Monday, March 23, 2015

PENDAKI ITU EGOIS

Yang sudah menjadi orang tua harus baca
Yang akan menjadi orang tua juga harus baca

By : Bams Nektar
Dari balik temaramnya tenda
Inspirasi bagi Pendaki #10

Anakku, hari ini 12 Tahun sudah bilangan umurmu. Lelap tidurmu di dalam tenda malam ini. Aku hanya dapat menerka apa yang sedang Kamu mimpikan. Memimpikan perjalanan kita seharian inikah dirimu?

Tugu Abel, Gn. Marapi, Sumatera Barat.



Menatap wajah polosmu dalam remang cahaya bulan yang menyelinap di tenda kita, saat ini membuat Aku berpikir, apakah Aku sudah terlalu memaksakan kehendak kepadamu? Aku terlalu berharap banyak kepadamu anakku. Mengharapkanmu untuk mengikuti apa yang Aku sukai. Menjadi seorang Pendaki.

Aku mengukurmu dengan busur panah masa kecilku. Padahal Engkau masih terlalu kecil dibandingkan saat Aku memakai busur itu saat Aku masih seumurmu. Aku terlalu memaksamu anakku.

Saat Engkau masih berumur 5 Tahun, Aku sudah membawamu untuk mendaki gunung. Dalam perjalanan tentu saja Engkau tertawa, gembira, bertemu orang baru, menjumpai suasana baru. Tapi, bukankah saat itu Engkau belum dapat memilih ? Aku yang memilihkannya untukmu.

Di perjalanan kita tidak sedikit yang menasehatiku, “Ini terlalu beresiko membawa anak kecil ke gunung…!!!”. Namun Aku selalu berlindung di balik kalimat, “Aku sedang mengenalkan anakku kepada alam dalam usia dini”. Orang tua seperti apa Aku ? Yang telah menempatkan anakku ke dalam resiko yang seharusnya  di hadapi oleh Pendaki berpengalaman. Aku hanya memikirkan fotomu yang nantinya dapat Aku pajang pada grup Pendaki di FB serta media social lainnya, dan nantinya akan banyak mendapatkan pujian dari Pendaki lain karena seorang anak kecil sudah mampu naik ke puncak gunung. Semua resiko itu hanya panduan dari ego-ku, Nak…


Masih terbayang di pelupuk mataku dini hari tadi saat kita masih berkemah di pos terakhir gunung ini sebelum menuju puncak, saat lemahnya fisikmu membuat Kamu muntah. Elevasinya membuat tekanan yang cukup besar terhadap tubuhmu anakku. Hanya karena Engkau lelaki, Aku menyembunyikan rasa khawatirku, Nak. Hanya ucapan semangat yang lain lagi yang  dapat Aku berikan sambil memijiti punggung kecilmu.

Dan saat Matahari mulai mengintip perlahan di sela Cantigi depan tenda kita, Aku masih memaksamu untuk bersiap melanjutkan Summit Attack. Padahal Engkau sudah menolaknya, tapi tetap saja Aku memaksa dengan ucapan semangat yang kesekian kalinya. Aku betul- betul hanya mementingkan ego-ku nak…

Dengan perlahan Engkau memakai sepatumu, mencoba menghiraukan dinginnya hawa gunung di elevasi 2.500 mdpl. Itupun masih dengan hardikanku, “Cepat sedikit,,, nanti kita terlambat mencapai puncak…!!!”.

Padahal puncak gunung ini tidak berarti apa- apa bagimu, Nak. Aku dapat mengetahuinya dari sinar matamu. Puncak ini hanya berarti bagi ego-ku…

Pendakian di Cadas pagi tadipun adalah Neraka bagimu. Engkau hanya mampu menempuh sepuluh langkah, lalu terduduk untuk beristirahat. Berjalan sepuluh langkah lagi, untuk beristirahat kembali. Aku bahkan menarik tanganmu, memaksamu untuk melangkah lagi.

Aku sepertinya hanya bertindak seperti pengawal bagimu. Pengawal yang sangar yang menginginkanmu untuk mencapai puncak dengan memberikan semangat yang keseribu kalinya untukmu. Padahal puncak gunung ini tidak berarti apa- apa bagimu nak. Aku dapat mengetahuinya dari muramnya wajahmu. Puncak ini hanya berarti bagi ego-ku…

Sampai saat Engkau berada di batas kemampuanmu tadi pagi, Nak… Di tengah perjalanan kita di Cadas, Engkau kembali muntah untuk yang kedua kalinya…

Malam ini Aku menyadarinya, Nak. Betapa jahatnya Aku sebagai seorang Ayah hari ini. Setelah Engkau muntah untuk yang kedua kalinya, Aku juga masih memaksamu dengan sejuta ucapan semangat yang Aku tahu tidak Engkau hiraukan.

Engkau merengek minta berhenti untuk tidak melanjutkan pendakian ini lagi. Tapi Aku tetap memaksamu. Aku menggendongmu di punggungku, di Cadas itu, Nak. Yaaa,,, di Cadas dengan kemiringan 60 derajat… Hanya dengan satu harapan, bahwa seumur hidupmu nanti Engkau akan mengingatnya. Mengingat punggung rapuh Ayahmu yang telah mengantarkanmu ke kawah di puncak gunung ini. Walaupun Aku dapat merasakan detak jantungmu di punggungku yang mengatakan, “Aku tidak peduli dengan kawah gunung ini !”. Kawah gunung ini hanya berarti ego-ku…

Masih terngiang bisikan halus suaramu saat Engkau ku gendong di punggungku tadi pagi, Nak.

“Ayah, katanya Ayah mau mendaki ke Everest, yah…? Di sana khan dingin yah”, bisikmu.

“Iya. Jika nanti ada rezeki. Di sana memang dingin, ada saljunya. Itu gunung tertinggi di dunia. Semua pendaki pasti memimpikan untuk berada di puncak Everest. Tapi jalurnya susah. Tak jarang banyak yang mati di sana karena dingin atau terkena longsoran salju”, jawabku.

“Jika banyak yang mati di sana, Ayah jangan mendaki kesana. Nanti Ayah mati juga. Aku tidak mau Ayah mati”, ucapmu sekenanya.

Percakapan kecil kita yang menyiratkan kesucian hatimu dan rasa cintamu padaku, Nak. Walaupun Aku sudah memaksamu melewati batas kemampuanmu. Everest tidak berarti apapun bagimu, Nak. Itu hanya berarti ego-ku…

Bahkan saat kita telah berada di puncak gunungpun Engkau tidak bahagia, Nak… Engkau terus merengek untuk cepat- cepat turun. Aku baru menyadarinya setelah kita berada di tenda di kaki gunung ini. Melihat foto- foto yang telah kita ambil selama dua hari ini, senyummu seolah- olah dipaksakan kujumpai di foto- foto itu.

Engkaupun tidak bersemangat untuk melihat foto itu. Itu hanya foto yang akan Aku upload di wall FB ku untuk menunjukan bahwa Aku punya anak yang hebat. Seorang Pendaki yang mempunyai anak seorang Pendaki juga. Seperti yang dilakukan oleh teman- temanku yang telah mempunyai anak. Foto- foto itu tidak berarti apa- apa bagimu. Foto itu hanya berarti ego-ku…

Anakku,,, malam  ini sambil membetulkan sleeping bag yang menyelimuti tubuh kecilmu, Aku berjanji di dalam hatiku. Aku tidak akan memaksamu lagi untuk  menjadi seorang pendaki, Nak. Toh semua keindahan gunung ini nantinya dapat Engkau nikmati juga melalui cerita, foto- foto dan lukisan. Engkau tidak harus mengikuti ego-ku…

Kecup bibirku di kening dinginmu sebagai cap untuk janjiku.

Semoga jiwamu tercerahkan.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Jiwa kecil memang harus dididik sejak kecil untuk menjadi jiwa yang besar.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :

 “GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”



BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

No comments:

Post a Comment