Sunday, July 1, 2018

IKAN GABUS DI KAKI GUNUNG


By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #54

Saya tidak tahu mengapa orang tuanya memberi nama kepadanya dengan nama yang unik, yaitu “Cilik”. Bisa jadi karena postur tubuhnya yang kecil. Tapi mungkin bukan karena hal tersebut. Postur tubuh yang kecil baru terlihat setelah dia dewasa, bukan? Adalah mustahil orang tua memberi nama kepada anaknya setelah melihat anaknya dewasa. Namun, nama Cilik itulah yang kami tahu saat dia memperkenalkan diri di malam sebelum pendakian ke Bukit Raya, sesaat sebelum upacara adat pelepasan pendaki dilaksanakan di dalam homestay tempat tim kami menginap.



Cilik adalah salah satu dari tiga orang porter yang akan mengiringi tim kami ke Bukit Raya, menuju Puncak Kakam. Setidaknya enam hari ke depan, Cilik akan menjadi teman seperjalanan kami di sepanjang rerimbunnya pepohonan hutan Kalimantan di trek pendakian Bukit Raya.

Di hari pertama perjalanan saja sudah terjalin keakraban yang mendalam diantara tim pendaki dan para porter, khususnya si Cilik. Umurnya sekitar duapuluhan, namun sudah memiliki seorang anak yang belum berumur satu tahun. Pribadi yang bersahaja dengan sikap yang mudah diajak bercanda dan suka bergurau tentu saja menambah cepatnya interaksi diantara kami. Bukankah di setiap tim pendaki di dalam perjalanannya membutuhkan seseorang yang bisa dan dapat dijadikan bahan bully-an? Dan tim pemdakian kamipun butuh seseorang yang dapat dijadikan bahan bully? Si Cilik… He he he

Malam pertama pendakian kami habiskan di Pos 1 Bukit Raya untuk beristirahat mengumpulkan energy guna pendakian esok harinya. Pos 1 ini berupa sedikit tanah terbuka berukuran sekitar 4 x 8 meter. Sebuah aliran sungai kecil berair jernih terletak sekitar 4 meter di sebelahnya, tempat pendaki atau para pemburu mengambil kebutuhan air. Pepohonan rindang melingkupi lokasi ini dan memberikan kesejukan dari sengatan Matahari. Beberapa tiang pancang membentuk huruf “X” ada di tengah-tengah camp ini. Belakangan saya tahu bahwa tiang-tiang pancang berbentuk huruf “X” tersebut adalah pondasi tempat tidur ayun bagi para porter atau para pemburu yang bermalam di sana.

Saat malam menjelang, Cilik dan Handoko – salah satu pendaki – pergi memancing ikan ke  arah hilir sungai kecil di camp ini. Sekitar dua atau tiga jam kemudian mereka berdua kembali ke camp dengan membawa setidaknya delapan ekor ikan gabus berukuran sedang. Jadilah malam itu tim kami mendapatkan tambahan menu ikan gabus rebus mie, karena memang direbus dan langsung dicampurkan ke dalam mie rebus.

Sambil merebus ikan gabus, saya sempat menggali informasi ke Cilik. Mengapa dia tahu dimana tempat memancing ikan gabus di dalam hutan belantara Kalimantan ini? Padahal lokasi Pos 1 pendakian Bukit raya ini letaknya sekitar 4 jam hiking dari Pos Korong HP dan ditambah 1 jam dengan menaiki ojek dari kampung  Rantau Malam menuju Korong HP. Jika jalan kaki jaraknya mungkin ditempuh sekitar 6-8 jam dari Rantau Malam.

Cilik bercerita, bahwa ia sehari-harinya berprofesi serabutan. Kadang berburu rusa atau babi, atau juga ular agar dagingnya dapat dijual guna memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Kadang juga mengambil borongan membersihkan atau menyadap pohon karet milik tuan tanah. Hari lainnya juga digunakan untuk memancing ikan di sepanjang sungai yang melewati Dusun Rantau Malam tempat ia bertempat tinggal. Semua itu jika ada hasilnya akan ia jual dan digunakan untuk menghidupi istri dan anaknya. Termasuk penghasilan saat ia menjadi porter bagi para pendaki yang menuju ke Bukit Raya. Apa saja pekerjaan yang ada akan dia jalani agar dapur tetap ngebul.

Dalam kontek ini, Cilik bercerita bahwa ia kadangkala sendirian saja menginap sampai ke Pos 1 Bukit Raya ini mencari ikan untuk mendapatkan penghasilan atau sekedar lauk untuk makan di rumah. Saya sempat bertanya, apakah Cilik tidak takut sendirian mencari ikan dan tidur di dalam hutan di Pos 1 Bukit Raya ini? Awalnya tentu saja Cilik takut berada sendirian di dalam hutan belantara, namun harus bagaimana lagi? Anak lapar di rumah, makan maunya dengan lauk ikan. Sudah mencoba memancing di tepian sungai di Dusun Rantau Malam namun tidak mendapatkan hasil, jadi diri dipaksakan masuk ke  dalam lebatnya hutan belantara, mengenyampingkan semua rasa takut yang ada dan juga tidak menghiraukan bahaya yang mungkin mengancam untuk mencari ikan agar anak mau makan.

Sampai di sini saya terdiam sambil menatap ikan gabus yang mulai empuk di dalam air mendidih yang terjerang di atas nesting. Sedemikian hebatnya pengorbanan seorang ayah untuk kebutuhan anaknya dan keluarganya. Semua ditempuh untuk si buah hati di rumah. Tempat yang jauh di dalam hutan, kesunyian yang mengiringi perjalanan, bahaya yang mengancam, semua itu harus dikesampingkan hanya untuk sekedar anak dapat mendapatkan gurihnya daging ikan sebagai teman makan.

Ingatan saya malah melambung ke masa sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Saat itu saya masih bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan. Gaji yang saya dapatkan saat itu walaupun sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku, namun masih terasa kurang untuk menutupi kebutuhan rumah tangga yang semakin hari diringi dengan kenaikan harga dimana-mana. Pemasukan dari bidang lainpun saya tidak punya. Otomatis kehidupan kami betul-betul hanya bergantung dari gaji bulanan yang saya terima setiap bulannya.

Saya ingat betul masa-masa itu, untuk menghemat belanja dapur agar cukup untuk di rumah, saya harus benar-benar menghemat pengeluaran saya saat saya sedang bekerja. Untuk makan siang lupakan nasi. Nasi terlalu mewah dan “mahal” untuk saya. Harganya saat itu Rp. 10.000 perbungkus yang termurah dengan lauk sepotong ikan. Cukup dengan dua ribu rupiah saja saya sudah dapat mengganti makan siang dengan tiga potong ubi atau ketela goreng yang biasa saya beli di depan sebuah masjid di Batam Center setelah menunaikan fardu zuhur. Atau jika masih terasa belum kenyang, dapat ditambah lagi dengan dua ribu berikutnya. Dari pada membeli nasi seharga Rp. 10.000,- , saya memilih membeli gorengan. Saya bisa hemat Rp. 6.000,- sampai Rp. 8.000,- setiap harinya. Jika dikalikan sebulan, saya dapat menghemat Rp. 180.000,- hingga Rp. 240.000,- sebagai tambahan biaya dapur di rumah.

Setiap hari dengan menu “makan siang” yang demikian – 3 potong gorengan – kadang membuat saya bosan. Hendak menelan gorengan berikutnya sudah tidak tertelan lagi karena rasa eneg. Kadang juga tidak mengenyangkan. Pernah beberapa kali setelah habis enam potong gorengan, perut saya masih terasa lapar, bahkan tangan saya masih terasa bergetar karena rasa lapar. Namun semua itu harus dipaksa dan dijalani sebagai kepala keluarga. Anak dan istri di rumah tidak perlu tahu tentang hal ini. Sampai pada suatu titik, saat saya sedang memaksa masuknya ubi goreng ke kerongkongan saya, terbetik di dalam hati bahwa, jika nantinya saya ditakdirkan mempunyai rezeki lebih dan berkecukupan, saya tidak akan pernah dan tidak akan mau lagi makan ubi goreng. Sudah eneg. Sudah muak…

Sampai 8-9 tahun kemudian, secara tidak sengaja saya bersama keluarga singgah di masjid untuk menunaikan fardu ashar, dan setelah itu istri saya membeli jajanan di pinggir jalan buat cemilan di mobil. Coba tebak apa yang dia beli? Ya…, ubi goreng…

Ubi goreng yang sama yang saya jadikan “makan siang” di masa lalu. Ubi goreng dari kedai yang sama di masa lalu. Ubi goreng yang sama yang saya sudah pernah bersumpah untuk tidak memakannya lagi di masa lalu, jika saya sudah berkecukupan.

Cukup lama saya terdiam dengan ubi goreng masih ada di telapak tangan saya, dan tiba-tiba saja air mata saya menetes. Istri saya menatap saya keheranan. Mungkin ini air mata saya yang pertama kali dilihatnya sejak kami menikah 18 tahun yang lalu. Istri saya bertanya dalam keheranannya, mengapa saya mengeluarkan air mata? Apakah ada sesuatu yang salah? Apakah ada suatu bagian tubuh saya yang merasa sakit? Saya hanya dapat menggelengkan kepala untuk memberitahukan kepadanya bahwa tidak ada yang salah, tidak ada yang sakit. Tapi saya masih belum kuasa untuk menjelaskan cerita tentang ubi goreng yang ada di tangan saya.

Istri menunggu sampai saya dapat menguasai diri saya. Beberapa saat kemudian dengan terbata-bata saya mencoba menjelaskan kepadanya tentang masa lalu si ubi goreng yang ada di tangan saya, yang intinya adalah tentang sebagian kecil pengorbanan suaminya di masa lalu agar kebutuhan dapur dapat tetap bisa tercukupi. Belum habis saya bercerita dengan terbata-bata, istripun sudah berurai air mata mendengarkannya. Jadilah kami bertangis-tangisan ba’da  ashar tersebut di tepian jalan. Tepat di depan gerobak penjual gorengan.

Di lain waktu terkadang saya menyembunyikan beberapa hal kecil lainnya dari keluarga. Misalnya masalah remeh-temeh seperti jari-jari tangan yang terluka saat memperbaiki mesin-mesin di kantor, atau kulit tangan yang menggelembung berisi air karena tersengat panasnya uap mesin kerja, atau juga kulit kaki atau siku yang terkelupas dan membiru karena sedikit kecelakaan kerja. Namun terkadang luka-luka atau lebam tersebut selalu terlihat oleh istri di rumah. Sepintar apapun saya menyembunyikannya, ada saja tindakan yang membuat saya lupa dan tiba-tiba luka-luka tersebut dapat diketahui oleh istri. Entah saat saya secara tidak sengaja meringis karena luka tersebut terkena air, atau luka lebam itu terlihat saat saya akan memakai baju setelah membersihkan diri sehabis mandi.

Lain waktu saat saya terdiam dan tiba-tiba mengusap bagian tubuh yang terasa sakit, istri selalu tahu dan merespon begitu cepat melihat perubahan itu. Dia akan langsung bertanya, kena apa tangannya? Kenapa lebam siku lengannya? Jika sudah seperti itu, jawaban saya pasti seragam dari dulu tidak berubah, “Tidak apa-apa, sayank. Nanti juga sembuh sendiri” tanpa memberitahukan apa penyebab dari itu semua, atau apa yang sudah saya lalui sehingga mendapatkan luka-luka tersebut. Tidak lain tentu saja karena saya tidak mau istri khawatir dan bersedih hati.

Setelah itu istri biasanya akan memaksa untuk melihat bekas luka atau lebam tersebut walaupun saya berusaha mati-matian untuk menepisnya sambil menyembunyikan rasa nyeri atau rasa pedih dari luka itu, dan berusaha untuk menutupinya dengan telapak tangan saya. Dia akan tetap memaksa meraih bagian yang terluka, mengusap-usap sekeliling luka atau mengecup lembut lebam yang ada dengan mata yang berkaca-kaca. Saya menangkap isyarat terima kasih karena telah menafkahinya dengan cara yang tidak biasa. Setelah itu saya akan “dimanja” dengan merahnya obat luka atau bau menyengat parem yang digiling untuk mengkompres lebam yang ada. “Lain kali hati-hati dalam bekerja!” lirih sedihnya.

Mungkin itu sedikit pengorbanan saya untuk keluarga saya. Cilik sang porter juga melakukan pengorbanan yang sedemikian rupa buat keluarga kecilnya. Anda sendiripun sahabat pendaki yang sudah berkeluarga juga pernah malakukan pengorbanan di luar rumah agar anak anda, istri anda, agar keluarga anda dapat makan, dapat mengecap sedikit jalan-jalan untuk menghibur keluarga anda.

Ayah saya mungkin juga telah melakukan pengorbanan yang saya tidak pernah tahu agar saya bisa mengecap bangku pendidikan yang lumayan tinggi, dan mungkin juga beliau beranggapan bahwa, keluarga di rumah tidak perlu tahu bahwa beliau sudah melakukan ini atau melakukan itu di luar.

Ayah anda juga sahabat pendaki yang membaca tulisan ini, mungkin akan berbuat hal yang sama, bahkan pengorbanannya di luar adakalanya lebih berat lagi dahulunya saat menafkahi anda, ibu anda, keluarga anda. Mungkin beliau tidak makan di luar sana saat bekerja, kadang ada bagian tubuh dari ayah yang terluka saat bekerja yang dia sembunyikan agar anak dan istri tidak khawatir di rumah. Bagaimana kulitnya sakit dan menghitam kepanasan dijilat sinar mentari. Bagaimana tubuhnya menggigil dalam basah kuyup setelah kehujanan. Bagaimana rasa haus yang mendera kerongkongannya saat bekerja yang dia tidak beritahukan di rumah. Belum lagi omelan bos di kantor dan makian pelanggan yang tidak puas di lapangan. Tidak semuanya harus diceritakan di rumah. Yah, tidak semuanya harus diceritakan di rumah!

Dari semua pengorbanan itu, tetap saja seorang ayah tidak mendapatkan hari khusus untuknya secara nasional bukan? Sebagaimana kita biasanya kita memperingati adanya hari ibu di tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Yah, tidak semuanya harus dirayakan di rumah!

Setelah membaca tulisan ini, bagi anda sahabat pendaki yang ayahnya masih ada dan tinggal berdekatan, jumpai beliau. Ungkapkan betapa anda menghargai segala pengobanan dan jerih payah beliau selama ini untuk anda. Berterima kasihlah kepadanya, peluk dia. Coba ingat kapan terakhir kali anda memeluknya?

Jika anda ada di perantauan dan ayah anda jauh di kampung sana, segera telpon dia. Ungkapkan rasa rindu anda, tanyakan kabarnya, berterima kasihlah kepadanya. Dan jika ayah anda sudah terlebih dahulu berpindah alam, kunjungi pusaranya, atau jika jauh, doakan dia. Ini Ramadhan… Semua ruh berharap doa dari anak-anaknya.

Ya, ini Ramadhan, dimana untaian doa-doa sepatutnya  bertabur buat orang tua kita.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Ayah… Dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan hanya tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
(Titip Rindu Buat Ayah - Ebiet G. Ade)

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment