Yang beneran pendaki harus baca…
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #18
Gunung Rinjani merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia dengan
ketinggian 3.726 m dpl serta terletak pada lintang 8º25' LS
dan 116º28' BT. Gunung ini merupakan gunung favorit bagi pendaki Indonesia
karena keindahan pemandangannya. Gunung ini adalah bagian dariTaman Nasional Gunung Rinjani yang memiliki luas sekitar 41.330 ha
dan ini akan diusulkan penambahannya sehingga menjadi 76.000 ha ke arah barat
dan timur.
Di
sebelah barat kerucut Rinjani terdapat kaldera dengan luas sekitar 3.500 m × 4.800 m,
memanjang kearah timur dan barat. Di kaldera ini terdapat Segara Anak (segara= laut, danau) seluas
11.000.000 m persegi dengan kedalaman 230 m. Air yang mengalir dari danau ini
membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Di
Segara Anak banyak terdapat ikan mas dan mujair sehingga sering digunakan untuk
memancing. Bagian selatan danau ini disebut dengan Segara Endut.
Di sisi timur kaldera terdapat Gunung Baru (atau Gunung Barujari) yang memiliki
kawah berukuran 170m×200 m dengan ketinggian 2.296 - 2376 m dpl. Gunung kecil
ini terakhir aktif/ meletus sejak tanggal 2 Mei 2009 dan sepanjang Mei, setelah
sebelumnya meletus pula tahun 2004. Jika
letusan tahun 2004 tidak memakan korban jiwa, letusan tahun 2009 ini telah
memakan korban jiwa tidak langsung 31 orang, karena banjir bandang pada Kokok (Sungai) Tanggek akibat desakan lava ke Segara Anak. Sebelumnya, Gunung Barujari pernah
tercatat meletus pada tahun 1944 (sekaligus pembentukannya), 1966, dan 1994.
Selain Gunung Barujari terdapat pula kawah lain yang pernah
meletus,disebut Gunung
Rombongan.
Untuk mengunjungi Danau Segara Anak dari jalur Senaru dibutuhkan
waktu tempuh sekitar 7 – 10 jam berjalan kaki (± 8 Km) dari pintu gerbang jalur
pendakian Senaru. Sedangkan dari jalur pendakian Sembalun ditempuh dalam waktu
8 – 10 jam. Danau segara anak dengan ketinggian ± 2.010 m dpl dan kedalaman
danau sekitar ± 230 meter mempunyai bentuk seperti bulan sabit dengan luasan
sekitar 1.100 Ha.
Di sekitar Danau Segara Anak terdapat
lahan yang cukup luas dan datar, dapat digunakan untuk tempat berkemping/
berkemah, juga pengunjung bisa memancing ikan di danau atau berendam di air
panas yang mengandung belerang.
Rinjani memiliki panaroma paling bagus
di antara gunung-gunung di Indonesia. Setiap tahunnya (Juni-Agustus) banyak
dikunjungi pencinta alam mulai dari penduduk lokal, mahasiswa, pecinta alam
hingga wisatawan internasional.
Suhu udara rata-rata sekitar
20 °C; terendah 12 °C. Angin kencang di puncak biasa terjadi di bulan
Agustus.
Kebanyakan pendaki memulai pendakian
dari rute Sembalun dan mengakhiri pendakian di Senaru, karena bisa menghemat
700 m ketinggian. Rute Sembalun agak panjang tetapi datar, dan cuaca lebih
panas karena melalui padang savana yang terik (suhu dingin tetapi radiasi
matahari langsung membakar kulit). krim penahan panas matahari sangat
dianjurkan.
Dari Rute Senaru tanjakan tanpa jeda,
tetapi cuaca lembut karena melalui hutan. Dari kedua lokasi ini membutuhkan
waktu jalan kaki sekitar 7 jam menuju bibir punggungan di ketinggian 2.641m dpl
(tiba di Plawangan Senaru ataupun Plawangan Sembalun).
Di tempat ini pemandangan ke arah
danau, maupun ke arah luar sangat bagus. Dari Plawangan Senaru (jika naik dari
arah Senaru) turun ke danau melalui dinding curam ke ketinggian 2.000 mdpl)
yang bisa ditempuh dalam 2 jam.
Untuk mencapai puncak
(dari arah danau) harus berjalan kaki mendaki dinding sebelah barat setinggi
700m dan menaiki punggungan setinggi 1.000 m yang ditempuh dalam 3 jam sampai 4
jam. Plawangan Sembalun adalah camp terakhir untuk menunggu pagi hari. Summit
attack biasa dilakukan pada pukul 3 dinihari untuk mencari momen indah -
matahari terbit di puncak Rinjani. Perjalanan menuju Puncak tergolong lumayan;
karena meniti di bibir kawah dengan margin safety yang pas-pasan. Medan pasir,
batu, tanah. 200 meter ketinggian terakhir harus ditempuh dengan susah payah,
karena satu langkah maju diikuti setengah langkah turun (terperosok batuan
kerikil).
Buat highlander , ini
tempat yang paling menantang dan disukai karena beratnya medan terbayar dgn
pemandangan alamnya yang indah. Gunung Agung di Bali,
Gunung Ijen-Merapi di Banyuwangi dan Gunung Tambora di Sumbawa terlihat
jelas saat cuaca bagus di pagi hari.
Dalam
salah satu kesempatan pendakian ke Gunung Rinjani ini pada Agustus 2013 yang
lalu, Saya sempat tertipu. Tertipu dengan panjangnya jalur yang harus ditempuh
untuk mencapai Plawangan Sembalun. Trek jalur Bukit Penyesalan-nya sangat luar
biasa. Luar biasa karena trek ini harus Saya tuntaskan dengan beban double pack
berkapasitas total 32 Kg, itu yang ditunjukan oleh timbangan di bandara Hang
Nadim, Batam saat Saya check in satu hari sebelumnya.
Dengan
beban total 32 Kg, ditambah perjalanan yang harus Saya tempuh selama dua hari
satu malam melewati Bukit Penyesalan, menjadikan penyesalan di hati Saya tambah
menumpuk. Penyesalan kenapa Saya menganggap remeh jalur trek ini, penyesalan
kenapa Saya tidak maksimal olah raga sebelum memulai pendakian, dan penyesalan
kenapa Saya tidak menggunakan jasa porter saja jika tahu jalurnya bakalan
panjang dan lama seperti ini.
Saya
mengira bahwa trek Rinjani ini dapat diselesaikan dalam satu malam saja. Naik
hari ini, sore atau malam sampai di camp site, dini hari dilanjutkan dengan
summit attack, dan esok harinya langsung turun kembali. Benar- benar terlalu
meng-underestimate jalur ini, karena memang Saya mengira jalurnya seperti
gunung- gunung yang Saya daki di Sumatera (kecuali panjangnya jalur Leuser).
Naik hari ini, turun esok hari. Selesai….
Pada
malam kedua, Saya memulai summit attack dari Plawangan Sembalun (2.639 mdpl)
bersama dua orang teman lainnya yang berasal dari Probolinggo, yang kebetulan
juga mereka adalah saudara kembar. Tidak berapa lama di atas Plawangan
Sembalun, tepatnya di daerah batas vegetasi, tidak kurang dari tiga orang
pendaki yang Saya jumpai di jalur summit attack yang terkena mountain sickness.
Pendaki
pertama Saya jumpai sedang muntah- muntah sendirian, setelah menungguinya
beberapa saat, Saya anjurkan untuk turun dan beristirahat di Plawangan. Pendaki
kedua Saya jumpai sedang terduduk diam dan setelah Saya tanya, dia bilang bahwa
kepalanya terasa pusing. Saya sarankan juga untuk segera turun dan
beristirahat, dan tak lama kemudian pendaki ketiga Saya jumpai memang sedang
turun karena menderita gejala yang sama.
Mountain Sickness atau penyakit di gunung adalah
gejala yang terjadi jika kita menapaki tempat yang lebih tinggi dan akan
semakin rendah kadar oksigennya. Inilah juga yang mempengaruhi aktivitas
pendaki gunung karena HIPOKSIA.
Tetapi penyakit ini juga tergantung dari masing - masing individu pendaki,
terutama keadaan jasmaninya. Ada yang sudah terkena ketika di ketinggian 2000
m, tetapi ada pula yang belum merasakan saat di ketinggian 4000 m.
Hipoksia adalah keadaan
tubuh kekurangan oksigen untuk menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara
pada ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun atau
mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara pernapasan akan
berakibat terjadinya hipoksia. Sifat-sifat hipoksia :
Tidak
terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu bahwa bahaya hipoksia ini
telah menyerangnya.
Tidak
memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering memberikan rasa gembira
(euphoria) pada permulaan serangan- nya, kemudian timbul gejala-gejala lain
yang lebih berat sampai pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian.
Penelitian
tentang HIPOKSIA sudah dimulai pada tahun 1862, Claisher
dan Coxwell terbang dengan balon sampai setinggi 29.000 kaki (8.700 mdpl) dengan
tujuan mengetahui sifat dan susunan atmosfer bagian atas. Di samping itu mereka
melakukan observasi
pada dirinya sendiri. untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang akan
terjadi pada ketinggian. Selama terbang, Clasher mengalami gejala-
gejala aneh pada tubuhnya, yaitu tajam penglihatan dan pendengaran menurun,
kedua belah anggota badan menjadi lumpuh dan akhirnya jatuh pingsan. Coxwell juga mengalami kejadian yang serupa, hanya
sebelum pingsan berusaha menarik tali pengikat katup balon guna menurunkan balonnya.
Usaha ini hampir gaga!, karena kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi,
sehingga dia menarik tali tadi dengan menggigitnya.
Dari pengalaman kedua orang ini
dapat diambil kesimpulan bahwa terbang tinggi dapat membahayakan jiwa manusia.
Paul Bert,
seorang ahli ilmu faal Perancis, sangat tertarik dengan kejadian tadi dan pada
tahun 1874 mengadakan percobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah
untuk melihat perubahan apa yang dapat terjadi pada ketinggian atau tempat yang
tekanan udaranya kecil. Dari salah satu basil percobaan- percobaannya
didapatkan adanya hipoksia atau kekurangan oksigen pada
ketinggian yang dapat diatasi dengan pemberian oksigen pada penerbangan.
Hasil penelitian Paul Bert ini
dipraktekkan oleh Sivel dan Groce
Spinelli, yang terbang sampai 18.000 kaki (5.400 mdpl) dengan menggunakan
kantong oksigen tanpa mengalami gangguan.
Pada tahun 1875, Sivel dan Groce-Spinelli melakukan
penerbangan lagi bersama Tissander,
yang juga menggunakan kantong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini
mencapai ketinggian 28.000 (8.400 mdpl) kaki dan berakhir dengan kematian Sivel dan Groce-Spinelli karena
hipoksia sedang Tissander hanya pingsan saja.
Tissander
membuat catatan yang sangat lengkap tentang perubahan-perubahan yang terjadi
dalam penerbangan ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria sebelum hipoksia dan oksigen tidak
mencukupi untuk penerbangan tinggi.
Pendaki yang terkena pengaruh hipoksia akan memperlihatkan gejala - gejala yang disebut “penyakit
gunung” ( Mountain Sickness ). Biasanya gejala ini muncul karena pendaki gunung
terlalu cepat mencapai disuatu ketinggian. Kumpulan gejala tersebut berupa
pusing, nafas sesak, tidak nafsu makan, mual, muntah, kedinginan, badan terasa
lemas, perasaan malas sekali, jantung berdenyut lebih cepat, dan sakit kepala,
selanjutnya penderita tidak dapat tidur, muka pucat, kuku dan bibir terlihat
kebiru - biruan.
Jika
hal ini terus berlanjut akan muncul efek yang sangat berbahaya, dapat
menyebabkan hilang ingatan (amnesia) akibat hipoksia otak, kemudian muncul
halusinasi yang dapat berakibat si pendaki mengalami disorientasi medan yang
dapat membuatnya kehilangan arah, menuju daerah yang berbahaya. Bisa jadi ini
adalah tahap awal si pendaki tersesat di jalur yang dilaluinya, atau terjatuh
ke jurang.
Pada umumnya gejala - gejala ini akan menghilang setelah beristirahat, yaitu selama 24 sampai 48 jam kemudian. Karena itu, penderita penyakit gunung dianjurkan untuk beristirahat agar kebutuhan tubuh akan oksigen dapat dikurangi. Tetapi kalau usaha ini tidak berhasil, maka penanggulangan yang tepat adalah menurunkan si penderita dari ketinggian.
Cara lain untuk mengatasinya ialah dengan bernafas
dalam-dalam dan cepat agar oksigen banyak yang masuk kedalam sistem pernafasan
kita, tapi cara ini sangat melelahkan dan lama - kelamaan akan menimbulkan
pusing atau bahkan mual akibat pengaruh kehilangan karbon dioksida.
Kawan
pendaki, sebagai pendaki gunung sudah seharusnya kita mengetahui dan paham akan
gejala dan tindakan jika terkena HIPOKSIA. Jika bukan kita secara individu yang
mungkin akan mengalaminya, mungkin teman seperjalanan kita. Dengan demikian
kita dapat mencegah terjadinya fatality dalam dunia pendakian Indonesia.
Pelajari
gejalanya, pelajari penanganannya, nikmati pendakiannya. Dengan mengerti dan
paham ilmunya, anda bisa menjadi malaikat penolong bagi sesama pendaki.
Salam
satu jiwa
* * * * *
Saat anda melengkapi diri anda
dengan ilmu dan keterampilan, anda baru saja mendapatkan dua sayap dan melangkah
menjadi seorang Malaikat Penolong.
Semoga jiwamu
tercerahkan.
*B4MS*
No comments:
Post a Comment