Ada
yang berbeda pagi itu saat Saya mencapai Shelter 3 Gunung Kerinci. Sesaat
menapakan kaki di area Selter 3 ini, tiba- tiba saja Saya sangat susah untuk
bernafas, padahal Saya tidak mempunyai riwayat penyakit asma. Mungkin kawan
pendaki tahu, saat ulu hati kita dipukul dengan keras, dan itu jelas membuat
nafas kita terhenti dan kesusahan untuk bernafas kembali ? Seperti itulah yang
Saya rasakan saat itu. Sampai- sampai Saya tertunduk dan akhirnya rebah, rata
dengan batas vegetasi Shelter 3 Kerinci.
Gunung Kerinci (juga dieja "Kerintji", dan dikenal sebagai Gunung
Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi
di Sumatra, gunung berapi tertinggi di Indonesia,
dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua.
Gunung Kerinci terletak di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi,
di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan
terletak sekitar 130 km sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman
Nasional Kerinci Seblat dan
merupakan habitat harimau sumatra dan badak sumatra.
Puncak Gunung Kerinci berada pada
ketinggian 3.805 mdpl, di sini pengunjung dapat melihat di kejauhan membentang
pemandangan indah Kota Jambi, Padang, dan Bengkulu.
Bahkan Samudera
Hindia yang luas dapat
terlihat dengan jelas. Gunung Kerinci memiliki kawah seluas 400 x 120 meter dan
berisi air yang berwarna hijau. Di sebelah timur terdapat danau Bento, rawa
berair jernih tertinggi di Sumatera. Di
belakangnya terdapat gunung tujuh, danau tertinggi di Asia Tenggara dengan
kawah yang sangat indah.
Gunung Kerinci termasuk dalam bagian
dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). yang memiliki luas 1.484.650
hektare hutan konservasi dan terletak di wilayah empat provinsi, dan sebagian
besarnya berada di wilayah Jambi.
Gunung Kerinci terletak pada koordinat 1°41′48″LU101°15′56″BT dan pertama didaki oleh Von Hasselt and Veth pada Tahun 1877. Gunung ini dapat
ditempuh melalui darat dari Jambi menuju
Sungaipenuh melalui Bangko. Dapat juga ditempuh dari Padang, Lubuk Linggau, dan
Bengkulu. Dengan pesawat terbang dapat mendarat di Padang atau Jambi.
Pendakian ke puncak Gunung Kerinci
memakan waktu dua hari mulai dari Pos Kersik Tuo. Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro berada pada ketinggian 1.400 mdpl dengan
penduduk yang terdiri dari para pekerja perkebunan keturunan Jawa, sehingga bahasa setempat adalah bahasa Jawa.
Dari Kersik Tuo kita menuju ke Pos penjagaan TNKS atau R10 pada ketinggian 1.611 mdpi dengan berjalan kaki sekitar 45
menit melintasi perkebunan teh.
Pondok R 10 adalah pondok jaga balai
TNKS untuk mengawasi setiap pengunjung yang akan mendaki Gunung Kerinci. Dari
R10 kita menuju ke Pintu Rimba dengan
ketinggian 1.800 mdpl, Jaraknya sekitar 2 km dengan waktu tempuh kurang
lebih 1 jam perjalanan. Medannya berupa perkebunan/ ladang penduduk, kondisi
jalan baik (aspal) sampai ke batas hutan.
Pintu
Rimba merupakan
gerbang awal pendakian berada dalam batas hutan antara ladang dan hutan
heterogen sebagai pintu masuk. Di sini ada lokasi shelter dan juga lokasi air kurang lebih 200
meter sebelah kiri. Jarak tempuh ke Bangku Panjang 2 km atau 30 menit
perjalanan, lintasannya agak landai memasuki kawasan hutan heterogen.
Pos
Bangku Panjang dengan ketinggian 1.909 mdpl, terdapat dua buah shelter yang dapat digunakan untuk beristirahat.
Menuju Batu Lumut medan masih landai jarak 2 km dengan waktu tempuh sekitar 45
menit melintasi kawasan hutan. Pendaki dapat beristirahat di Pos Batu Lumut yang berada di ketinggian
2.000 mdpl, namun di sini tidak ada shelter-nya. Terdapat sungai yang
kadang kala kering di musim kemarau.
Untuk menuju Pos 1 yang berjarak
sekitar 2 km dari Batu Lumut kita membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Jalur
memasuki kawasan hutan yang lebat dan terjal dengan kemiringan 45 hingga 60
derajat.
Pos
1 ini berada di ketinggian 2.225 mdpl
dan terdapat sebuah pondok yang dapat digunakan untuk beristirahat. Untuk
menuju Pos 2 jarak yang harus ditempuh sekitar 3 km dengan waktu tempuh 2 jam.
Di lintasan ini kadang kala dijumpai medan yang terjal dengan kemiringan hingga
45 derajat tetapi masih bertemu dengan medan yang landai.
Terdapat sebuah Pondok yang sudah tua
di Pos 2 (shelter 1) yang berada di
ketinggian 2.510 mdpl, di sini pendaki dapat beristirahat. Untuk menuju Pos
3 jarak yang harus ditempuh adalah 2 km dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Di
lintasan ini dapat kita jumpai tumbuhan paku-pakuan dengan kondisi hutan yang
agak terbuka.
Terdapat Pondok yang sudah rusak
tinggal kerangkanya di Pos 3 (shelter 2)
yang berada di ketinggian 3.073 mdpl. Di tempat ini pendaki dapat
beristirahat dan masih nyaman untuk mendirikan tenda karena masih terlindung
oleh pepohonan. Waktu tempuh untuk menuju puncak dari pos ini sekitar 4 jam.
Untuk menuju ke Pos 4 jarak yang harus
ditempuh sekitar 1,5 km, memerlukan waktu sekitar 1,5 jam. Kondisi jalur berupa
bekas aliran air sehingga akan berubah menjadi selokan bila turun hujan. Pos 4 (shelter 3) berada pada ketinggian
3.351 mdpl, tempat ini cukup lapang dan bisa untuk mendirikan beberapa
tenda, namun cuaca di sini sering kali tidak bersahabat. Lintasan selanjutnya
untuk menuju puncak berupa pasir dan batuan
cadas. Jarak tempuh menuju puncak 2 km
dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Di lintasan ini pendaki perlu ekstra
hati-hati.
Kejadian
susah untuk bernafas di Shelter 3 Gunung Kerinci yang telah Saya ceritakan di
awal tulisan ini terjadi di Tahun 1996, di mana Saya mendapatkan kesempatan untuk
mendaki ke Gunung Kerinci ini untuk yang kesekian kalinya. Jalur trek gunung
Kerinci ini seperti biasanya, saat itu
Saya selesaikan dalam waktu satu malam. Naik start dari Pintu Rimba
sekitar jam 14:00 WIB dan sampai di Shelter 2 sekitar jam 21:00 WIB. Istirahat
sebentar, kemudian jam 4 paginya dilanjutkan menuju ke Shelter 3 untuk sunrise
attack. Demikianlah yang selalu Saya jalani saat mendaki ke Kerinci.
Saat
itu perjalanan ke Shelter 3 dapat Saya tempuh dalam waktu 1 jam. Hari masih
gelap karena masih jam 5:00 pagi.
Kurang
lebih lima menit lamanya Saya rebah di tanah saat itu dengan nafas tersengal-
sengal. Saya merasakan badan Saya sehat, namun oksigen yang Saya hirup terasa
susah sekali untuk mengumpulkannya ke dalam paru- paru.
Alhamdulillah,
sedikit demi sedikit oksigen tersebut terasa agak banyak Saya dapatkan.
Perlahan berusaha untuk mencari udara kembali dan tidak beberapa lama kemudian
Saya sudah mulai dapat bernafas dengan normal. Saat Saya mencoba untuk duduk,
sinar Matahari pagi baru saja membias dari belakang Gunung Tujuh di arah Timur.
Ini waktunya sunrise hunting…
Kawan
pendaki, Saya baru saja menginformasikan bahwa Saya sudah terkena efek buruk
karena pendakian dengan kecepatan tinggi. Saya terlalu cepat mencapai
ketinggian 3.351 mdpl dalam waktu hanya beberapa jam saja. Biasanya tidak
terjadi hal seperti itu terhadap Saya, karena naik ke Kerinci bukanlah trek
baru bagi Saya. Namun tekanan barometric yang besar dan suhu yang juga rendah
pagi itu membuat tubuh Saya bereaksi sedemikian rupa.
Udara di
ketinggian umumnya dikira rendah oksigen, tetapi ini tidak benar. Udara, di
tingkat manapun, mengandung oksigen 20,93%, 0,03% karbon dioksida dan nitrogen
79,04%. Sebaliknya, seperti meningkatkan elevasi,
oksigen memiliki tekanan parsial semakin rendah.Pada setiap titik di bumi, udara lebih yang berada di
atas titik itu, semakin besar tekanan barometriknya. Ini adalah prinsip yang sama seperti
berada di bawah air. Semakin penyelam turun
lebih dalam, ada lebih banyak air di atasnya dan semakin besar tekanan.
Pada permukaan
laut, udara memberikan tekanan sekitar 760mmHg. Pada
puncak Gunung Everest, 8.848m (29.028 kaki) di atas
permukaan laut, udara hanya memberikan sebuah tekanan sekitar 231mmHg dan pada ketinggian 3.000m sekitar 534 mmHg.
Pada ketinggian 3.000 mdpl menyebabkan oksigen yang dihirup
hanya sekitar 15% dari yang biasa dihirup, atau berkurang 29% dibandingkan
oksigen pada permukaan laut.
Ingat,,, bahwa setelah kita hirup, oksigen dalam alveoli (kantung udara kecil di
paru-paru) lolos ke darah untuk diangkut ke jaringan. Pertukaran gas antara alveoli dan darah ini
terjadi karena
perbedaan tekanan yang disebut gradien tekanan. Tekanan
oksigen dalam
alveoli lebih besar dari tekanan oksigen dalam darah sekitar paru-paru. Hal ini
mendorong oksigen dari paru ke dalam darah. Itu masuk akal, bahwa setiap penurunan tekanan oksigen
memasuki paru-paru akan mengurangi perbedaan tekanan atau gradien. Pada
ketinggian, itulah yang terjadi.
Dengan
tipisnya kadar oksigen di ketinggian, hipoksia (keadaan tubuh
kekurangan oksigen untuk menjamin keperluan hidupnya) akan mendorong terjadinya vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) pada
paru. Ini bertujuan agar oksigen yang dihantarkan ke tubuh tetap cukup, meski
oksigen di udara lebih rendah. Vasokonstriksi pulmoner (penyempitan pembuluh
darah pada paru) yang berlebihan pada akhirnya dapat menyebabkan hipertensi
pulmoner dan kegagalan jantung kanan yang disebabkan oleh peningkatan Tekanan
Arteri Paru ( Pulmonary Arterial Pressure [PAP] ) dan high altitude pulmonary oedema (HAPE).
Ini
pertama ditemukan pada prajurit India, yang ditempatkan di ketinggian 5.800 –
6.700 meter dan bayi bangsa Han di Lhasa. Mereka mengalami gagal jantung kanan
dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan, setelah tinggal di dataran
tinggi.
Pada kasus Saya ini, sebagai pendaki gunung Saya
terlalu cepat mencapai titik di suatu ketinggian. Oleh karena itu Saya terkena
Hipoksia dan dengan mudahnya terserang HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA
(HAPE). HAPE merupakan penyebab tersering kematian akibat ketinggian. Angka kematian HAPE tanpa
penanganan bisa 50% namun dengan penanganan yang baik angka kematian bisa
ditekan sampai di bawah 3%.
Cara lain untuk mengatasinya ialah dengan bernafas
dalam-dalam dan cepat agar oksigen banyak yang masuk kedalam sistem pernafasan
kita, tapi cara ini sangat melelahkan dan lama - kelamaan akan menimbulkan
pusing atau bahkan mual akibat pengaruh kehilangan karbon dioksida.
Mungkin
hal semacam ini dapat Saya hindari lebih awal dengan melakukan aklimatisasi
terlebih dahulu di Shelter 2 pada elevasi 3.073 mdpl, sehingga tubuh Saya dapat
beradaptasi lebih lama untuk ketinggian tersebut dan tidak perlu merasakan
sesak nafas tersebut.
Aklimatisasi merupakan suatu
upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi dari
suatu organisme terhadap
suatu lingkungan baru
yang akan dimasukinya. Aklimatisasi adalah adaptasi
atau penyesuaian diri terhadap keadaan lingkungan baik ketinggian, iklim maupun cuaca di lingkungan.
Merurut hasil suatu
penelitian untuk atlet olah raga, aklimatisasi penuh untuk ketinggian membutuhkan
4 sampai 6 minggu lamanya agar atlet
tersebut dapat bertanding maksimal. Dan diperlukan waktu sekitar dua minggu untuk
beradaptasi dengan perubahan terkait dengan kondisi hypobaric di elevasi 2.268 mdpl
(7500 ft).
Bagi kita para pendaki,
mungkin tidak perlu menghabiskan waktu berminggu- minggu untuk aklimatisasi
karena kita punya keterbatasan, terutama pada point budget dan logistic. Namun
lebih baik memanjangkan waktu dalam hitungan jam-nya untuk melakukan
aklimatisasi.
Apakah ada
cara pencegahan agar kita tidak terkena HAPE ?. Jawabannya “ADA”.
Pendakian dengan cepat merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki untuk menghindari risiko. Pencegahannya yang baik dan benar adalah, hindari mendaki pada malam hari lebih dari 3000 meter dan istirahat 2 (Dua) malam sebelum pendakian selanjutnya. Jangan melakukan perjalanan ( pendakian ) ke tempat yang sangat tinggi jika hanya mempunyai waktu singkat
Pendakian dengan cepat merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki untuk menghindari risiko. Pencegahannya yang baik dan benar adalah, hindari mendaki pada malam hari lebih dari 3000 meter dan istirahat 2 (Dua) malam sebelum pendakian selanjutnya. Jangan melakukan perjalanan ( pendakian ) ke tempat yang sangat tinggi jika hanya mempunyai waktu singkat
Kawan
pendaki, sebagai pendaki gunung sudah seharusnya kita mengetahui dan paham akan
gejala dan tindakan jika terkena HIPOKSIA dan HAPE serta bagaimana melakukan AKLIMATISASI
yang benar. Jika bukan kita secara individu yang mungkin akan mengalaminya,
mungkin teman seperjalanan kita. Dengan demikian kita dapat mencegah terjadinya
fatality dalam dunia pendakian Indonesia.
Pelajari
gejalanya, pelajari penanganannya, nikmati pendakiannya.
Salam
satu jiwa
* * * * *
Sebaik- baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk
manusia lain.
Sebaik-
baiknya pendaki adalah yang bermanfaat untuk pendaki lainnya.
Tulisan ini didedikasikan buat banyak teman yang ingin
mencumbu jalur Kerinci, namun karena sesuatu dan lain hal belum dapat
mewujudkannya.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
No comments:
Post a Comment