Sunday, July 2, 2017

MENGANTRI UNTUK MATI

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #42

Mengantri untuk mati di pagi Minggu? Apa yang sahabat pendaki sukai saat Minggu pagi jika sedang tidak berada di gunung? Jogging? Kuliner? Nonton TV? Atau masih setia aja dipeluk kehangatan sleeping bag? Jangan ah… Yuk semangat!!!
Sebenarnya Saya jarang sekali menulis di hari Minggu. Mindset atau pola pikir Saya terbentuk bahwa hari Minggu adalah hari libur, artinya banyak yang juga harus diliburkan di hari itu. Ya libur kerja biar bisa istirahat atau bermalas- malasan, libur angkat telpon jika ada telpon masuk, anak juga libur sekolah, libur les, libur mengaji. Saya kadang berfikir, bagaimana jika hari Minggu ini Saya libur juga untuk shalat yah, sehingga bisa bermalas- malasan, tidur seharian? Khan Cuma satu hari… . Cuma setelah Saya kritisi, bagaimana juga bila Allah SWT juga libur “mengalirkan” oksigen di hari Minggu ini yah? Ah, khan Cuma satu hari? 10 menit saja Saya tidak mendapat oksigen, bisa rusak milyaran sel- sel otak Saya, hiks… . Bahkan istri di rumah juga ikut- ikutan libur masak di hari Minggu, “Beli lauk saja atau makan “di luar” sekalian”, katanya. ATM, mana ATM ??? :D

Namun hari Minggu ini mindset tersebut Saya ubah sedikit. Paling tidak untuk pagi harinya. Saya buka laptop, baca- baca sedikit berita, artikel, status kamu yang keren- keren sahabat pendaki. Iya… status Kamu! Kamu yang lagi baca artikel ini. :D . Sampai satu artikel dari accountnya salah satu bea siswa kewirausahaan “memicu” hadirnya tulisan ini untuk teman sarapan pagi Sahabat Pendaki.

Tapi sebelumnya, apakah judul yang Saya bikin di atas sudah cukup untuk membuat mata sahabat pendaki melek? Jika belum Saya ganti nih judulnya yang lebih “serem”, hahaha (tertawa jahat) 

Seorang guru di Australia pernah berkata:
“Kami tidak terlalu khawatir jika anak- anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. ”Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”

“Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu ?” Karena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya.

Pikiran Saya malah melayang mengingat saat adik Saya pergi ke Singapura beberapa masa yang lalu dengan anak lelakinya – keponakan Saya - yang berumur 4 Tahun. Saat makan siang di suatu tempat makan yang ada mainan seluncurannya, keponakan saya ikut bermain di wahana tersebut. Anak- anak seumuran dia juga banyak bermain di wahana tersebut dan mereka semua berbaris rapi untuk mengantri sebelum berseluncur. Tapi bagi keponakan Saya hal itu tidak berarti apa- apa, dia langsung jalan ke barisan paling depan, menyerobot langsung berseluncur ria. Anak- anak Singapura lainnya pada melongo? Ya iyalah…

Salah satu ibu warga Singapura berceletuk di bangku seberang sana kepada temannya, “Huff, Indonesia…” Luar biasa, mindset si ibu itu ternyata sudah terbentuk, bahwa yang tidak bisa mengantri itu pastilah warga Indonesia. Miris…
 
Jadi inilah jawabannya:
Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Sebagian mereka nantinya akan menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis, atau … Pendaki ;)

Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid- murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.

”Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI ?”

”Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya;”
Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal, hingga saat dia kelak menjadi Pendaki dia tidak perlu ketinggalan bus atau kereta api, apalagi berlari- lari mengejar boarding pesawat saat akan pergi mendaki.

Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang, hingga jika kelak dia menjadi Pendaki dia sudah terdidik bersabar menghadapi lika- liku jalaur yang bikin frustasi :D

Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting, hingga saat tiba waktunya menjadi Pendaki dia juga sudah terdidik menghormati hak pendaki lainnya untuk berbagi jalan di jalur sempit, berbagi mata air, berbagi lokasi tenda, sampai berbagi tempat pup di semak- semak sana (y)

Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri), hingga saat dia siap memanggul carriernya sendiri sebagai seorang Pendaki, dia sudah kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang akan dilakukannya saat mendaki. Jualan buff? Selfie? Memulung sampah? Atau Reboisasi?

Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian, hingga saat dia menjadi Pendaki nanti dia sudah terbiasa ramah, salam sapa, membangun koneksi.

Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya, hingga bila dia menjadi Pendaki nantinya dia juga sudah terbiasa tabah dalam mencapai tujuannya. Puncak…

Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang, hingga jika dia menjadi Pendaki nantinya dia juga bisa menerima jika puncak yang ditujunya tidak tercapai itu karena akibat fisiknya yang tidak bagus, atau karena persiapan yang tidak matang, atau tenggat waktu summit attack yang diabaikan.

Anak belajar disiplin, teratur dan rapi, hingga saat dia menjadi Pendaki nantinya dia akan meninggalkan bekas camp-nya dalam keadaan bersih, teratur dan rapi seperti sebelum dia tempati.

Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain, hingga saat dia menjadi Pendaki dia sudah punya rasa malu jika dia ke gunung malah menimbulkan kerusakan di gunung.

Anak belajar bekerjasama dengan orang- orang yang ada di dekatnya, jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil, hingga jika saja dia nantinya menjadi seorang Pendaki dia sudah bisa bekerja sama dengan Pendaki lainnya tentang banyak hal.

Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain, hingga saat dia menjadi Pendaki dia  tidak perlu mencuri gear teman Pendakinya hanya karena dia tidak memiliki gear tersebut.

dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan Sahabat Pendaki temukan sendiri sisanya.

Ah sayang sekali ya... Mungkin itu yang menyebabkan negeri ini semakin jauh saja dari praktek-praktek hidup yang beretika dan bermoral?
Ah sayang sekali ya... seperti apa kelak anak- anak yang suka menyerobot antrian sejak kecil ini jika mereka kelak jadi pemimpin di negeri ini?

Namun bagi Saya pribadi, pesan implisit dari mengantri adalah bahwa kita para Pendaki saat ini juga sedang mengantri untuk mati. Tidak peduli mati di gunung dengan hutan yang rindang atau mati di atas empuknya ranjang.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Tuhan tidak mempercepat kematianmu jika kamu mendaki gunung, dan Tuhan juga tidak mengundurkan kematianmu jika kamu tidak mendaki gunung.

“Tiap- tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imran :185)


Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak :

“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

1 comment: