Pendaki yang bijaksana
pasti baca tulisan ini …
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #33
Setelah menghabiskan satu piring nasi dan
lauk untuk makan siang, saya tersandar di sebuah kursi makan sambil mengatur
nafas agar makanan yang baru saja saya lahap dapat diolah dulu oleh perut yang
tadinya kelaparan. Sekilas pikiran saya mengingat satu cerita yang dibroadcast oleh stasiun radio di suatu
malam, yang kebetulan saya dengarkan bersama- sama dengan ibu dan bapak mertua
saya karena kami satu mobil dalam suatu perjalanan. Judul ceritanya sangat
menarik sekali. “Bagaimana cara menyingkirkan mertua anda dengan meracuninya “.
Nah,,, looohhh…. :D
Kuping saya langsung berdiri dan saya sangat
antusias untuk mendengarkan kelanjutan cerita itu yang saat itu tiba- tiba saja
diinterupsi oleh tayangan iklan. Kedua mertua saya juga langsung heboh menunggu
kelanjutan ceritanya. Bukan hanya karena masing- masing mereka juga memiliki
mertua, namun juga saya sebagai menantunya sedang mendengarkan cerita itu. Jadi
mertua saya dapat bersiap diri menyediakan penangkalnya jika jurus- jurus
meracuni yang akan diajarkan di dalam cerita tersebut tiba- tiba dipraktekan
oleh menantunya, yakni saya :D
Bagi saya sendiri, yang juga antusias untuk
mendengarkan kelanjutan cerita tersebut, bukan berarti saya akan menerapkannya
kepada kedua mertua saya. Mertua saya adalah mertua yang ideal dan terbaik di
dunia, sudah seperti orang tua kandung saya sendiri. Tidak mungkin saya akan
meracuni mereka. Di benak saya terlintas, “Jika saya paham cara meracuni ini,
akan saya racuni kawan pendaki saya yang banyak cincong, yang banyak gaya, biar
beres semua urusan sama mereka”. Hihihihi (ketawa jahat).
Alkisah, di negeri Cina ada sepasang suami
istri yang hidup di desa kecil di pinggir kota. Bersama keluarga mereka juga
ikut tinggal ibu si suami, yang menjadi mertua si istri.
Karena rumah mereka kecil, semua yang
dilakukan oleh si istri tentu saja tidak lepas dari pengamatan ibu mertuanya.
Si ibu mertua selalu menegur menantunya jika dilihatnya si menantu kurang
telaten dalam mengurus rumah tangga, sehingga hampir setiap saat si menantu
selalu mendapat teguran dari si mertua. Mulai dari cara memotong sayur, cara
mengupas kulit buah, rasa masakan dan beberapa hal kecil lainnya di dalam rumah
tersebut. Bahkan si ibu mertua menceritakan kepada tetangga- tetangga di
sekitar rumah bagaimana tidak enaknya masakan menantunya. Bagaimana sikap si
menantu yang ketus, yang tidak pernah tersenyum, tidak dapat bekerja, dan segudang
cerita jelek lainnya tentang menantunya.
Si istri tentu saja dongkol terhadap
mertuanya, dan perasaan tersebut secara tidak langsung juga diperlihatkannya
dengan sikapnya sehari- hari, dari berkata ketus kepada mertuanya, sedikit
membanting piring saat mencuci, menumpahkan air saat mencuci, dan sikap protes
lainnya kepada ibu mertuanya. Jangan harap ada senyuman setiap harinya dari
wajah si istri.
Sampai pada puncak kejengkelan si istri,
suatu sore ia minta izin ke suaminya untuk pergi ke pasar dengan alasan ada
bumbu dapur yang kurang. Alih- alih pergi ke pasar, si istri malah pergi ke
rumah seorang tabib. Dia menceritakan perihal rumah tangganya dan masalah
dengan ibu mertuanya kepada sang tabib dan berharap agar si tabib dapat
memberikan sedikit racun yang ampuh yang dapat dia gunakan nanti di rumah untuk
“mengurus” ibu mertuanya yang cerewet.
Sang tabib mengangguk- agukan kepalanya
sambil mendengar cerita si istri tersebut. Setelah si istri menceritakan
masalahnya, sang tabib mennyarankan agar menggunakan racun yang daya kerjanya
pelan. Jika menggunakan racun yang daya kerjanya cepat maka nanti orang- orang
kampung akan curiga dengan kematian si ibu mertua. Si istripun menyetujuinya.
Sang tabib memberikan sekantong besar ramuan
untuk dicampurkan ke makanan yang akan dimakan oleh si ibu mertua, sambil
berpesan kepada si istri tersebut bahwa, karena umur si ibu mertua tinggal
sedikit lagi jika memakan ramuan tersebut, sebaiknya si istri berlagak pura-
pura baik kepada mertuanya, turuti semua kemauan ibu mertuanya, perlihatkan
senyum di bibir, patuhi semua keinginan ibu mertua. Semua semata- mata agar
orang- orang desa tidak curiga jika si ibu mertua meninggal dunia. Jika
ramuannya habis, datang kembali untuk mendapatkan ramuan baru dari sang tabib.
Si istri pulang ke rumah dan langsung
menerapkan saran dari sang tabib. Pura- pura baik, berkata dengan lemah lembut,
tersenyum, memasakan makanan ibu mertuanya dengan mencampurkan ramuan yang diperolehnya
dari si tabib. Setiap hari demikian yang dilakukannya. Waktu berlalu hari demi
hari, minggu demi minggu. Jika ramuan itu habis, si istri datang lagi ke si
tabib untuk mendapatkan ramuan baru berikutnya.
Bulanpun berlalu … … … Si ibu mertua sudah
tidak sering menegur menantunya lagi karena menantunya sudah menjadi menantu
yang penurut, mau menerima masukan dan nasehat dari mertuanya, mudah tersenyum
dan masakannya enak. Si ibu mertuanya menceritakan dan mengelu- elukan
menantunya ke tetangga sekitarnya, bahwa dia punya menantu yang terbaik di
dunia. Menantu yang ideal.
Si istri tiba- tiba muncul rasa cinta dan
sayangnya kepada ibu mertuanya. Selama ini dia hanya tidak dapat menyelaraskan
sikapnya saja dengan ibu mertuanya. Dan penyesalanpun datang menghampirinya.
Cepat- cepat dia menemui sang tabib untuk minta penawar dari racun yang telah
dia berikan di masakan ibunya.
Sang tabib kembali mendengar alasan- alasan
mengapa si istri mau meminta obat penangkal dari racunnya tersebut. Si istri
menjelaskan dengan sedih, mengingat bahwa mertua yang disayanginya tersebut
mungkin akan berumur tidak lama lagi.
Sang tabib tersenyum dan barkata, “Pulanglah,
tetaplah bersikap seperti beberapa bulan belakangan ini. Tetaplah ramah, hangat
dan menyenangkan bagi ibu mertuamua. Ibu mertuamu tidak akan meninggal dunia
dalam waktu dekat. Ramuan yang saya berikan kemarin- kemarin adalah bumbu
masakan agar menambah lezat masakanmu.Sikapmulah yang harus kamu rubah, agar
ibu mertuamu menyayangimu seperti saat ini”.
Sahabat pendaki, Dale Carnegie, salah satu pakar
tentang Bagaimana cara Berhubungan
Dengan Manusia pernah mengajarkan dalam salah satu sesi trainingnya tentang
perdebatan ini.
Bertahun- tahun yang lalu, Patrick J. OHaire
bergabung dalam salah satu kelas saya. Dia hanya mendapatkan pendidikan formal
sangat sedikit, dan betapa dia menyukai pertengkaran !
Dia pernah menjadi supir, dan dia datang pada
saya karena dia selama ini telah berusaha, namun tanpa banyak membawa hasil
usaha dalam menjual truk.
Sedikit pertanyaan dari saya memberi fakta
bahwa dia terus saja melanjutkan perdebatan dan menentang orang- orang dengan
siapa dia berusaha melakukan bisnis. Kalau ada seorang calon pembeli menyatakan
apapun yang menghina truk- truk yang dijualnya, Pat naik darah dan langsung
menyerang pelanggan itu.
Pat telah menang dalam banyak argumentasi
pada masa- masa itu. Seperti yang dia katakana kepada saya setelah itu, “Saya
sering melangkah ke luar dari kantor itu dan berkata: Saya sudah sampaikan
kepada orang itu sesuatu”. Ya. Tentu saja saya sudah mengatakan sesuatu kepada
orang itu, tapi… … … saya belum menjual apapun kepadanya.
Masalah saya yang pertama bukanlah
mengajarkan Patrick J. Ohire untuk berbicara. Tugas saya yang mendesak justru
melatihnya untuk menahan diri agar tidak bicara, dan menghindari pertengkaran.
Selanjutnya, Ohire menjadi salah satu penjual
terkemuka untuk White Motor Company di New York.
Sahabat pendaki, anda mungkin saja
mendapatkan banyak kawan karena anda banyak mengalah, namun anda tidak akan
mungkin mendapatkan banyak kawan jika anda banyak mendebat. Banyak membuat
pertengkaran.
Kita mungkin akan tergelitik dan terpancing
untuk melontarkan kata- kata ejekan atau berseberangan dengan teman pendaki
kita. Mungkin saja kita tergelitik untuk menuliskan komen yang menyerangnya
pada status yang dia buat di media sosial. Sadarkah kita bahwa kita baru saja
menciptakan “dinding” pembatas dengan teman pendaki kita tersebut ? Apalagi
jika kita sampai menuliskan kata- kata kasar atau menghina kepada teman pendaki
kita di media social tersebut.
Siapapun orangnya, dia akan otomatis
mempertahankan ego atau pendapatnya saat mendapat serangan dari audiancenya. Itu
sifat alami manusia. Pada saat dia diserang, dia akan mempertahankan diri. Adalah
tidak bijak jika kita justru sengaja membuly teman pendaki tersebut dengan komen-
komen yang tidak enak untuk dibaca. Daripada melakukan hal tersebut, bukankah
lebih baik kita menyelaraskan sikap kita kepada statement teman pendaki
tersebut dengan cara yang bijaksana. Kita masih dapat mencari banyak poin- poin
yang dapat menyatukan kita dalam satu kebersamaan dari pada mencari satu poin
yang dapat membuat kita terpecah belah.
Setiap kali sahabat pendaki tergelitik untuk
beradu argument di grup ini, saya barharap sedikit ingatan tentang tulisan ini
mampu mencegah keinginan tersebut.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
Salam satu jiwa.
* * * *
*
Seribu teman masih membuat dunia ini kurang
lapang. Satu musuh sudah membuat dunia ini menjadi sempit.
Alasan bahwa laut mampu menampung banyaknya
air adalah karena ia mampu menempatkan dirinya paling rendah.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
Komposisi racunnya bagus mas.
ReplyDeleteKadang secara tak sadar saya pribadi pernah terpancing menciptakan dinding tersebut. Untung kami sudah saling mengerti bahwa hal itu sebetas sebuah candaan di kala kabut menjadi selimut malam. :)
Hahaha... mantap... asal jgn musuh di dalam selimut yah. Itu kepinding namanya... hehehe
Delete