Friday, June 3, 2016

NAVIGASI TIDAK BUTUH KOMPAS

Pendaki yang rendah hati, sangat sayang untuk melewatkan tulisan ini …

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki

Aku adalah seorang pendaki pendahulu. Setidaknya itu adalah menurut anggapanku. Bahkan dalam komunitasku, di mana banyak pendaki bergabung di dalamnya, aku dianggap sebagai “yang dituakan” dalam urusan naik gunung, apalagi dalam urusan membuka jalur baru dan navigasi. Dari A sampai Z semuanya sudah kulalui dalam hobby yang satu ini.

Jangan ditanya kemampuanku dalam hal mountaineering, survival atau navigasi darat. Aku sudah menjadi instruktur dalam hal tersebut. Khususnya di daerahku, tanah Serambi Mekah. Tanah paling Barat di Pulau Andalas ini yang berjejeran Bukit barisan di tengahnya.

Sekali waktu, aku berkesempatan untuk melakukan satu pendakian di luar daerahku. Masih di tanah Sumatera juga. Gunung Dempo adalah pilihanku. Kebun teh yang terhampar luas, cuaca berkabut dan suhu yang dingin di Kota Pagar Alam adalah suatu hiburan tersendiri bagiku, karena memang tidak dapat aku jumpai di daerahku.

Satu hal kebiasaanku yang tidak dapat dihilangkan adalah bahwa di setiap pendakian aku selalu membawa buku. Buku apa saja, terutama novel terjemahan barat yang telah disadur ke dalam Bahasa Indonesia. Selain karena aku suka membaca, buku juga dapat menolong rasa suntuk saat menunggu keberangkatan di stasiun bus atau bandara. Membaca buku tersebut tentunya sangat asik sekali jika ditemani dengan cemilan ringan, lebih lengkap lagi jika ditemani oleh segelas kopi. Hal itu juga yang aku lakukan saat melakukan pendakian, saat jeda waktu untuk beristirahat di jalur pendakian, aku keluarkan novel dan cemilan yang kubawa dari kantong samping carrier, bersandar pada sebatang pohon dan,,, membaca sambil ngemil. Indahnya dunia…

Pada kesempatan pendakian ke Gunung Dempo ini, aku setelah packing selesai dilakukan terhadap barang bawaan team kami, aku menyempatkan diri membeli sedikit makanan ringan sebagai cemilan nanti saat beristirahat di jalur pendakian Gunung Dempo. Setelah berkeliling Kota Pagar Alam, akhirnya tatapan mataku tertuju pada penjual kue putu. Hmmmm,,, pasti lezat sekali beristirahat di jalur pendakian sambil baca novel dan ngemil kue putu tersebut.

Kue putu atau ada juga yang mengenalnya dengan Kue Putu Aren Bambu adalah jenis makanan Indonesia berupa kue yang berisi gula jawa dan parutan kelapa, tepung beras butiran kasar. Kue ini di kukus dengan diletakkan di dalam tabung bambu yang sedikit dipadatkan. Suara khas uap yang keluar dari alat suitan ini sekaligus menjadi alat promosi bagi pedagang yang berjualan.

Kebanyakan warna dari kue putu ini adalah putih dan hijau. Sejumlah pedagang masa kini mengganti bambu dengan pipa PVC dengan alasan kepraktisan, meskipun dari segi kesehatan penggunaan PVC membahayakan. Anganku mulai berkelana membayangkan kelezatan kue putu ini. Aku memesannya kepada si penjual sebanyak dua bungkus penuh, kurang lebih dua puluh buah kue putu yang menggiurkan.

Mulai memasuki jalur pendakian Gunung Dempo, team kami bertemu dengan team lainnya yang berjumlah tiga orang dari Kota Palembang. Dalam perjalanan kadang kami beriringan, kadang kami mendahului team dari Palembang tersebut, atau saat kami beristirahat, kami yang didahului oleh team tersebut.

Pada suatu kesempatan, aku beriringan jalan dengan salah satu pendaki dari team Palembang tersebut. Pendaki yang lebih muda, baru tamat SMU dan baru pertama kali mendaki gunung. Sebut saja nama panggilannya Keenan. Sambil mendaki, kami ngobrol tentang berbagai hal, reboisasi, deforestasi, dan hal- hal sedikit rumit lainnya. Sampai pada satu bahasan, yakni tentang navigasi. Di sini aku sedikit berdebat dengannya, Keenan yang menurutku tidak tahu apa- apa tentang navigasi, namun saat aku terangkan soal navigasi selalu ngeyel jika diberi pengertian. Tahu apa pendaki baru yang mencoba mendebat aku sebagai pendaki pendahulu ?. Jelas saja aku yang sangat paham akan navigasi jadi sedikit kesal akan hal ini. Alhasil, aku lebih memilih diam dan menyembunyikan kedongkolan didalam hatiku.

