Sunday, June 3, 2018

INGATLAH SEBELUM BERUBAH


By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #53

Butuh waktu setidaknya sekitar dua jam lamanya dari Batam, dengan menaiki kapal ferry untuk menginjakan kaki di Pelabuhan Situlang Laut di Johor Bahru, Malaysia. Perjalanan yang cukup untuk menumbuhkan rasa bosan karena ruang gerak saya selama dua jam itu hanya beredar di sekitar dek penumpang, atau naik ke  atap kapal ferry hanya untuk menghirup udara segar dari angin laut, atau untuk memanjakan mata dengan pemandangan kapal-kapal yang sedang lego jangkar di sepanjang jalur pelayaran menuju Johor Bahru ini. Setidaknya kebosanan itu sedikit terobati dengan sunset cantik yang hadir saat kapal ferry yang saya tumpangi memasuki perairan Johor.



Pelabuhan ferry Johor Bahru bisa dikatakan identik dengan beberapa pelabuhan ferry di Batam, dimana pelabuhan tersebut menyatu langsung dengan mall atau terhubung dengan mall yang memudahkan para pengunjung untuk berbelanja. Antrian tidak terlalu panjang saat saya mendekati konter-konter tempat pemeriksaan imigrasi, dan tidak menghabiskan waktu lama bagi saya untuk sampai di konter imigrasi itu, saat paspor bersampul warna hijau dan bergambar garuda milik saya mendapatkan cap dari imigrasi Malaysia.

Dua atau tiga pertanyaan dari petugas imigrasi tentang maksud kunjungan saya ke Johor, saya jawab dengan lancar dengan menggunakan bahasa Melayu. Sesekali petugas tersebut mencuri pandang kepada carrier yang tersandang di punggung saya. Tak terlalu sulit membawakan dan  menggunakan bahasa Melayu, mengingat di Batam pun bahasa Melayu seringkali saya dengar, bahkan sering saya bawakan saat berinteraksi dengan masyarakat yang ada di pulau-pulau di sekitar Batam saat berkegiatan jelajah pulau atau jelajah kampung tua yang ada di Batam.

Pepatah bilang, alah bisa karena biasa. Mungkin benar adanya. Dimana kita berada, sedikit banyak kita akan terpengaruh oleh keadaan di sekitar kita. Misalnya saja masalah bahasa itu tadi. Apalagi film anak-anak ipin dan upin juga sering ditayangkan di Indonesia, sehingga bahasa Melayu tentunya bukan sesuatu yang asing lagi bagi saya.

Sekitar tahun 2010 yang lalu, untuk alasan pekerjaan, saya sempat merasakan berdomisili di kota Medan, Sumatera Utara untuk waktu kurang lebih sekitar dua tahun lamanya. Berinteraksi dengan penduduk sekitarnya dan menjelajahi beberapa bagian kota Medan. Satu hal yang tanpa saya sadari adalah, lalu lintas jalanan di kota Medan sudah mempengaruhi cara saya membawa dan menggunakan kendaraan. Di beberapa persimpangan jalanan di kota Medan, meskipun sudah ada lampu pengatur lalu lintas, tetap saja ada beberapa orang yang “nyelonong” menerobos saat lampu masih berwarna merah. Bahkan saat di sisi bagian jalan kita lampu pengatur lalu lintasnya sudah berwarna hijau, tetap saja di bagian sisi yang sedang lampu merah tetap menerobos. Apalagi di persimpangan yang tidak memiliki lampu pengatur lampu lalu lintas, jika tidak kita paksakan “hidung” kendaraan kita untuk masuk menerobos padatnya lalu lintas, jangan harap kita diberi kesempatan jalan oleh pengguna jalan lainnya.

Demikian berjalan dari hari ke hari, dan itu sudah menjadi suatu kebiasaan bagi saya yang saat itu memang bekerja lebih banyak di lapangan.

Saat mendapatkan waktu untuk pulang ke Batam, dan saat saya membawa kendaraan dengan penumpang teman-teman sekantor di Batam, mereka semua langsung mengomentari tentang bagaimana cara saya membawa kendaraan. “Lebih brutal” dari biasanya, istilah mereka. Saya lebih suka meminjam istilah yang sedang hangat di tahun ini, “Lebih radikal!”, hi hi hi. Saya merasa membawa kendaraan biasa saja. Namun, teman-teman yang menilai dan merasakan perubahan dari cara saya membawa kendaraan. Kota Medan sedikit banyak telah merubah karakter saya.   

Karakter kita bisa saja berubah, sedikit atau banyak, tergantung kepada lamanya waktu kita berada di suatu daerah atau suatu suasana. Sebagai contoh, jika kita merantau ke Hongkong atau Taiwan, perubahan mencolok yang terjadi pada para perantau WNI di Negara ini lebih ketara pada sisi gaya hidupnya. Khususnya adalah, pada cara berpakaian dan pergaulan mereka.

Contoh lainnya adalah, para perantau WNI yang ke Jepang, menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja. Pekerjaan di Jepang mencakup banyak bidang, sebagian besar WNI di sini berprofesi sebagai pemagang yang mengisi lowongan pekerjaan di berbagai sektor industri Jepang. Karena Jepang adalah negara yang maju, disiplin, sibuk dan bersih, ada dampak baik yang mempengaruhi perubahan sikap WNI perantau di negara Matahari Terbit ini.

Suasana di Jepang ini tentunya mengubah karakter para perantau WNI. Mereka menjadi lebih disiplin dan tepat waktu serta fokus terhadap pekerjaan yang dibebankan kepada mereka. Mereka menjadi peduli terhadap efisiensi waktu, dan kebersihan. Gaya hidup mereka beralih ke lebih mengenal kemajuan teknologi, mulai menggunakan gadget mutakhir, mulai dari smartphone, drone, kamera, laptop dan berbagai piranti canggih lainnya. Mereka mulai peduli dengan merk barang yang mereka pakai, dan mulai terbiasa membeli makanan dan minuman dari kotak yang memiliki berbagai tombol berfungsi untuk memilih barang yang akan dibeli. Mereka terbiasa tergesa-gesa mengejar jadwal kereta.

Bagaimana dengan para perantau yang pergi ke Negara-negara Amerika ataupun ke Eropa? Ini adalah negara bebas, Bung! Selama apa yang anda lakukan itu dianggap legal di sana, anda mungkin saja bebas melakukan apa saja, seperti bermesraan atau bahkan termasuk telanjang di muka umum. Mungkin anda akan mulai memiliki tingkat kesombongan sampai level langit ketujuh. Anda bisa saja mulai lebih mementingkan diri anda sendiri dibandingkan lingkungan sekitarnya. Hal-hal peka ketimuran yang anda dapatkan di surau-surau jauh di pelosok negeri Sumatera bernama Indonesia mungkin saja menjadi blur. Sama seperti halnya  tata karma yang anda jaga dan anda dapatkan di tanah Jawa, mungkin saja menjadi luntur.

Bahkan jika anda merantau ke negeri-negeri di Timur sana, Negara-negara di Semenanjung Arab, anda mungkin akan mendapatkan memiliki pengalaman spritual yang mencerahkan. Aktivitas keagamaan yang kuat dari masyarakat sekitar anda akan menarik anda ke dalam suatu bentuk “kelahiran baru”. Di sini anda bukan hanya bekerja dan menghasilkan uang, namun anda juga akan mendalami arti hidup dengan beribadah. Anda sedikit banyak akan terpengaruh suasananya.

Semua gambaran perubahan karena tempat dan suasana di atas juga berlaku sama di dalam pergaulan para pendaki. Bergaul dengan sahabat-sahabat sesama pendaki akan mempengaruhi anda untuk menjadi pendaki yang lebih baik lagi dengan mendengarkan dan belajar dari pengalaman para sahabat pendaki anda. Anda mungkin saja kemana-mana menjadi terbiasa menggunakan jungle boot, sementara buff mungkin saja selalu menghiasi kepala atau bagian leher anda meskipun saat anda sedang mengetik di balik layar computer dalam ruang ber-AC. Memakai celana lapangan dengan banyak saku lebih nyaman rasanya dibandingkan menggunakan celana katun formal, serta merasa baju quick dry lebih modis dibandingkan kemeja berdasi. Beberapa dari anda yang pria mungkin juga berubah cara pandangnya terhadap wanita dengan memposting di wall media sosialnya sebuah meme bertuliskan “Wanita dengan ransel dipundaknya,  jauh lebih menarik daripada wanita dengan tas Hermes dijinjingannya”, halaaahhhh…

Apapun perubahan yang menarik anda ke dalam suatu suasana karena pengaruh hobby, atau pengaruh tempat, yang jelas anda – sahabat pendaki – harus tetap dapat memilih perubahan yang mengarah kepada hal positif, berubah menuju sikap yang lebih baik lagi. Tentunya tanpa meninggalkan nilai-nilai kehormatan yang telah anda dapatkan sebelumnya di daerah asal anda.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
“Ikan tidak menjadi asin walaupun ia hidup di laut yang asin” (Bams Nektar)

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment