.700 meter dan bayi bangsa Han di Lhasa. Mereka mengalami gagal jantung kanan dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan, setelah tinggal di dataran tinggi.

Pada kasus Saya ini, sebagai pendaki gunung Saya terlalu cepat mencapai titik di suatu ketinggian. Oleh karena itu Saya terkena Hipoksia dan dengan mudahnya terserang HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA (HAPE). HAPE merupakan penyebab tersering kematian akibat ketinggian. Angka kematian HAPE tanpa penanganan bisa 50% namun dengan penanganan yang baik angka kematian bisa ditekan sampai di bawah 3%.

Cara lain untuk mengatasinya ialah dengan bernafas dalam-dalam dan cepat agar oksigen banyak yang masuk kedalam sistem pernafasan kita, tapi cara ini sangat melelahkan dan lama - kelamaan akan menimbulkan pusing atau bahkan mual akibat pengaruh kehilangan karbon dioksida.

Mungkin hal semacam ini dapat Saya hindari lebih awal dengan melakukan aklimatisasi terlebih dahulu di Shelter 2 pada elevasi 3.073 mdpl, sehingga tubuh Saya dapat beradaptasi lebih lama untuk ketinggian tersebut dan tidak perlu merasakan sesak nafas tersebut.

Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyesuaian fisiologis  atau  adaptasi  dari suatu organisme  terhadap suatu lingkungan  baru yang akan dimasukinya. Aklimatisasi adalah adaptasi atau penyesuaian diri terhadap keadaan lingkungan baik ketinggian, iklim maupun cuaca di lingkungan.

Merurut hasil suatu penelitian untuk atlet olah raga, aklimatisasi penuh untuk ketinggian membutuhkan 4 sampai 6 minggu lamanya agar atlet tersebut dapat bertanding maksimal. Dan diperlukan waktu sekitar dua minggu untuk beradaptasi dengan perubahan terkait dengan kondisi hypobaric di elevasi 2.268 mdpl (7500 ft).

Bagi kita para pendaki, mungkin tidak perlu menghabiskan waktu berminggu- minggu untuk aklimatisasi karena kita punya keterbatasan, terutama pada point budget dan logistic. Namun lebih baik memanjangkan waktu dalam hitungan jam-nya untuk melakukan aklimatisasi. 

Apakah ada cara pencegahan agar kita tidak terkena HAPE ?. Jawabannya “ADA”.
Pendakian dengan cepat merupakan fa
ktor penting yang mempengaruhi terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki untuk menghindari risiko. Pencegahannya yang baik dan benar adalah, hindari mendaki pada malam hari lebih dari 3000 meter dan istirahat 2 (Dua) malam sebelum pendakian selanjutnya. Jangan melakukan perjalanan ( pendakian ) ke tempat yang sangat tinggi jika hanya mempunyai waktu singkat

Kawan pendaki, sebagai pendaki gunung sudah seharusnya kita mengetahui dan paham akan gejala dan tindakan jika terkena HIPOKSIA dan HAPE serta bagaimana melakukan AKLIMATISASI yang benar. Jika bukan kita secara individu yang mungkin akan mengalaminya, mungkin teman seperjalanan kita. Dengan demikian kita dapat mencegah terjadinya fatality dalam dunia pendakian Indonesia.

Pelajari gejalanya, pelajari penanganannya, nikmati pendakiannya.

Salam satu jiwa

* * * *  *

Sebaik- baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lain.  
Sebaik- baiknya pendaki adalah yang bermanfaat untuk pendaki lainnya.

Tulisan ini didedikasikan buat banyak teman yang ingin mencumbu jalur Kerinci, namun karena sesuatu dan lain hal belum dapat mewujudkannya.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*


* * * *  *



BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

No comments:

Post a Comment