Sampai pada saat kami jumpai tempat untuk beristirahat, aku dan Keenan meletakan carrier di tanah dan masih saling diam. Aku lebih memilih membuka buku novel dan larut membacanya sambil ngemil kue putu yang kubeli di Kota Pagar Alam.

Sedang asik- asiknya membaca sambil ngemil kue putu, Keenan tiba- tiba menjulurkan tangannya mengambil sepotong kue putu tersebut. Aku pura- pura tidak tahu dan melihatnya dari sudut mataku.

Aku mengambil sepotong kue putu lagi, dan Keenan pun mengambil sepotong kue putu lagi. Dalam hatiku bergumam, “Tidak tahu sopan santun, tidak minta izin dulu main langsung ambil saja, pendaki norak….”

Begitu terus selanjutnya, setiap aku mengambil sepotong kue putu, Keenan pun mengambil sepotong kue putu lainnya. Sampai saat aku lihat di bungkusan kue putu tersebut hanya tersisa sepotong kue saja. Aku menunggu sambil pura- pura tidak tahu akan hal tersebut. Aku akan melihat apa yang akan dilakukan oleh Keenan terhadap kue tersebut?

Tiba- tiba Keenan mengambil sepotong kue putu yang tinggal satu- satunya tersebut. Aku melihat ke arahnya dan memelototkan mataku serta memasang wajah tidak suka atas kelancangannya tersebut. Betul- betul pendaki yang tidak punya sopan santun.

Keenan memotong kue putu tersebut menjadi dua bagian dan dengan tersenyum dia memberikan setengah bagiannya kepadaku. “Keparat !!!,,, pendaki yang satu ini betul- betul sangat kelewatan. Berani- beraninya dia membagi kue tersebut dan memberikannya sebagian untukku, tanpa rasa bersalah dan pakai tersenyum pula….” . Kutuk ku di dalam hati.

Aku merebut dengan kasar kue di tangan Keenan yang diulurkannya padaku. Memasukan semuanya dalam sekali kunyahan di mulutku dan kembali membaca novel di tanganku tanpa memperdulikan pendaki yang tidak tahu sopan santun itu.

Keenan pamit untuk melanjutkan pendakian mendahului aku. Aku hanya diam tanpa menghiraukannya. Aku kembali hanyut dalam kisah di novel yang aku baca.

Setengah jam telah berlalu. Ah, biarlah….. Biar si Keenan, pendaki yang tak tahu sopan santun itu berlalu lebih jauh lagi, sehingga aku tidak perlu beriringan jalan lagi dengannya.

Aku mulai merapikan pakaian, memunguti sampah bekas kue putu tersebut, dan menyimpan novel yang di tanganku ke dalam saku samping carrierku. Tapi  apa ini ??? Kenapa novelnya sangat sulit dimasukan ke dalam saku samping carrier ? Kenapa saku samping carrierku masih sempit ? Aku menarik keluar bungkusan yang menyempit di dalam saku samping carrier tersebut, dan….

“Kenapa kue putu kepunyaanku masih utuh ???”. Sejenak aku terkesima. Berarti kue putu  yang aku makan tadi adalah kue putu miliknya si Keenan…. Dan aku memakannya sambil mengutuki si pemilik kue ??? Dan aku sudah merebut setengah potong kue putu dengan mata melotot dari tangan si pemberi kue putu ??? Dan aku sudah memperlihatkan wajah ketus saat si pemilik kue putu memberikan setengah potong kue terakhirnya sambil tersenyum kepadaku ???

Keenan, sahabat pendakiku. Ternyata ilmu navigasiku jauh tertinggal dari ilmu navigasimu. Aku si pendaki pendahulu, si ahli pembuka jalur, si ahli navigasi darat, dengan kompas sebagai alatku sudah terlalu sombong berkoar- koar tentang pengalamanku membuka jalur, masuk hutan keluar hutan. Sedangkan engkau, si pendaki pemula, dengan kue putu sebagai alat navigasimu sudah memandu hatiku agar berjalan menuju ke lembah terendah di dalam dasar jiwaku.

Aku sudah salah belajar selama ini. Seharusnya sebelum belajar navigasi darat, aku harus mendalami navigasi hati terlebih dahulu.

Salam satu jiwa.

* * * *  *

Banyak “kompas” yang dapat memandu jalan bagi kerendahan hati seorang pendaki. Kita hanya harus menemukan satu “kompas” yang cocok untuk itu.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :

 “GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

1 comment: