Saturday, September 3, 2016

AKU INGIN MERACUNI PARA PENDAKI

Pendaki yang bijaksana pasti baca tulisan ini …

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #33

Setelah menghabiskan satu piring nasi dan lauk untuk makan siang, saya tersandar di sebuah kursi makan sambil mengatur nafas agar makanan yang baru saja saya lahap dapat diolah dulu oleh perut yang tadinya kelaparan. Sekilas pikiran saya mengingat satu cerita yang dibroadcast oleh stasiun radio di suatu malam, yang kebetulan saya dengarkan bersama- sama dengan ibu dan bapak mertua saya karena kami satu mobil dalam suatu perjalanan. Judul ceritanya sangat menarik sekali. “Bagaimana cara menyingkirkan mertua anda dengan meracuninya “. Nah,,, looohhh…. :D



Kuping saya langsung berdiri dan saya sangat antusias untuk mendengarkan kelanjutan cerita itu yang saat itu tiba- tiba saja diinterupsi oleh tayangan iklan. Kedua mertua saya juga langsung heboh menunggu kelanjutan ceritanya. Bukan hanya karena masing- masing mereka juga memiliki mertua, namun juga saya sebagai menantunya sedang mendengarkan cerita itu. Jadi mertua saya dapat bersiap diri menyediakan penangkalnya jika jurus- jurus meracuni yang akan diajarkan di dalam cerita tersebut tiba- tiba dipraktekan oleh menantunya, yakni saya :D

Bagi saya sendiri, yang juga antusias untuk mendengarkan kelanjutan cerita tersebut, bukan berarti saya akan menerapkannya kepada kedua mertua saya. Mertua saya adalah mertua yang ideal dan terbaik di dunia, sudah seperti orang tua kandung saya sendiri. Tidak mungkin saya akan meracuni mereka. Di benak saya terlintas, “Jika saya paham cara meracuni ini, akan saya racuni kawan pendaki saya yang banyak cincong, yang banyak gaya, biar beres semua urusan sama mereka”. Hihihihi (ketawa jahat).

Alkisah, di negeri Cina ada sepasang suami istri yang hidup di desa kecil di pinggir kota. Bersama keluarga mereka juga ikut tinggal ibu si suami, yang menjadi mertua si istri.

Karena rumah mereka kecil, semua yang dilakukan oleh si istri tentu saja tidak lepas dari pengamatan ibu mertuanya. Si ibu mertua selalu menegur menantunya jika dilihatnya si menantu kurang telaten dalam mengurus rumah tangga, sehingga hampir setiap saat si menantu selalu mendapat teguran dari si mertua. Mulai dari cara memotong sayur, cara mengupas kulit buah, rasa masakan dan beberapa hal kecil lainnya di dalam rumah tersebut. Bahkan si ibu mertua menceritakan kepada tetangga- tetangga di sekitar rumah bagaimana tidak enaknya masakan menantunya. Bagaimana sikap si menantu yang ketus, yang tidak pernah tersenyum, tidak dapat bekerja, dan segudang cerita jelek lainnya tentang menantunya.

Si istri tentu saja dongkol terhadap mertuanya, dan perasaan tersebut secara tidak langsung juga diperlihatkannya dengan sikapnya sehari- hari, dari berkata ketus kepada mertuanya, sedikit membanting piring saat mencuci, menumpahkan air saat mencuci, dan sikap protes lainnya kepada ibu mertuanya. Jangan harap ada senyuman setiap harinya dari wajah si istri.

Sampai pada puncak kejengkelan si istri, suatu sore ia minta izin ke suaminya untuk pergi ke pasar dengan alasan ada bumbu dapur yang kurang. Alih- alih pergi ke pasar, si istri malah pergi ke rumah seorang tabib. Dia menceritakan perihal rumah tangganya dan masalah dengan ibu mertuanya kepada sang tabib dan berharap agar si tabib dapat memberikan sedikit racun yang ampuh yang dapat dia gunakan nanti di rumah untuk “mengurus” ibu mertuanya yang cerewet.

Sang tabib mengangguk- agukan kepalanya sambil mendengar cerita si istri tersebut. Setelah si istri menceritakan masalahnya, sang tabib mennyarankan agar menggunakan racun yang daya kerjanya pelan. Jika menggunakan racun yang daya kerjanya cepat maka nanti orang- orang kampung akan curiga dengan kematian si ibu mertua. Si istripun menyetujuinya.

Sang tabib memberikan sekantong besar ramuan untuk dicampurkan ke makanan yang akan dimakan oleh si ibu mertua, sambil berpesan kepada si istri tersebut bahwa, karena umur si ibu mertua tinggal sedikit lagi jika memakan ramuan tersebut, sebaiknya si istri berlagak pura- pura baik kepada mertuanya, turuti semua kemauan ibu mertuanya, perlihatkan senyum di bibir, patuhi semua keinginan ibu mertua. Semua semata- mata agar orang- orang desa tidak curiga jika si ibu mertua meninggal dunia. Jika ramuannya habis, datang kembali untuk mendapatkan ramuan baru dari sang tabib.

Si istri pulang ke rumah dan langsung menerapkan saran dari sang tabib. Pura- pura baik, berkata dengan lemah lembut, tersenyum, memasakan makanan ibu mertuanya dengan mencampurkan ramuan yang diperolehnya dari si tabib. Setiap hari demikian yang dilakukannya. Waktu berlalu hari demi hari, minggu demi minggu. Jika ramuan itu habis, si istri datang lagi ke si tabib untuk mendapatkan ramuan baru berikutnya.

Bulanpun berlalu … … … Si ibu mertua sudah tidak sering menegur menantunya lagi karena menantunya sudah menjadi menantu yang penurut, mau menerima masukan dan nasehat dari mertuanya, mudah tersenyum dan masakannya enak. Si ibu mertuanya menceritakan dan mengelu- elukan menantunya ke tetangga sekitarnya, bahwa dia punya menantu yang terbaik di dunia. Menantu yang ideal.

Si istri tiba- tiba muncul rasa cinta dan sayangnya kepada ibu mertuanya. Selama ini dia hanya tidak dapat menyelaraskan sikapnya saja dengan ibu mertuanya. Dan penyesalanpun datang menghampirinya. Cepat- cepat dia menemui sang tabib untuk minta penawar dari racun yang telah dia berikan di masakan ibunya.

Sang tabib kembali mendengar alasan- alasan mengapa si istri mau meminta obat penangkal dari racunnya tersebut. Si istri menjelaskan dengan sedih, mengingat bahwa mertua yang disayanginya tersebut mungkin akan berumur tidak lama lagi.

Sang tabib tersenyum dan barkata, “Pulanglah, tetaplah bersikap seperti beberapa bulan belakangan ini. Tetaplah ramah, hangat dan menyenangkan bagi ibu mertuamua. Ibu mertuamu tidak akan meninggal dunia dalam waktu dekat. Ramuan yang saya berikan kemarin- kemarin adalah bumbu masakan agar menambah lezat masakanmu.Sikapmulah yang harus kamu rubah, agar ibu mertuamu menyayangimu seperti saat ini”.

Sahabat pendaki, Dale Carnegie, salah satu pakar tentang Bagaimana cara Berhubungan Dengan Manusia pernah mengajarkan dalam salah satu sesi trainingnya tentang perdebatan ini.

Bertahun- tahun yang lalu, Patrick J. OHaire bergabung dalam salah satu kelas saya. Dia hanya mendapatkan pendidikan formal sangat sedikit, dan betapa dia menyukai pertengkaran !

Dia pernah menjadi supir, dan dia datang pada saya karena dia selama ini telah berusaha, namun tanpa banyak membawa hasil usaha dalam menjual truk.

Sedikit pertanyaan dari saya memberi fakta bahwa dia terus saja melanjutkan perdebatan dan menentang orang- orang dengan siapa dia berusaha melakukan bisnis. Kalau ada seorang calon pembeli menyatakan apapun yang menghina truk- truk yang dijualnya, Pat naik darah dan langsung menyerang pelanggan itu.

Pat telah menang dalam banyak argumentasi pada masa- masa itu. Seperti yang dia katakana kepada saya setelah itu, “Saya sering melangkah ke luar dari kantor itu dan berkata: Saya sudah sampaikan kepada orang itu sesuatu”. Ya. Tentu saja saya sudah mengatakan sesuatu kepada orang itu, tapi… … … saya belum menjual apapun kepadanya.

Masalah saya yang pertama bukanlah mengajarkan Patrick J. Ohire untuk berbicara. Tugas saya yang mendesak justru melatihnya untuk menahan diri agar tidak bicara, dan menghindari pertengkaran.

Selanjutnya, Ohire menjadi salah satu penjual terkemuka untuk White Motor Company di New York.

Sahabat pendaki, anda mungkin saja mendapatkan banyak kawan karena anda banyak mengalah, namun anda tidak akan mungkin mendapatkan banyak kawan jika anda banyak mendebat. Banyak membuat pertengkaran.

Kita mungkin akan tergelitik dan terpancing untuk melontarkan kata- kata ejekan atau berseberangan dengan teman pendaki kita. Mungkin saja kita tergelitik untuk menuliskan komen yang menyerangnya pada status yang dia buat di media sosial. Sadarkah kita bahwa kita baru saja menciptakan “dinding” pembatas dengan teman pendaki kita tersebut ? Apalagi jika kita sampai menuliskan kata- kata kasar atau menghina kepada teman pendaki kita di media social tersebut.

Siapapun orangnya, dia akan otomatis mempertahankan ego atau pendapatnya saat mendapat serangan dari audiancenya. Itu sifat alami manusia. Pada saat dia diserang, dia akan mempertahankan diri. Adalah tidak bijak jika kita justru sengaja membuly teman pendaki tersebut dengan komen- komen yang tidak enak untuk dibaca. Daripada melakukan hal tersebut, bukankah lebih baik kita menyelaraskan sikap kita kepada statement teman pendaki tersebut dengan cara yang bijaksana. Kita masih dapat mencari banyak poin- poin yang dapat menyatukan kita dalam satu kebersamaan dari pada mencari satu poin yang dapat membuat kita terpecah belah.

Setiap kali sahabat pendaki tergelitik untuk beradu argument di grup ini, saya barharap sedikit ingatan tentang tulisan ini mampu mencegah keinginan tersebut.

Semoga jiwamu tercerahkan.
Salam satu jiwa.

* * * *  *

Seribu teman masih membuat dunia ini kurang lapang. Satu musuh sudah membuat dunia ini menjadi sempit.

Alasan bahwa laut mampu menampung banyaknya air adalah karena ia mampu menempatkan dirinya paling rendah.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :

 “GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

2 comments:

  1. Komposisi racunnya bagus mas.
    Kadang secara tak sadar saya pribadi pernah terpancing menciptakan dinding tersebut. Untung kami sudah saling mengerti bahwa hal itu sebetas sebuah candaan di kala kabut menjadi selimut malam. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... mantap... asal jgn musuh di dalam selimut yah. Itu kepinding namanya... hehehe

      Delete