Pendaki yang rendah
hati, sangat sayang untuk melewatkan tulisan ini …
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
Aku adalah seorang pendaki pendahulu.
Setidaknya itu adalah menurut anggapanku. Bahkan dalam komunitasku, di mana
banyak pendaki bergabung di dalamnya, aku dianggap sebagai “yang dituakan”
dalam urusan naik gunung, apalagi dalam urusan membuka jalur baru dan navigasi.
Dari A sampai Z semuanya sudah kulalui dalam hobby yang satu ini.
Jangan ditanya kemampuanku dalam hal
mountaineering, survival atau navigasi darat. Aku sudah menjadi instruktur
dalam hal tersebut. Khususnya di daerahku, tanah Serambi Mekah. Tanah paling
Barat di Pulau Andalas ini yang berjejeran Bukit barisan di tengahnya.
Sekali waktu, aku berkesempatan untuk
melakukan satu pendakian di luar daerahku. Masih di tanah Sumatera juga. Gunung
Dempo adalah pilihanku. Kebun teh yang terhampar luas, cuaca berkabut dan suhu
yang dingin di Kota Pagar Alam adalah suatu hiburan tersendiri bagiku, karena
memang tidak dapat aku jumpai di daerahku.
Satu hal kebiasaanku yang tidak dapat
dihilangkan adalah bahwa di setiap pendakian aku selalu membawa buku. Buku apa
saja, terutama novel terjemahan barat yang telah disadur ke dalam Bahasa Indonesia.
Selain karena aku suka membaca, buku juga dapat menolong rasa suntuk saat
menunggu keberangkatan di stasiun bus atau bandara. Membaca buku tersebut
tentunya sangat asik sekali jika ditemani dengan cemilan ringan, lebih lengkap
lagi jika ditemani oleh segelas kopi. Hal itu juga yang aku lakukan saat
melakukan pendakian, saat jeda waktu untuk beristirahat di jalur pendakian, aku
keluarkan novel dan cemilan yang kubawa dari kantong samping carrier, bersandar
pada sebatang pohon dan,,, membaca sambil ngemil. Indahnya dunia…
Pada kesempatan pendakian ke Gunung
Dempo ini, aku setelah packing selesai dilakukan terhadap barang bawaan team
kami, aku menyempatkan diri membeli sedikit makanan ringan sebagai cemilan
nanti saat beristirahat di jalur pendakian Gunung Dempo. Setelah berkeliling
Kota Pagar Alam, akhirnya tatapan mataku tertuju pada penjual kue putu.
Hmmmm,,, pasti lezat sekali beristirahat di jalur pendakian sambil baca novel
dan ngemil kue putu tersebut.
Kue putu atau ada juga yang mengenalnya
dengan Kue Putu Aren Bambu adalah jenis makanan
Indonesia berupa kue yang berisi gula jawa dan
parutan kelapa, tepung
beras butiran kasar. Kue ini
di kukus dengan diletakkan di dalam tabung bambu yang sedikit dipadatkan. Suara khas
uap yang keluar dari alat suitan ini sekaligus menjadi alat promosi bagi
pedagang yang berjualan.
Kebanyakan warna dari kue putu ini
adalah putih dan hijau. Sejumlah pedagang masa kini mengganti bambu dengan pipa PVC dengan alasan kepraktisan, meskipun
dari segi kesehatan penggunaan PVC membahayakan. Anganku mulai berkelana
membayangkan kelezatan kue putu ini. Aku memesannya kepada si penjual sebanyak
dua bungkus penuh, kurang lebih dua puluh buah kue putu yang menggiurkan.
Mulai memasuki jalur pendakian Gunung
Dempo, team kami bertemu dengan team lainnya yang berjumlah tiga orang dari
Kota Palembang. Dalam perjalanan kadang kami beriringan, kadang kami mendahului
team dari Palembang tersebut, atau saat kami beristirahat, kami yang didahului
oleh team tersebut.
Pada suatu kesempatan, aku beriringan
jalan dengan salah satu pendaki dari team Palembang tersebut. Pendaki yang
lebih muda, baru tamat SMU dan baru pertama kali mendaki gunung. Sebut saja
nama panggilannya Keenan. Sambil mendaki, kami ngobrol tentang berbagai hal,
reboisasi, deforestasi, dan hal- hal sedikit rumit lainnya. Sampai pada satu
bahasan, yakni tentang navigasi. Di sini aku sedikit berdebat dengannya, Keenan
yang menurutku tidak tahu apa- apa tentang navigasi, namun saat aku terangkan
soal navigasi selalu ngeyel jika diberi pengertian. Tahu apa pendaki baru yang
mencoba mendebat aku sebagai pendaki pendahulu ?. Jelas saja aku yang sangat
paham akan navigasi jadi sedikit kesal akan hal ini. Alhasil, aku lebih memilih
diam dan menyembunyikan kedongkolan didalam hatiku.
Sampai pada saat kami jumpai tempat
untuk beristirahat, aku dan Keenan meletakan carrier di tanah dan masih saling
diam. Aku lebih memilih membuka buku novel dan larut membacanya sambil ngemil
kue putu yang kubeli di Kota Pagar Alam.
Sedang asik- asiknya membaca sambil
ngemil kue putu, Keenan tiba- tiba menjulurkan tangannya mengambil sepotong kue
putu tersebut. Aku pura- pura tidak tahu dan melihatnya dari sudut mataku.
Aku mengambil sepotong kue putu lagi,
dan Keenan pun mengambil sepotong kue putu lagi. Dalam hatiku bergumam, “Tidak
tahu sopan santun, tidak minta izin dulu main langsung ambil saja, pendaki
norak….”
Begitu terus selanjutnya, setiap aku
mengambil sepotong kue putu, Keenan pun mengambil sepotong kue putu lainnya.
Sampai saat aku lihat di bungkusan kue putu tersebut hanya tersisa sepotong kue
saja. Aku menunggu sambil pura- pura tidak tahu akan hal tersebut. Aku akan
melihat apa yang akan dilakukan oleh Keenan terhadap kue tersebut?
Tiba- tiba Keenan mengambil sepotong
kue putu yang tinggal satu- satunya tersebut. Aku melihat ke arahnya dan
memelototkan mataku serta memasang wajah tidak suka atas kelancangannya
tersebut. Betul- betul pendaki yang tidak punya sopan santun.
Keenan memotong kue putu tersebut
menjadi dua bagian dan dengan tersenyum dia memberikan setengah bagiannya
kepadaku. “Keparat !!!,,, pendaki yang satu ini betul- betul sangat kelewatan.
Berani- beraninya dia membagi kue tersebut dan memberikannya sebagian untukku,
tanpa rasa bersalah dan pakai tersenyum pula….” . Kutuk ku di dalam hati.
Aku merebut dengan kasar kue di tangan
Keenan yang diulurkannya padaku. Memasukan semuanya dalam sekali kunyahan di
mulutku dan kembali membaca novel di tanganku tanpa memperdulikan pendaki yang
tidak tahu sopan santun itu.
Keenan pamit untuk melanjutkan
pendakian mendahului aku. Aku hanya diam tanpa menghiraukannya. Aku kembali
hanyut dalam kisah di novel yang aku baca.
Setengah jam telah berlalu. Ah,
biarlah….. Biar si Keenan, pendaki yang tak tahu sopan santun itu berlalu lebih
jauh lagi, sehingga aku tidak perlu beriringan jalan lagi dengannya.
Aku mulai merapikan pakaian, memunguti
sampah bekas kue putu tersebut, dan menyimpan novel yang di tanganku ke dalam
saku samping carrierku. Tapi apa ini ???
Kenapa novelnya sangat sulit dimasukan ke dalam saku samping carrier ? Kenapa
saku samping carrierku masih sempit ? Aku menarik keluar bungkusan yang
menyempit di dalam saku samping carrier tersebut, dan….
“Kenapa kue putu kepunyaanku masih
utuh ???”. Sejenak aku terkesima. Berarti kue putu yang aku makan tadi adalah kue putu miliknya
si Keenan…. Dan aku memakannya sambil mengutuki si pemilik kue ??? Dan aku
sudah merebut setengah potong kue putu dengan mata melotot dari tangan si
pemberi kue putu ??? Dan aku sudah memperlihatkan wajah ketus saat si pemilik
kue putu memberikan setengah potong kue terakhirnya sambil tersenyum kepadaku
???
Keenan, sahabat pendakiku. Ternyata
ilmu navigasiku jauh tertinggal dari ilmu navigasimu. Aku si pendaki pendahulu,
si ahli pembuka jalur, si ahli navigasi darat, dengan kompas sebagai alatku
sudah terlalu sombong berkoar- koar tentang pengalamanku membuka jalur, masuk
hutan keluar hutan. Sedangkan engkau, si pendaki pemula, dengan kue putu
sebagai alat navigasimu sudah memandu hatiku agar berjalan menuju ke lembah
terendah di dalam dasar jiwaku.
Aku sudah salah belajar selama ini.
Seharusnya sebelum belajar navigasi darat, aku harus mendalami navigasi hati
terlebih dahulu.
Salam satu jiwa.
* * * *
*
Banyak “kompas” yang dapat memandu
jalan bagi kerendahan hati seorang pendaki. Kita hanya harus menemukan satu
“kompas” yang cocok untuk itu.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
Makanya, pakai hati mas, Hatii!!! wkkkkkk..
ReplyDelete