Monday, October 2, 2017

PENDAKI KEBANYAKAN GAYA

Apakah pendaki tidak boleh modis?

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #45

Pagi ini Saya “disentil” oleh saudara pendaki Saya dengan nama FB Boris Kaboa. Bangun pagi- pagi sudah ada mention di account Saya tentang mengapa artikel Saya gak muncul- muncul lagi di beranda grup #PI ? Plak…, mention tersebut serasa “menampar” di pipi. Seolah- olah Saya diingatkan lagi, bahwa “Bams, kamu tuh pendaki, bukan penyelam !”. Padahal seingat Saya, baru dua bulan Saya tidak menulis untuk para pendaki. Hmm, Februari yang lalu jika tidak salah Saya terakhir “setor” tulisan di grup ini #buka grup file…



Begini nih, efek tinggal di daerah kepulauan yang gak ada gunung di sekitar tempat tinggal Saya. Paling banter juga Cuma naik bukit, terabas hutan buat bikin jalur trekking guna memuaskan hasrat “maen” di semak- semak. Akhirnya pelarian dari semuanya, ya, main ke pulau- pulau, pantai, ombak, sinar matahari yang menyengat, dan – sedikit -  tebar pesona ke janda- janda kembang di pulau. Halaaah, modus…

Karena Saya sudah “ditegur”, Saya buruin pagi ini nulis sedikit cerita yang mudah- mudahan dapat berguna bagi sahabat Saya, para pendaki di Indonesia yang cakep- cakep. Kenapa diburuin? Iya, account whatsapp Saya sudah meraung- raung dicolek sahabat lainnya untuk buruan ke Pelabuhan Internasional Batam Centre. Ups…, lupa. Harus berangkat ke Singapura pagi ini, intip- intip galerinya petzl di sana. Bakalan ngeces deh ntar di sana. #ngelus-ngelus dompet tipis.

Sambil menunggu sahabat Saya lagi nego bisnis di lantai 10 Harbour Front Singapura, di lobby floor Saya sambung cerita tentang kita. Cerita tentang pendaki.

Pertengahan Mei 2015 yang lalu, sebelum mendaki ke Gunung Kerinci berdua saja dengan Mas Raihan, - kisah dengan Mas Raihan dapat dibaca di sini – https://www.facebook.com/groups/pendaki/permalink/10152926795877055/ -
kami mulai dengan trekking pembukaan di Danau Kaco, sekitar 40 Km dari Sungai Penuh, Ibu Kota Kabupaten Kerinci.

Hutan yang lembab serta jalanan yang becek, tentu saja membuat sepatu kami seperti ban mobil off road dengan tampilan aksesoris lumpur di mana- mana, plus basah karena memang harus menghadapi hujan di akhir trek kembali menuju desa terakhir.

Atas saran seorang sahabat yang menjadi guide kami, terbelilah dua pasang sepatu bot sebagai pengganti sepatu untuk menemani naik ke Gunung Kerinci dua hari berikutnya. Ada dua pertimbangan bagi Saya untuk membeli sepatu bot ini. Pertama, sepatu trekking yang kami punyai tidak mungkin akan kering dalam dua hari mendatang karena butuh satu hari untuk mencuci dan membersihkannya. Lagian dengan cuaca yang lebih banyak mendung di Kerinci, sepertinya sepatu tersebut juga tidak akan kering untuk dua hari ke depan. Kedua, medan trekking Gunung Kerinci di musim penghujan sudah pernah menjadi mimpi buruk bagi Saya untuk “kapok” naik ke Gunung Kerinci kembali. Seperti kubangan kerbau… Pilihan sepatu bot yang biasa digunakan oleh pak tani lebih masuk akal. Selain dapat kering dengan cepat, juga melindungi kaki lebih tinggi lagi, sampai ke batas lutut.

Prediksi tersebut ternyata terbukti. Saat kami menginjakan kaki di Shelter Satu Gunung Kerinci, hujan deras-pun hadir selebat- lebatnya, sehingga mengharuskan kami mengambil jeda pendakian beberapa saat. Momen setelah hujan redapun menjadi mimpi buruk yang tersa terulang kembali bagi Saya. Licin, dingin, dan tentu saja seperti kubangan kerbau.

Menuju Shelter Tiga Gunung Kerinci, kami mendapatkan sahabat seperjalanan. Tujuh orang pendaki- pendaki yang baik hati dari Kota Kerinci dan Kota Padang.

Saat summit attack keesokan paginya bersama para sahabat pendaki dari Kerinci dan Padang tersebut, sampailah kami di suatu lokasi yang biasa disebut Batu Gantung oleh para pendaki yang biasa naik ke Gunung Kerinci. Sebuah batu cadas yang agak besar, terletak di sebelah kanan jalur track dari Shelter Tiga menuju Tugu Yudha. Kami beristirahat di lokasi ini.

Sambil ngobrol, sahabat pendaki dari Padang berbicara menggunakan Bahasa Minang dengan temannya, kira- kira obrolannya seperti ini, “Caliaklah urangtu, lamak bana nyo pakai sapatu bot tinggi untuak naiak ka gunuang. Indak tagalincia model awak. Kok ka kumuah mudah dibarasiahkan. Capek lo kariang kalau basah. Indak model awak do. Banyak bana gaya ka naiak gunuang. Pakai sapatu rancak- rancak, jalur jo cuaca parah lo model iko. Mandarito awak jadinyo”.

Jika anda, Sahabat #PI sudah menggunakan FB versi terbaru, yang telah ter-up date, maka anda sudah dapat membaca terjemahan Bahasa Minang di atas pada paragraph di bawah ini… :D

“Lihatlah orang itu, enak benar mereka memakai sepatu bot tinggi untuk naik ke gunung. Tidak mudah tergelincir seperti yang kita alami.Jika kotor akan mudah dibersihkan. Cepat pula kering jika basah. Tidak seperti kita. Banyak gaya jika naik gunung. Pakai sepatu bagus, jalur dan cuaca parah pula seperti saat ini. Menderita kita jadinya”.

Mereka ngobrol dengan santainya seolah- olah Saya tidak mengerti Bahasa Minang. Padahal Saya kadang kala mimpi saja sudah memakai Bahasa Minang, karena memang Bahasa Ibu Saya adalah Bahasa Minang. Saya hanya tersenyum saja mendengar obrolan mereka.

Pada satu sisi, Saya bersyukur bahwa ternyata mendaki dengan menggunakan sepatu bot bukan dianggap kampungan. Di sisi lain Saya ikut bersedih atas derita yang dialami sahabat pendaki tersebut yang kedinginan karena memang sepatu mereka basah kuyup sisa hujan semalam.

Memakai sepatu bot bukan berarti anda ndeso lho sahabat. Bahkan di saat yang tepat fungsinya akan sangat terasa menguntungkan dan memudahkan pendakian. Jadi makin hormat ke pak tani yang selalu menggunakan sepatu bot. Nah, jika mendaki dalam masa musim hujan, gak salah jika sahabat membawa sepatu bot sebagai sepatu cadangan untuk digunakan saat hujan turun di jalur yang basah dan becek gak ada ojek :D

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Peralatan yang bagus adalah peralatan yang sesuai dengan keadaan (Bams).

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*           

* * * *  *

Bams mengajak :

“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment