Pendaki yang punya
visi pasti baca tulisan ini …
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #32
Menembak dengan senapan angin adalah
salah satu hobby saya di masa lalu, atau tepatnya di sepanjang masa masih duduk
di bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan
di masa SMP saya pernah mendapatkan juara satu untuk menembak di kejuaraan
antar kecamatan sekabupaten.
Awalnya untuk menembak tersebut saya
sering curi- curi kesempatan untuk menggunakan senapan angin milik Papa. Saat
Papa bekerja, itu adalah kesempatan saya untuk menggunakan senapannya, dan
harus segera saya kembalikan ke tempatnya semula sebelum Papa pulang dari
bekerja untuk menghindari murkanya jika mengetahui anaknya bermain- main dengan
senapan angin.
Saat memasuki masa SMA, saya sudah
mendapatkan izin untuk menggunakan senapan angin tersebut. Mungkin Papa
beranggapan bahwa saya sudah cukup dewasa dan sudah dapat bertanggung jawab
dalam menggunakan senjata tersebut. Karena sudah mendapat izin, malah saya jadi
lupa waktu dalam menggunakannya. Dari siang setelah pulang dari sekolah hingga
malam haripun saya masih bermain- main dengan senjata tersebut. Berburu kalong
(kelelawar) saat Matahari mulai tenggelam ternyata mempunyai daya tarik sendiri
bagi saya.
Mungkin sahabat pendaki akan bertanya,
“bukankah perburuan itu akan kontrapoduktif dengan pelestarian alam ?”. Awalnya
saya juga berpendapat demikian. Namun setelah menelaah dari beberapa sumber,
ternyata perburuan untuk mengeliminasi binatang yang merugikan, apalagi
binatang tersebut bukan yang dilindungi adalah diperbolehkan, bahkan perburuan
adalah salah satu bantuan bagi petani. Binatang yang merugikan tersebut
digolongkan sebagai hama. Jadi hal ini tergantung dari sisi mana kita
melihatnya. Bagi pecinta alam mungkin saja mereka menggolongkannya ke dalam
salah satu jenis perusakan terhadap ekosistim. Namun bagi petani hal ini mereka
pandang sebagai suatu bantuan yang menguntungkan.
Semua orang pasti mempunyai cara
pandang tertentu terhadap sesuatu. Tidak semua orang berpendapat sama,
tergantung dari perspektif mana mereka melihatnya. Teroris bagi suatu kaum bisa
jadi adalah pahlawan bagi kaum lainnya. Contohnya Usman Harun yang melakukan
pengeboman di Singapura pada masa konfrontasi.
Adalah
Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali, dua anggota KKo (Korps Komando Operasi - kini
dikenal dengan Korps Marinir) yang diberangkatkan ke Singapura dengan
menggunakan perahu karet. Tugasnya adalah menyabotase kepentingan-kepentingan
Malaysia dan Singapura.
Kemudian
beberapa pengeboman pun terjadi di negara itu, namun pada peristiwa pengeboman
MacDonald House (10 Maret 1965) di gedung Hongkong and Shanghai
Bank yang terletak di Orchard Road, Singapura, yang membuat tiga orang
meninggal dunia dan sedikitnya 33 orang cederai, mereka tertangkap.
Pemerintah
Singapura mengatakan bahwa Indonesia mengirimkan orang-orang yang
bertujuan menyabotase keadaan di Singapura dan Malaysia.
Pengadilan
Singapura kemudian memutuskan keduanya dihukum gantung pada tahun
1968. Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masyarakat Indonesia
di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah
menunggu pesawat TNI—AU. yang akan membawa ke Tanah Air.
Begitu juga konflik yang terjadi saat
ini di Palestina. Bagi Israel dan Amerika, Bangsa Palestina mungkin disebut
sebagai teroris, pengacau atau pemberontak. Namun bagi Bangsa Palestina sendiri,
mereka disebut pejuang. Hal ini terjadi di seluruh konflik di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Sebutan yang cocok hanya disematkan kepada pemahaman kita
terhadap cara pandang kita akan hal tersebut.
Melihat dari persfektif yang berbeda
ini juga sangat penting bagi seorang pendaki. Di status atau postingan sahabat
pendaki di hampir semua grup pendaki di FB, ada saja sahabat pendaki yang
bersikap skeptic dan sinis terhadap hobby ini. Apalagi orang yang berada di
luar hobby ini, mereka akan lebih antipati terhadap hobby ini, karena mereka
melihatnya dari sisi yang berbeda. Mereka hanya melihatnya dari persfektif yang
berseberangan saja dari persfektif kita sebagai pendaki.
Misalkan sahabat pendaki melihat bahwa
hobby mendaki ini menyehatkan badan, orang lain akan melihatnya sebagai
membuang- buang waktu saja. Sahabat pendaki melihat hobby ini sebagai hobby
yang menambah teman dan saudara, orang lain akan melihatnya sebagai kegiatan
buang- buang uang saja.
Tidak perlu marah akan hal tersebut.
Toh, perbedaan pandangan itu lumrah terjadi di segala bidang, bukan hanya di
bidang pendakian gunung saja. Sahabat pendaki yang skeptic dan sinis atau orang
lain yang belum mengerti mungkin hanya perlu “sedikit” di re-framing (membingkai
ulang sudut pandang) saja agar persfektif mereka dapat disamakan dengan
persfektif kita.
Bagaimana cara me-reframing sahabat
pendaki yang skeptic dan sinis serta orang- orang yang tidak paham hakekat
hobby ini? Saya kutip sedikit informasi dari internet tentang psikologi
reframing ini.
Ada seorang ibu rumah tangga yang
memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan &
kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih,
bersih & teratur dan suami serta anak- anaknya sangat menghargai
pengabdiannya itu.
Cuma ada satu masalah, ibu yang
pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak
dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet,
dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak
laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi
menemui seorang psikolog bernama Virginia
Satir, dan menceritakan masalahnya.
Setelah mendengarkan cerita sang ibu
dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:
"Ibu harap tutup mata ibu dan
bayangkan apa yang akan saya katakan"
Ibu itu kemudian menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapih
dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak
sepatu, bagaimana perasaan ibu?"
Sambil tetap menutup mata, senyum ibu
itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan
bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; "Itu
artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak,
tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.”
“Rumah ibu sepi dan kosong tanpa
orang-orang yang ibu kasihi".
Seketika muka ibu itu berubah keruh,
senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya
terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada
suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet
itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan
anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan
kehadiran mereka menghangatkan hati ibu".
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia
merasa nyaman dengan visualisasi tsb.
"Sekarang bukalah mata ibu"
Ibu itu membuka matanya
"Bagaimana, apakah karpet kotor
masih menjadi masalah buat ibu?"
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan
kepalanya.
"Aku tahu maksud anda" ujar
sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak
negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah
lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu
disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata.
Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder
& John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan
teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita “membingkai
ulang” sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi
positif.
Terlampir beberapa contoh pengubahan
sudut pandang :
Saya BERSYUKUR;
1. Untuk istri yang mengatakan malam
ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan
orang lain
2. Untuk suami yang hanya duduk malas
di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar,
kafe, atau di tempat mesum.
3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh
tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak
jalanan
4. Untuk Tagihan kartu kredit yang
cukup besar, karena itu artinya saya harus bekerja untuk bayar cicilan
5. Untuk sampah dan kotoran bekas
pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi
banyak teman
6. Untuk pakaian yang mulai
kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
7. Untuk rasa lelah, capai dan penat
di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
8. Untuk semua kritik yang saya dengar
tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat
9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi
yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup
10. Untuk dst...
Sahabat pendaki, jika anda bertemu
dengan orang- orang skeptic dan sinis terhadap hobby mendaki gunung ini,
mungkin inilah saatnya menerapkan metode reframing ini. Mungkin inilah saatnya
sahabat pendaki atau orang yang tidak memahami tentang hobby mendaki gunung
untuk “mengintip” para pendaki melalui
“lubang pipet” , bukan melalui kaca mata, kaca pembesar atau binocular
seperti biasanya untuk melihat, misalnya
:
Saya BERSYUKUR :
Saya bersyukur menjadi seorang pendaki,
karena itu berarti saya bukan menjadi seorang pencuri.
Saya bersyukur mungkin merusak sedikit
habitat tumbuhan dan binatang di jalur pendakian, karena itu berarti masih ada
hutan dan rimba sebagai paru- paru dunia.
Saya bersyukur mungkin membuang- buang
duit saya di hobby ini, dan itu berarti saya tidak membuang- buang duit saya
untuk berjudi.
Saya bersyukur mungkin membuang- buang
waktu saya untuk mendaki, itu berarti saya tidak membuang- buang waktu saya
untuk narkoba atau tawuran.
Saya
bersyukur, dst….
Salam satu jiwa.
* * * *
*
Yang melihat hewan itu dari
depan, menggambarkan hewan itu seperti ular. Yang melihat hewan itu dari
samping, menggambarkan hewan itu seperti batu. Yang melihat hewan itu dari
belakang, menggambarkan hewan itu seperti kerbau. Yang melihat hewan itu dari
segala sisi paham betul bahwa itu hewan itu disebut gajah.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment