Sunday, March 4, 2018

PENDAKI HANYA MENCARI SENSASI


Ah..., yang baca tulisan ini cuma si pencari sensasi…

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #50

Sampai sekarang, jika saya bertanya kepada sahabat pendaki yang baru saya temui dengan pertanyaan, “Apa yang membuat anda selalu ingin dan ingin lagi untuk mendaki gunung?” Saya akan selalu menemukan jawaban yang berbeda- beda. Jika pertanyaan itu dirunut lebih jauh dan lebih panjang lagi, maka akan sampai pada suatu ujung jawaban, “Ah, datang saja sendiri ke gunung itu, nanti kamu juga akan tahu sendiri apa jawabannya”.



Ha ha ha… Sahabat pendaki semua pasti juga pernah menemukan jawaban yang seperti itu bukan?

Pertanyaan itu juga yang sering saya jumpai dari keluarga besar saya. Dari om dan tante- tante saya yang sebagian namanya malah tidak bisa saya ingat. Apalagi nama anak- anak mereka   jumlahnya sekian banyak. Yang pernah bertemu dengan saya saat mereka masih kecil- kecil dan kemudian saya tinggal merantau ke Batam. Saat ini mereka semua – para adik sepupu – itu tentunya sudah besar- besar semua. Jika bertemu selisih jalan, mungkin saya tidak mengenal sepupu saya sendiri. Ada yang sudah menjadi “orang” dengan latar belakang profesi yang beragam, salah satunya sebut saja Lola.

Lola masih duduk di bangku kuliah tahun ketiga di Universitas Negeri Padang. Berkulit putih khas gadis Kerinci yang tinggal di daerah dingin, tinggi proporsional, kerudung yang selalu dia kenakan menambah kecantikannya – maaf, saya tidak lagi mempromosikan seorang high quality jomlo - . Toh, saya sendiri juga pangling, lupa punya sepupu secantik Lola. Saya tidak terlalu kenal dekat dengan Lola karena saat saya pergi merantau, setahu saya lola masih kecil mungil, atau masih bayi, atau mungkin malah belum lahir sama sekali, entahlah… Mengingat hal ini saya jadi merasa "berumur" hehehe

Cuma media sosial yang bisa mempertemukan kita. Saya dan Lola, menjalin pertemanan di media sosial tersebut. Dari media itu saya tahu bahwa Lola adalah adik sepupu saya yang mungkin belum pernah saya jumpai.

Untung saja ketahuan lebih awal bahwa Lola adalah adik sepupu saya, jadi saya tidak terlanjur tebar- tebar pesona ngerayu dia di inbox. Jika sudah terlanjut tepe- tepe (tebar pesona), bakalan malu tingkat dewa saya, gak berani lagi pulang kampung buat setor muka.

Soalnya hal ini sudah pernah kejadian, si Dony, adik sepupu saya yang cowok pernah gangguin seorang cewek ketika si cewek tersebut lewat di depannya. Saat Dony lagi nongkrong bareng teman- temannya. Sampe- sampe diikutinya cewek itu karena kesengsem pingin tahu rumahnya. Setelah diikuti, kok cewek itu pulangnya ke rumah tante kita. Tuh khan…, rupanya adik sepupu sendiri. Cerita si Dony itu sampai sekarang masih beredar terbatas di keluarga besar kita. Malunya itu bro, jika lagi ngumpul bareng keluarga besar, kisah itu diungkit- ungkit hihihi

Kembali ke si manis Lola. Dia sering lihat foto- foto saya di album media sosial saya. Mungkin karena itu juga, dia jadi tertarik untuk  merasakan naik gunung. Jadilah dia pergi naik ke Gunung Marapi Sumatera Barat bersama teman- teman kuliahnya. Tentunya tanpa memberitahukan tentang pendakian itu kepada orang tuanya, karena jika minta izin untuk naik gunung ke orang tuanya, jelas jawabannya adalah, TIDAK!

Setelah beberapa hari turun dari pendakian ke Gunung Marapi, barulah Lola dapat kesempatan pulang kampung berkumpul dengan keluarganya. Saat itulah dia bercerita kepada mamanya – tante saya – tentang pendakiannya.

Satu hari, untuk satu urusan, saya berbicara dengan mamanya Lola via telpon, dan pada moment itulah mamanya Lola bercerita, “Bams, adikmu itu pergi naik ke Gunung Marapi bersama teman- teman kampusnya tanpa bilang ke tante kemarin. Setelah dia turun baru dia cerita ke tante. Dia bilang, “Ma, rupanya inilah rasa yang selama ini dirasakan oleh Mas Bams dan kenapa Mas Bams suka naik gunung. Sulit untuk menjelaskan rasa itu, Ma. Cuma orang yang sudah menginjakan kakinya di puncak gunung saja yang bisa memahaminya”. Itu bilang Lola, Bams”.

Saya hanya tertawa saja mendengar curhatan si tante. Dan kenyataannya memang benar demikian adanya. “Rasa” yang disebutkan Lola itu saya artikan sebagai “sensasi pendaki”. Sensasi yang hanya pendaki saja yang memahami.

Satu malam yang penuh penderitaan, tim pendakian saya yang saat itu berjumlah 6 orang pernah terkena hujan badai sekitar pukul 22:00 malam di antara Shelter I dan Shelter II Gunung Kerinci. Di bawah bayang- bayang hypothermia, tim merangkak dalam kegelapan malam dan sudah tercerai berai. Saya dan salah satu sahabat pendaki – kami berdua – tercecer di belakang. Dengan kondisi badan dan pakaian yang basah kuyup, tangan bersidekap di dada, duduk jongkok sambil merapatkan diri ke sahabat sambil mendengar suara gigi- gigi kita yang seolah-olah berpacu bergemeretak karena rahang gemetar tidak bisa dihentikan. Jauh di dalam lubuk hati saya burucap, “Saya janji, ini akan menjadi pendakian gunung saya yang terakhir”.

Janji itu bahkan semakin banyak dan terus- menerus saya ucapkan di dalam hati saat di kepala saya sedang membayangkan hangatnya kuah semangkok bakso, asap mengepul yang keluar dari martabak yang baru saja dibelah, dan rasa manis dari busa teh telur yang baru saja diseduh. Dan itu semua entah mengapa bagitu jelasnya terlihat di depan saya, padahal semua itu berada sekitar 7 atau 8  Km jauhnya dari saya.

Namun apa yang terjadi? Saat badai reda, tim yang gagal itu sudah turun semua dan sampai di desa terdekat, yang dibahas adalah, tanggal berapa kita akan naik lagi sebagai pengganti kegagalan malam tadi?

Janji di dalam hati hanya tinggal janji. Satu lagi sensasi yang dapat saya rasakan yang mungkin tidak dapat dirasakan oleh semua penduduk di Indonesia ini. Sensasi gemeretak gigi saat bertahan dalam gelap malam dengan kondisi basah kuyup kedinginan.

Lain waktu di lain tempat, saya juga mendapat kesempatan merasakan sensasi ketika angin lembut serasa belaian kelembutan tangan mama menerpa wajah saat di puncak, ada juga sensasi ketakutan berjalan di kegelapan malam sambil membawa sebatang lilin. Oh, iya… sensasi berjalan malam sendirian di tengah ladang tebu saat bulan purnama, sementara nun jauh di sana suara lolongan mirip srigala bersahutan, patut untuk di kenang. Ada lagi sensasi keletihan dan dehidrasi untuk jalur savanna tak berujung di terik panas siang. Juga tak ketinggalan sensasi ketika perut sakit mau buang air besar, tapi lagi sejalur dan beriringan jalan dengan cewek pendaki dari Singapura, saat saya mendaki di luar negeri. Sensasi yang jika diingat akan membuat saya tertawa geli sendiri hi hi hi.

Masih banyak sensasi lainnya untuk diceritakan sampai anda yang membaca tulisan ini bosan. Jangan bohong ! Anda, sahabat pendaki juga pernah merasakan sensasi yang luar biasa di pendakian anda. Sulit untuk diungkapkan, rumit untuk diceritakan, dan hanya anda yang memahami sensasi-nya.

Nah sahabat pendaki yang budiman, ceritakan kepada saya, apa sensasi anda?

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Jangan tanya mengapa aku mendaki gunung, tapi ikutlah bersamaku mendaki gunung, dan  kau akan memahami.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

No comments:

Post a Comment