Sunday, May 6, 2018

TEGUHLAH SEPERTI KARANG


Pelajaran “kecil” kadang kita dapatkan dari anak kecil.
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #52



Gerimis baru saja turun membasahi dusun terakhir di kaki Gunung Latimojong (3.478 mdpl) saat saya menginjakan kaki di tanah yang kaya akan hasil dari perkebunan kopinya tersebut. Siapa yang tidak kenal kopi Enrekang? Kopi yang juga menjadi buah bibir yang namanya juga kesohor sampai ke kota saya yang jauh di ufuk Barat sana, Batam. Berbicara tentang kopi di kopi tiam – sebutan untuk kedai kopi di Batam dan sekitaran Kepulauan Riau – nama Enrekang pasti akan tersebut beberapa kali. Dan Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk datang langsung ke ladang kopinya di tanah Sulawesi ini.



Kopi arabika hasil alam di daerah ini meraih predikat sebagai kopi “The Best Coffee” terbaik diajang Lelang Kopi Internasioal 2016 di Bali, Desember baru- baru ini. Kopi asal Beteng Alla, Kecamatan Baroko, Enrekang ini mendapatkan harga lelang tertinggi dengan Rp450 ribu/kg, setelah mengalahkan puluhan kopi ternama di Indonesia yang ikut berlomba pada ajang Lelang Kopi Internasioal tersebut. Kopi arabika yang menjadi salah satu potensi terbesar di daerah itu telah diekspor ke berbagai negara seperti Korea Selatan, Australia dan Norwegia.

Bicara Gunung Latimojong, kita tidak akan pernah lepas dari nama Dusun Karangan.  Dusun tertinggi di kaki Gunung Latimojong yang subur, dengan pemandangan indah luar biasa. Tidak usah ke Pos 7 Gunung Latimojong buat menikmati pemandangan surgawi, cukup kita tegak berdiri di Pos 1 Gunung Latimojong yang dapat dicapai dengan cepat dengan menaiki ojek yang dikemudikan oleh joki- joki handal tempaan alam punggungan gunung, mata akan dimanjakan oleh pemandangan lembah yang memanjang dan meliuk- liuk ke arah Timur, hijau samar- samar dalam balutan kabut tipis Jumat pagi, kicau burung di batas hutan tak jauh dari punggung kita, sesekali dahan- dahan pepohonan akan bergoyang karena efek lompatan dari siamang- siamang yang berkejaran di atas sana.

Saya cepat- cepat berteduh di bawah rumah panggung milik Kepala Dusun Karangan untuk menghindari gerimis yang mulai deras menjadi hujan, melepas sepatu di tangga kayu yang menghubungkan lantai bawah ke lantai atas yang menjanjikan kenyamanan dan kehangatan lantai kayu di teras atas yang tentu  saja sudah menunggu seteko penuh seduhan kopi panas asli dari Dusun Karangan.

Belum habis secangkir kopi dalam genggaman saya saat bersenda gurau dengan beberapa orang sahabat, sudut mata saya menangkap dua wajah mungil yang malu- malu mengintip dari luar pintu. Saya tersenyum memperhatikan dua orang bocah laki- laki yang seolah saling tolak menolak untuk maju ke depan pintu.

Saya berinisiatif untuk mendatangi mereka di teras luar, dan membangun ikatan pembicaraan dengan dua bocah dari Dusun Karangan ini. Oh, ternyata mereka hendak menawarkan menjual buah kalpataru yang mereka dapatkan di hutan. “Memang kalpatarunya bisa buat apa?” Tanya saya.

“Bisa buat kalung dan gantungan kunci, om” Ujar mereka masih dengan mimik wajah malu- malu.

Saya langsung teringat pesan dari salah satu sahabat, saat saya akan memulai perjalanan ke Gunung Latimojong ini, “Jangan lupa bawa kalpataru buat oleh- oleh, ya” tulisnya di komen media sosial saya. Saya tidak begitu mengindahkan pesan tersebut, karena memang saya tidak tahu di mana mencarinya? Di mana mendapatkannya? Bagaimana bentuk pohonnya? Saya benar- benar buta tentang yang namanya kalpataru. Yang saya tahu, kalpataru itu rupanya seperti rumput laut meliuk- liuk tidak beraturan dan berbentuk bulat besar karena dijadikan tugu di perempatan jalan oleh kota- kota yang sudah meraih penghargaan untuk lingkungan hidup. Dan tentu saja trophy- nya lebih kecil ukurannya dibandingkan tugu di perempatan tersebut.

Tidak mudah menemui jenis tumbuhan ini di lingkungan perkotaan. Karena itu wajar, bila sebagian besar masyarakat hanya mengenal kalpataru sebagai sebuah trofi yang diberikan kepada mereka yang berprestasi di bidang lingkungan hidup. Atau lukisan bulatan yang terbentuk dari akar- akar yang menjadi logo Kementerian Lingkungan Hidup. Pada hal pohon Kalpataru, bukan sekedar mitos, tapi memang satu jenis pohon sungguhan yang merupakan tanaman asli kawasan Asia Tenggara, yang tumbuh menyebar di sepanjang pantai Samudera Hindia hingga Pasifik.

Pohon ini memiliki nama ilmiah “Barringtonia asiatica,” dan termasuk dalam suku “Barringtoniaceaf. “ Namun masyarakat kerap menyebutnya sebagai pohon Keben. Pohon kalpataru berbatang lunak, tingginya berkisar antara 5 hingga 7 meter. Pohon ini memiliki banyak akar sehingga selain tegaknya menjadi kokoh, juga banyak menyimpan air. Daunnya rimbun dan berdahan rindang sehingga sering dimanfaatkan banyak satwa untuk dijadikan tempat membuat sarang. Kalpataru mempunyai bunga dan buah yang indah. Daunnya tebal dan mengkilap, saat masih muda berwarna merah tua dengan tulang daun merah muda. Para nelayan Papua kerap memanfaatkan biji kalpataru untuk menuba (meracun) ikan. Biji ini juga bisa dijadikan obat kudis dan kejang perut. Tapi belakangan, biji kalpataru mulai dipopulerkan sebagai obat tetes mata yang manjur.

Karena kerimbunan dan menjadi tempat berlindung berbagai jenis satwa, pohon Kalpataru memiliki arti khusus dalam mitologi masyarakat Indonesia. Ia dianggap sebagai pohon kehidupan. Dalam bahasa sansekerta, Kalpataru adalah kata majemuk yang terbentuk dari perpaduan kata “Kalpa” yang berarti kehidupan, dan “Taru” yang berarti pohon.

Eratnya, pohon ini dengan nilai-nilai tradisi masyarakat Indonesia, setidaknya terlihat pada banyaknya relief pohon Kalpataru menghiasi dinding sejumlah candi di tanah air. Sayangnya, para penjual bibit tanaman jarang menjual jenis pohon ini, sehingga bentuknya yang sebenarnya, jarang diketahui masyarakat.

Namun saya benar- benar tidak mempunyai sedikit gambaran apapun tentang bentuk asli buah kalpataru itu. Dan sekarang, dua bocah ingusan ada di hadapan saya dengan tangan mungil penuh dengan buah kalpataru itu. Saya menghitung ada tiga kalpataru di tangan si bocah berbaju motif garis- garis yang lebih berani untuk bersuara.

Hati saya tergerak untuk membeli kalpataru yang dia tawarkan. Pikiran “licik” saya mulai bermain. Mereka khan masih kecil, mungkin umurnya sekitar 5 atau 6 tahun. Anak dusun yang mungkin saja belum mengerti akan uang. Saya tawar saja habis- habisan harganya pasti dia mau, khan lumayan duitnya bisa buat jajan di warung bawah rumah pak Kepala Dusun.

“Harganya berapa satu buah, sayang?” Tanya saya.

“Sepuluh ribu, satu kalpataru” Jawabnya.

“Lima ribu deh, satu buahnya” Tawar saya.

“Gak bisa, om. Sepuluh ribu” Katanya menegaskan sambil menggelengkan kepala.

“Lima ribu itu banyak lho, dek” Timpal saya. Tapi si bocah tetap kukuh tidak bergeming.

“Ya udah deh, om ambil semuanya. Tiga biji semuanya. Karena om ambil semuanya, om minta diskon, yah. Ada tiga kalpataru, om ambil semuanya jadi dua puluh ribu rupiah, ya?” Nego abis deh pokoknya.

“ Lima puluh ribu”. Jawabnya lagi. Gubraakk…!!! Saya kaget…

Lima puluh ribu rupiah untuk tiga buah kalpataru? Hah? Satu kalpataru harganya sepuluh ribu, jadi tiga kalpataru semuanya menjadi lima puluh ribu rupiah. Saya dikadalin ama bocah ingusan. Hancur reputasi saya di negeri orang…

Saya terus membujuk si bocah dengan berbagai macam jurus tawar menawar yang saya punya. Pokoknya saya kokoh tidak mau kalah pada diplomasi tingkat tinggi ini. Ini adalah nego bisnis tingkat tinggi di dataran dusun tertinggi pula. Sampai- sampai saya menunjukan cara berhitung dengan kalpataru di tangannya.

 “Ayo kita hitung bersama ya, dek. Ini kalpatarunya satu, dua, tiga, yah.” Sambil memindahkan satu persatu buah kalpatru dari tangan kanan ke tangan kirinya.

“Jadi ada tiga buah kalpataru ya, dek. Satu kalpataru harganya sepuluh ribu. Jadi tiga kalpataru totalnya jadi tiga puluh ribu, bukan?” Ajar saya.

Dengan masih santai si bocah nyeletuk, “Lima puluh ribu…”

Tetap tuh, si bocah tidak mau bergeming. Hadeh… pusing pala om berbi…

Tumpul abis jurus negosiasi saya berhadapan dengan bocah ini. “Aduh dek, besaran dikit kamu, om rekrut jadi sales di perusahaannya om, mau yah?” Tawar saya.

Dan tiga lembar sepuluhan ribupun berpindah tangan di dalam dinginnya cuaca sore itu, mengiringi larian kecil dua bocah di bawah rinai sambil tertawa kegirangan karena menang dalam dalam negosiasi penjualan yang baru saja mereka lakukan. Hasilnya, dagangan mereka ludes diborong om- om ganteng :D

Transaksi sederhana memang. Dengan nilai yang juga sederhana. Namun prosesnya rumit tiada tara. Bagi saya pribadi ada filosofi dan pengajaran yang dapat saya ambil dari interaksi itu.

Si bocah baru saja mengajarkan keteguhan hati bak karang di lautan. Tak peduli bagaimanapun ombak menerjang, karang tetap saja karang, kokoh menantang. Tak peduli bagaimanpun om gantengnya menawar dan merayu, tetap saja lima puluh ribu. Ha…

Pembelajaran oleh bocah mungil tentang keteguhan hati di sore itu menjadi pegangan saya di jalur Latimojong keesokan harinya. Tujuh jam tanpa henti dihajar hujan di sepanjang  jalur Latimojong  yang licin dan terjal menantang, keteguhan hati yang diajarkan oleh bocah mungil itu tetap membekas.

Dan keteguhan hati seperti karang menjulang itu pula yang seharusnya dimiliki oleh sahabat pendaki yang membaca tulisan ini.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
”. (Bams Nektar)

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment