Yang sudah menjadi orang tua harus baca
Yang akan menjadi orang tua juga harus baca
By : Bams Nektar
Dari balik temaramnya tenda
Inspirasi bagi Pendaki #10
Anakku,
hari ini 12 Tahun sudah bilangan umurmu. Lelap tidurmu di dalam tenda malam
ini. Aku hanya dapat menerka apa yang sedang Kamu mimpikan. Memimpikan
perjalanan kita seharian inikah dirimu?
Tugu Abel, Gn. Marapi, Sumatera Barat.
Menatap
wajah polosmu dalam remang cahaya bulan yang menyelinap di tenda kita, saat ini
membuat Aku berpikir, apakah Aku sudah terlalu memaksakan kehendak kepadamu?
Aku terlalu berharap banyak kepadamu anakku. Mengharapkanmu untuk mengikuti apa
yang Aku sukai. Menjadi seorang Pendaki.
Aku
mengukurmu dengan busur panah masa kecilku. Padahal Engkau masih terlalu kecil
dibandingkan saat Aku memakai busur itu saat Aku masih seumurmu. Aku terlalu
memaksamu anakku.
Saat
Engkau masih berumur 5 Tahun, Aku sudah membawamu untuk mendaki gunung. Dalam
perjalanan tentu saja Engkau tertawa, gembira, bertemu orang baru, menjumpai
suasana baru. Tapi, bukankah saat itu Engkau belum dapat memilih ? Aku yang
memilihkannya untukmu.
Di
perjalanan kita tidak sedikit yang menasehatiku, “Ini terlalu beresiko membawa
anak kecil ke gunung…!!!”. Namun Aku selalu berlindung di balik kalimat, “Aku
sedang mengenalkan anakku kepada alam dalam usia dini”. Orang tua seperti apa
Aku ? Yang telah menempatkan anakku ke dalam resiko yang seharusnya di hadapi oleh Pendaki berpengalaman. Aku
hanya memikirkan fotomu yang nantinya dapat Aku pajang pada grup Pendaki di FB
serta media social lainnya, dan nantinya akan banyak mendapatkan pujian dari
Pendaki lain karena seorang anak kecil sudah mampu naik ke puncak gunung. Semua
resiko itu hanya panduan dari ego-ku, Nak…
Masih
terbayang di pelupuk mataku dini hari tadi saat kita masih berkemah di pos
terakhir gunung ini sebelum menuju puncak, saat lemahnya fisikmu membuat Kamu
muntah. Elevasinya membuat tekanan yang cukup besar terhadap tubuhmu anakku. Hanya
karena Engkau lelaki, Aku menyembunyikan rasa khawatirku, Nak. Hanya ucapan semangat
yang lain lagi yang dapat Aku berikan
sambil memijiti punggung kecilmu.
Dan
saat Matahari mulai mengintip perlahan di sela Cantigi depan tenda kita, Aku
masih memaksamu untuk bersiap melanjutkan Summit Attack. Padahal Engkau sudah
menolaknya, tapi tetap saja Aku memaksa dengan ucapan semangat yang kesekian
kalinya. Aku betul- betul hanya mementingkan ego-ku nak…
Dengan
perlahan Engkau memakai sepatumu, mencoba menghiraukan dinginnya hawa gunung di
elevasi 2.500 mdpl. Itupun masih dengan hardikanku, “Cepat sedikit,,, nanti
kita terlambat mencapai puncak…!!!”.
Padahal
puncak gunung ini tidak berarti apa- apa bagimu, Nak. Aku dapat mengetahuinya
dari sinar matamu. Puncak ini hanya berarti bagi ego-ku…
Pendakian
di Cadas pagi tadipun adalah Neraka bagimu. Engkau hanya mampu menempuh sepuluh
langkah, lalu terduduk untuk beristirahat. Berjalan sepuluh langkah lagi, untuk
beristirahat kembali. Aku bahkan menarik tanganmu, memaksamu untuk melangkah
lagi.
Aku
sepertinya hanya bertindak seperti pengawal bagimu. Pengawal yang sangar yang
menginginkanmu untuk mencapai puncak dengan memberikan semangat yang keseribu
kalinya untukmu. Padahal puncak gunung ini tidak berarti apa- apa bagimu nak.
Aku dapat mengetahuinya dari muramnya wajahmu. Puncak ini hanya berarti bagi
ego-ku…
Sampai
saat Engkau berada di batas kemampuanmu tadi pagi, Nak… Di tengah perjalanan
kita di Cadas, Engkau kembali muntah untuk yang kedua kalinya…
Malam
ini Aku menyadarinya, Nak. Betapa jahatnya Aku sebagai seorang Ayah hari ini.
Setelah Engkau muntah untuk yang kedua kalinya, Aku juga masih memaksamu dengan
sejuta ucapan semangat yang Aku tahu tidak Engkau hiraukan.
Engkau
merengek minta berhenti untuk tidak melanjutkan pendakian ini lagi. Tapi Aku
tetap memaksamu. Aku menggendongmu di punggungku, di Cadas itu, Nak. Yaaa,,, di
Cadas dengan kemiringan 60 derajat… Hanya dengan satu harapan, bahwa seumur
hidupmu nanti Engkau akan mengingatnya. Mengingat punggung rapuh Ayahmu yang
telah mengantarkanmu ke kawah di puncak gunung ini. Walaupun Aku dapat
merasakan detak jantungmu di punggungku yang mengatakan, “Aku tidak peduli
dengan kawah gunung ini !”. Kawah gunung ini hanya berarti ego-ku…
Masih
terngiang bisikan halus suaramu saat Engkau ku gendong di punggungku tadi pagi,
Nak.
“Ayah,
katanya Ayah mau mendaki ke Everest, yah…? Di sana khan dingin yah”, bisikmu.
“Iya.
Jika nanti ada rezeki. Di sana memang dingin, ada saljunya. Itu gunung
tertinggi di dunia. Semua pendaki pasti memimpikan untuk berada di puncak
Everest. Tapi jalurnya susah. Tak jarang banyak yang mati di sana karena dingin
atau terkena longsoran salju”, jawabku.
“Jika
banyak yang mati di sana, Ayah jangan mendaki kesana. Nanti Ayah mati juga. Aku
tidak mau Ayah mati”, ucapmu sekenanya.
Percakapan
kecil kita yang menyiratkan kesucian hatimu dan rasa cintamu padaku, Nak.
Walaupun Aku sudah memaksamu melewati batas kemampuanmu. Everest tidak berarti
apapun bagimu, Nak. Itu hanya berarti ego-ku…
Bahkan
saat kita telah berada di puncak gunungpun Engkau tidak bahagia, Nak… Engkau
terus merengek untuk cepat- cepat turun. Aku baru menyadarinya setelah kita
berada di tenda di kaki gunung ini. Melihat foto- foto yang telah kita ambil
selama dua hari ini, senyummu seolah- olah dipaksakan kujumpai di foto- foto
itu.
Engkaupun
tidak bersemangat untuk melihat foto itu. Itu hanya foto yang akan Aku upload
di wall FB ku untuk menunjukan bahwa Aku punya anak yang hebat. Seorang Pendaki
yang mempunyai anak seorang Pendaki juga. Seperti yang dilakukan oleh teman-
temanku yang telah mempunyai anak. Foto- foto itu tidak berarti apa- apa bagimu.
Foto itu hanya berarti ego-ku…
Anakku,,,
malam ini sambil membetulkan sleeping
bag yang menyelimuti tubuh kecilmu, Aku berjanji di dalam hatiku. Aku tidak
akan memaksamu lagi untuk menjadi
seorang pendaki, Nak. Toh semua keindahan gunung ini nantinya dapat Engkau nikmati
juga melalui cerita, foto- foto dan lukisan. Engkau tidak harus mengikuti
ego-ku…
Kecup
bibirku di kening dinginmu sebagai cap untuk janjiku.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
Salam
satu jiwa.
* * * *
*
Jiwa
kecil memang harus dididik sejak kecil untuk menjadi jiwa yang besar.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN
HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment