By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
Selesai sudah cita- cita ku untuk
mendaki ke Tujuh puncak tertinggi di Indonesia. Paling tidak aku adalah salah
satu yang manusia yang paling “beruntung” di negeri yang bagaikan surga ini.
Dari sekian ratus juta penduduknya, aku adalah golongan yang sebagian kecil
saja yang mempunyai kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Berdiri di atas
dataran tertinggi di Nusantara untuk suatu waktu.
Aku menyelesaikan perjalanan pendakian
inipun tidaklah terlalu lama. Tujuh puncak tertinggi di Indonesia tersebut
mampu aku selesaikan dalam waktu yang relatif singkat, yakni 3,5 tahun saja.
Bayangkan,,, hanya 3,5 tahun saja…
Hal itu juga bukanlah sesuatu yang
terlalu berat bagiku, baik dari segi waktu, maupun dari segi dana.
Pekerjaanku di salah satu perusahaan
swasta berlabel Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang pengeboran
minyak cukup memberikan waktu luang yang banyak untukku guna menjalani hobby
mendaki gunung ini. Sistem kerja di perusahaan yang dua Minggu kerja dan dua
Minggu kemudian untuk libur, sangat aku sukai. Aku punya waktu dua Minggu
setiap bulannya untuk berleha- leha, liburan sana- sini, atau sekedar melakukan
traveling ke beberapa daerah di Indonesia.
Duitnya ??? Jangan Tanya masalah
duitnya !!! Dengan jabatanku sekarang sebagai salah satu supervisor ahli di
bidang radiasi, itu sudah memberikan penghasilan yang empat kali lebih dari
cukup bagi kehidupan sehari- hariku, apalagi aku juga belum berkeluarga, jadi
tidak ada tambahan mulut yang harus diberikan makan, dibelikan baju, atau
kebutuhan- kebutuhan lainnya.
Mencapai Tujuh puncak tertinggi di
Indonesia ini semua seolah- olah adalah mimpi dan harapan yang menjadi nyata
bagiku.
Aku masih ingat, saat masih sekolah
dulu, tepatnya saat masih duduk di bangku SMP, aku dan Dean, adik laki- lakiku yang
lebih muda dua tahun dariku, yang juga kebetulan terlahir bisu, sering shalat
berjamaah dengan ayah sebagai imamnya. Setelah selesai shalat kamipun masing-
masing berdoa. Aku selalu mendoakan hal ini, bahkan mungkin doaku adalah doa
terpanjang di dalam keluargaku :D . Berdoa agar aku dapat menginjakan kakiku di
puncak- puncak tertinggi di Indonesia. Sedang adikku Dean, dia selalu berdoa
dengan khusuknya, namun hanya sebentar saja. “Doa kilat”, ejekku. Namun Dean
selalu membalas dengan senyuman saja setiap aku ejek demikian.
Di bangku SMA, saat aku mulai
keranjingan dengan hobby naik gunung ini, sedang Dean mendapat musibah
kecelakaan bermotor, sehingga kedua belah kakinya lumpuh. Jadilah saat ini,
Dean adikku si bisu dan si lumpuh.
Walaupun lumpuh di atas kursi roda,
Dean tetap saja adikku yang rajin beribadah. Kekurangan itu tidak membuat dia
frustasi atau rendah diri. Doanya tetap khusuk, dan,,,, “Doa kilat”, ejekku…
Dean tetap hanya tersenyum diejek demikian.
Karena bisu, kadang kami bercakap-
cakap lewat goresan pena di atas kertas. Pernah suatu kali Dean menuliskan
kalimat di kertas tersebut, “Abang, Dean pingin ikut mendaki gunung. Boleh,
Bang ???”.
Aku hanya tertawa melihat tulisan
tersebut. Dalam pikiranku, bagaimana Dean akan bisa mendaki gunung ? Dengan
kursi roda ? Ngesot ??? . Dean seolah tahu apa yang aku pikirkan dan aku
tertawakan, dia terdiam, wajahnya murung. Jahatnya lagi, aku hanya menepuk
pundaknya sambil berkata, “Mungkin di kehidupan lainnya bro…”. Abang yang
jahat…
Hari ini saat aku sudah merampungkan
pendakian Tujuh puncak tertinggi di Indonesia tersebut, aku sempatkan pulang ke
rumah untuk memberitahukan ke orang tuaku serta Dean adikku tentang
keberhasilan mimpiku itu.
Aku sampai di rumahku yang terpencil
di sebuah kampung saat shalat magrib berjamaah baru akan dimulai oleh ayah
sebagai imamnya. Setelah shalat magrib selesai, seperti biasa Dean melakukan
doa khusuk kilatnya di sampingku. Aku yang sedang berdoa jadi penasaran,
semenjak kecil aku perhatikan doa yang dilakukan Dean sangat singkat dan kilat.
Dan aku selalu mengejeknya. Namun sore tadi, selepas shalat magrib aku ingin
sekali tahu apa yang didoakan oleh Dean sehingga doanya begitu singkatnya.
Rasa penasaran itu akhirnya aku
tanyakan juga ke Dean. “Apa sih yang kamu doakan selama ini Dean ?. Kok singkat
banget doa kamu selama ini ? “.
Dean hanya tersenyum, lalu mengambil
kertas beserta pena yang ada di sampingnya. Menggoreskan beberapa kata di atas
lembaran kertas tersebut, lalu memberikannya kepadaku.
Aku membaca dengan pelan goresan
tangan Dean di atas kertas itu… Aku tiba- tiba malu kepada doa panjangku yang
meminta dikabulkan untuk mencapai Tujuh puncak tertinggi di Indonesia, namun
ternyata doa Dean yang dikabulkan. Aku tidak berani menatap mata Dean. Setidaknya
sampai shalat Isya ditegakan. Bahkan aku tidak berani untuk menceritakan ke
Ayah, Ibu atau Dean, bahwa aku sudah mencapai dan menginjakan kaki di Tujuh
Puncak tertinggi di Indonesia. Aku malu…
Dean adikku, aku baru saja mengganti
doaku, “Ya Allah ya Tuhanku, izinkan aku membawa dan menggendong Dean ke
puncak- puncak gunung tertinggi di Indonesia, Ammiiinn…”.
Aku membaca ulang goresan tangan Dean
di atas kertas itu. Sekali lagi…
Tulisan itu betul- betul telah
meruntuhkan kesombonganku. Membenamkan kepongahanku ke dasar jiwa yang paling
dalam. Aku langsung memeluk adikku Dean, menitikan air mata, dan berucap lirih
di pundaknya, “Terima kasih Dean, ternyata doamu yang telah dikabulkan oleh
Tuhan. Bukan doaku”.
Salam satu jiwa.
* * * *
*
“Ya Allah ya Tuhan-ku. Kabulkanlah doa
saudara-ku. Ammiiinn”
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment