Saturday, October 15, 2016

GELANG KAKIMU DI TELAPAK TANGANKU

By : Bams Nektar
Kisah bagi Pendaki #36

Orang bilang, “Sebagian jiwa kita melekat pada benda yang kita pakai, bahkan setelah kita mati !!!”.
  


Apakah anda sering mendengar misteri jam tangan? Misteri tersebut mencetuskan bahwa jam tangan yang biasa dipakai seseorang akan berhenti berdetik kala pemiliknya meninggal dunia. Tak hanya jam tangan milik mendiang saja, tetapi jam-jam di sekitar rumahnya pun akan berhenti berdetik. Apakah misteri ini dapat diterangkan oleh penjelasan ilmiah, ataukah memang suatu misteri yang tak terpecahkan?

Banyak ilmuwan yang berusaha mencari penjelasan ilmiah akan misteri jam tangan ini. Menurut pemikiran para psikologis, mereka percaya akan fakta bahwa manusia akan melepaskan energi psikis yang kuat saat sekarat. Nah, pelepasan energi psikis yang kuat inilah yang memicu jam berhenti berdetak atau mati.

Namun para fisikawan dan peneliti memberikan penjelasan yang lebih mendekati pendekatan ilmiah atau kenyataan. Fisikawan menyatakan bahwa jam tangan seperti "arus" pada sirkuit listrik dan mulai memainkan peran landasan. Mereka menyimpulkan bahwa ketika seseorang memakai jam logam panjang di tangan kiri, terutama jika ada tali kulit atau besi, maka jam tangan mereka menjadi bagian dari medan elektromagnetik. Dengan begitu semua energi tubuh manusia akan mengalir ke jarum jam di tangan.

Secara rinci seperti peralatan elektronik yang mengumpulkan energi yang disebut flap atau terminator. Setelah beberapa bulan memakai jam pada tangan, tentu saja jam tangan tersebut akan dialiri energi sang pemilik. Berikutnya ketika pemiliknya meninggal, hal ini akan memicu jam tangan kehilangan medan listrik dan pada akhirnya jam pun ikut berhenti berdetak karena tidak mendapatkan aliran energi dari sang pemiliknya yang sudah wafat.

Dulu,,, yaa,,, dulu sekali…. Waktu ; dirahasiakan. Gunung ; dirahasiakan. Nama ; dikaburkan. Pada masa yang sudah mulai memudar di ingatan ku.

Mendaki dengan carrier berwarna Hijau di pundak, sendirian di gunung ini, sunyi, dan bau tanah basah yang lekat di sepatu masih terasa seperti dua hari yang lalu. Sebenarnya kami melakukan pendakian bertiga di gunung ini. Namun dua temanku sudah berjalan duluan di depan. Mungkin ini efek carrier yang terlalu berat di pundakku. Jalan jadi lemot, lamban karena beban yang serasa bertambah satu ons setiap satu langkahnya.

Aku mencoba mengatur langkah kaki dengan melangkah dengan pendek- pendek, mengatur keluar masuk nafas di paru- paruku. Lumayan, waktu istirahat satu ke yang lainnya bisa lebih diperjauh jaraknya. Berharap saja ini dapat memperpendek jarakku dengan dua orang teman di depan sana.

Karena mendaki dengan badan yang dicondongkan ke depan, Aku tidak meyadari tiba- tiba di tanjakan jalan setapak di depanku ada sepasang kaki yang dihiasi gelang kaki di kaki kanannya, yang juga berjalan perlahan. Seorang gadis pendaki, sendirian….

Sepertinya dia juga tertinggal dari teman- temannya. Dia mempersilahkan Aku untuk berjalan duluan, namun Aku tidak tega untuk membiarkannya berjalan sendirian, di dalam hutan.

Akhirnya kami berjalan bersamaan, dia tetap di depan dan Aku mengiringi di belakang. Asik juga mendaki bersama seorang cewek pendaki, cantik pula, pikirku. Dia memperkenalkan namanya Lilu. Nama yang unik menurutku. Bukan hanya lucu untuk disebutkan di lidah, namun nama itu sangat jarang atau bahkan belum pernah kudengar sama sekali. Dia mendaki bersama tujuh orang teman- teman sekampusnya di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang ternyata satu kota denganku.

Sama denganku, Lilu juga terpisah dari rombongannya dan berjalan paling belakang, setapak demi setapak, sampai akhirnya Aku dapat menyusulnya.

Kembali mataku tertumbuk pada gelang kakinya. Gelang kaki terbuat dari manik- manik kecil dengan warna kuning mencolok bercampur hitam dan merah, cocok sekali saat dipadukan dengan kulit pergelangan kakinya yang bersih. “Seandainya Aku tidak dapat bertemu lagi dengan gadis ini, Aku harus mendapatkan gelang kaki itu sebagai kenang- kenangan bagiku”, pikirku.

Aku memberanikan diri meminta gelang kaki tersebut. Lilu hanya tersenyum. “Buat apa ?”. Tanyanya.

“Buat kenang- kenangan. Mungkin nanti saat Lilu sudah bergabung dengan rombongannya, Aku juga sudah tidak diingat lagi”. Jawabku.

“Nanti yah Bang. Nanti Lilu berikan jika kita sudah sampai di camp akhir pendakian ini. Ini gelang kesayangan Lilu , lho….”. Balas Lilu.

Obrolanpun semakin akrab di antara kami. Tentang dari mana asal Lilu, keluarganya, bagaimana Lilu mendapatkan gelang itu, tentunya diselingi gurauan- gurauan dan cerita- cerita lucu yang membuat Aku merasa cocok dengan Lilu. Bahkan alamat rumahnyapun Aku dapatkan seiring “godaan” untuk minta izin datang berkunjung untuk main ke rumahnya. Hingga tanpa terasa kami sampai di camp akhir gunung ini, sebelum melakukan summit attack esok paginya.

Matahari mulai condong ke barat, remang cahaya senja mulai meliputi kawasan camp site gunung ini. Tenda para pendaki bertebaran berwarna warni di sekeliling dataran yang tidak seberapa ini. Lilu berjalan agak jauh di depanku untuk mencari tenda rombongannya, saat Aku mengikutinya, tiba- tiba teriakan dua orang temanku mengalihkan perhatianku pada Lilu. Aku mendekat ke tenda yang telah didirikan oleh temanku, berbalik badan untuk mencari Lilu, namun gadis itu sudah tidak terlihat lagi. Mungkin sudah berbaur dengan beberapa pendaki yang sedang bercengkrama di camp ini, atau sudah masuk ke tenda rombongannya. Huh,,,, hilang sudah kesempatan untuk mendapatkan gelang kakinya untuk kenang- kenangan.

Esok paginya saat melakukan summit attack, mataku masih terus mencari sosok Lilu. Di mana gerangan gadis manis itu? Saat turun dari gunung itupun Aku juga masih terus mencari Lilu. Bahkan Aku sengaja memberi jalan duluan bagi setiap rombongan pendaki yang hendak turun, mungkin saja Aku dapat bertemu lagi dengan Lilu. Namun gadis itu tidak juga kutemukan.  Ah, biarlah…!!! Toh Aku juga sudah dapat alamat rumahnya, besok atau lusa Aku bisa datang ke rumahnya untuk menagih janji si gelang kaki.

Tiga hari kemudian, Aku menemukan alamat rumahnya Lilu. Teras dengan sedikit taman berumput hijau di depannya. Sebuah lampu taman mengisi kekosongan taman tersebut. Sementara, dua kursi rotan ada di depan samping kiri pintu rumah dan sebuah gang kecil di sebelah kanan bangunan sebagai jalan khusus untuk menuju ke lantai dua sepertinya.

Ketukan tanganku di pintu rumah disambut oleh munculnya seraut wajah keibuan. “Cari siapa ya, Nak ?”. Tanya si ibu.

“Hmmm, Saya mencari Lilu, Bu.  Apakah ini rumahnya Lilu, Bu ?” Jawabku.

Wajah si Ibu sedikit mengeryit, memperhatikan Aku, seolah- olah menyelidik lebih dalam. “Anak ini ada hubungan apa dengan Lilu ?” Tanya si Ibu lebih jauh.

Aku menjelaskan bahwa Aku teman sependakiannya Lilu tiga hari yang lalu. Si ibu mempersilahkan Aku untuk masuk ke ruang tamu rumah tersebut. Aku mengedarkan pandangan sekilas ke beberapa sudut ruangan dan ada foto Lilu di salah satu dinding. Persis seperti Lilu yang pernah Aku kenal. Manis dengan garis senyum tipis di bibirnya.

Si ibu melontarkan banyak pertanyaan kepadaku. Bagaimana Aku dapat mengenal Lilu, apa saja yang kami bicarakan, dan hal- hal kecil lainnya yang Aku rasakan agak menyelidikiku. Seolah- olah Aku ini seorang pembohong. Aku menjelaskan dengan sejujurnya tentang bagaimana perjumpaanku dengan Lilu dan bagaimana Lilu berjanji akan memberikan gelang kakinya kepadaku.

Si ibu malah bertanya lebih detail lagi tentang gelang kaki itu, bentuknya, warnanya, modelnya, dan Aku meladeni dengan menjelaskan secara spesifik bentuk dari gelang kaki tersebut. Lalu si ibu mohon diri sebentar untuk masuk ke ruang dalam rumah, dan tak lama kemudian keluar dengan gelang di dalam telapak tangannya. Gelang kaki Lilu…

Si ibu memberikan gelang kaki tersebut kepadaku. “Gelang kaki ini rupanya memang diinginkan oleh Lilu untuk diberikan buat ananda sebagai kenang- kenangan. Ambilah dan simpan sebagai kenangan”. Ucap si ibu dengan mata berlinang.

Aku heran dengan keadaan saat itu. “Lilu sedang ke mana, Bu ? Belum pulang kuliah ?”. Tanyaku.

Si ibu menjawab dengan cerita, “Lilu saat itu pergi mendaki dengan teman- temannya, entah bagaimana dia dapat terpisah dengan rombongannya. Tim SAR sudah berusaha melakukan pencarian di gunung itu. Namun mereka hanya menemukan gelang kaki itu tertinggal di pinggir jalan setapak. Itu memang gelang kaki kesayangan Lilu. Hanya gelang kaki itu yang pulang ke rumah. Tiga hari yang lalu adalah bertepatan dengan hari terpisahnya Lilu dengan keluarga dan teman- teman pendakinya, lima tahun yang lalu. Dan sekarang Lilu ingin gelang kaki itu disimpan oleh ananda. Simpan dan jagalah gelang kaki itu untuk Lilu”.

Tiba- tiba semangat hidup yang ada di tubuhku seolah- olah menguap entah ke mana. Memudar seiring pudarnya pandanganku ke gelang kaki di telapak tanganku.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *

“Sebagian jiwa kita melekat pada benda yang kita pakai, bahkan setelah kita mati !!!”. Saat ini aku memiliki sebagian jiwamu yang ada pada gelang kakimu. Tepat di telapak tanganku Lilu…  Yah,,, hanya tersisa sebagian jiwamu di telapak tanganku…

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :

 “GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

1 comment:

  1. makasih atas infonya, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2wFUPf3

    ReplyDelete