By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #41
Saat ini film Everest
yang sedang diputar di bioskop lagi seru- serunya buat ditonton, apalagi oleh
sahabat para pendaki. Saya sendiri juga tidak mau ketinggalan untuk film ini.
Bukan hanya karena Saya juga hobby mendaki gunung, namun juga karena nonton
film adalah juga merupakan hobby Saya yang lainnya. Maka itu, Saya memaksakan
diri menonton film Everest ini sendirian di hari kedua pemutarannya, pada jam
tayang pertama di hari itu, yakni jam 12 siang. Saat di mana yang lain mungkin
masih istirahat makan siang atau bersiap diri untuk mulai kerja kembali.
Karena nonton filmnya di
“jam sibuk”, satu teater Cuma diisi oleh 4 orang penonton. Teater serasa punya
sendiri. Duduk bisa pake gaya apa saja. Suka- suka… . Mau tiduran atau
nungging-pun terserah sendiri. Betul- betul sepi… Dan karena nonton filmnya itu
juga di jam sibuk, Saya harus mengabaikan beberapa panggilan masuk di hand
phone - me- reject beberapa panggilan lainnya serta harus rela mengabaikan
informasi untuk menjemput beberapa tagihan pekerjaan yang cair - karena tidak
ingin diganggu karena focus ke Everest J
Empat hari sesudahnya,
Saya punya kesempatan buat membawa dua jagoan Saya untuk ikutan nonton Everest.
Bagi Saya film ini tidak membosankan. Seperti juga halnya film Vertical Limit.
Tetap enak buat ditonton sendiri, atau rame- rame.
Beberapa teman penulis
di komunitas blogger juga mengulas tentang film ini di tulisan mereka. Tentang
pertanyaan klasik “Mengapa naik gunung?”, tentang beberapa dialog yang dianggap
“menggigit” di film itu, dan tentang hal lainnya yang semuanya sangat menarik
buat dibahas.
Namun di tulisan ini
Saya hanya tertarik untuk membicarakan tentang “Guide”, pandu, pemandu atau
leader. Ya, profesinya si Rob Hall dan si Scott Fischer di film Everest ini.
Bukan karena profesi ini sangat penting pada suatu pendakian, namun karena pada
dasarnya, setiap kita adalah leader,
paling tidak adalah leader bagi diri kita sendiri.
Tahun 1995, Saya adalah
mahasiswa baru di salah satu universitas swasta di Kota Padang, Sumatera Barat.
Begitu masa ospek selesai untuk satu minggu pertama di kampus tempat Saya
menimba ilmu, Saya sudah kelayapan ke Gunung Marapi (2.891 mdpl) dan Gunung
Singgalang (2.877 mdpl) sendirian. Begitu bergeloranya jiwa “blusukan” Saya
pada masa itu.
Semester pertama di
bangku kuliah, dengan teman- teman baru berlatar belakang bahasa dan daerah
yang berbeda adalah suatu kesempatan yang sangat langka. Kesempatan ini Saya
gunakan untuk “meracuni” teman- teman seangkatan untuk mengenal lebih dekat
olah raga mendaki gunung ini. Saya bawa mereka ke Gunung Marapi, sebagai gunung
pertama untuk mereka coba. Saya menjadi leader mereka karena Saya sudah pernah
naik ke sana beberapa bulan sebelumnya. Alhamdulillah pendakian itu lancar,
tidak ada halangan sama sekali, semua anggota team dapat mencapai puncak tanpa
kendala.
Teman- teman mulai
ketagihan. November 1995, Gunung Singgalang adalah target kunjungan yang
berikutnya. Rencana sudah matang, dana sudah terkumpul. Waktu? Bisa
menyesuaikan. Pada suatu Sabtu malam kami – empat pria dan dua wanita – sudah
minum teh hangat ditemani sepiring nasi goreng di Tower kaki Gunung Singgalang.
Tepat pukul 23:00 WIB malam, pendakian dimulai. Disinilah cobaan itu dimulai…
Sekitar dua jam
perjalanan, cuaca berubah menjadi buruk. Hujan deras disertai angin yang
bertiup kencang datang tiba- tiba. Petir-pun bersahutan, berlomba cepatnya
dengan langkah para pendaki. Team mulai basah dan kedinginan, namun semangat di
dalam dada terus membara. Langkah kaki terus dipaksa setapak demi setapak
menaiki jalur basah yang licin di kegelapan malam. Langkah kaki tersebut
akhirnya harus terhenti untuk satu jam berikutnya. Kondisi team betul- betul
payah dengan badan menggigil dan basah kuyup. Membuat camp sementara mustahil
dilakukan mengingat cuaca buruk yang terus berlanjut dan peralatan yang memang minim
untuk itu. Saya memutuskan agar team harus turun malam itu juga. Pendakian ini
gagal total…
“Terkutuklah kau, Bams!
Tak bisa mengantarkan kami ke Puncak Gunung Singgalang ini”. Nasib, nasib… Terima
bayaran menjadi guide tidak, tapi menerima makian iya. Bagaimana lagi
kejadiannya jika Saya dibayar yah? Kalimat itu masih melekat erat di daun
telinga Saya hingga saat ini. Saya memakluminya, mimpi menuju puncak bagi
sebagian orang adalah tekad yang harus dipertahankan sampai titik tenaga
terakhir. Setiap orang punya kompetisi sendiri dengan gunung. Dan gunung selalu
menang! (Jadi ingat si Doug di film Everest ini).
Anggota team kecewa
karena tidak mencapai puncak Gunung Singgalang. Mereka kecewa karena leader
mereka – Saya – memutuskan untuk menarik turun langkah kaki mereka menuju lembah. Seandainya mereka tahu beratnya
pertentangan di dalam hati Saya? Dan tanggungjawab resiko yang harus Saya ambil
untuk memutuskan keselamatan nyawa mereka. Ah, sudahlah… Caci maki mungkin
sudah menjadi bagian tak terpisahkan untuk seorang leader. Ujung cerita itu
harus kami habiskan selama tiga jam berikutnya tidur bertumpukan di dalam
sebuah pos jaga dengan gigi gemeretak menahan dinginnya malam.
Gunung Talang (2.597
mdpl), April 1998. Cuaca cerah… Team Saya berjumlah 4 orang sudah mencapai
puncak dan melangkah turun ke lembah. Saat naik menjadi leader, dan saat turun
menjadi sweeper. Ini untuk memastikan tidak ada anggota team yang tertinggal. Namun, saat sampai di kaki gunung, 2 orang
anggota team yang berjalan paling depan tidak ditemukan. Matahari sudah
bersembunyi di balik Bumi. Gelap menyelimuti, di Bumi, apalagi di hati.
Saya panik… Sudah jelas
2 orang anggota team tersesat. Saya betul- betul galau. Hal- hal buruk berkecamuk
di pikiran saya. Bagaimana nantinya akan menghadapi interogasi dari pihak SAR
atau kepolisian. Ah, itu belum seberapa… . Bagaimana nanti akan menjelaskannya
kepada pihak keluarga? Ini beban yang paling berat… Jadi, tidak peduli waktu
sudah menujukan pukul 21:00 WIB, perut belum diisi makanan, berbekal daypack
dan sebotol air minum 600 ml serta head lamp, saya harus naik maraton lagi ke
gunung, menyisir jalur yang telah dilewati, mana tahu dapat ditemukan secercah
titik terang tentang keberadaan 2 orang anggota team yang tersesat.
Setengah Gunung Talang
sudah Saya daki guna melacak jejak 2 orang anggota team yang tersesat. Tidak
ada hasil… Mustahil menemukan jejak yang tercecer dalam keadaan gelap. Jam 12
malam Saya akhirnya memutuskan untuk turun dengan putus asa. Sampai di bawah
ternyata 2 orang tersebut sudah ada di tempat pertemuan, bergabung dengan
seorang teman yang telah Saya perintahkan untuk menunggu. Yang tersesat berlari
langsung ke arah Saya, menubruk dan
memeluk Saya dengan erat. Saya sudah tidak bisa berkata apa- apa. Larut dalam
suka cita. Mereka tersesat dan turun di desa sebelahnya. Alhamdulillah…
Begitu beratnya tanggung
jawab seorang guide atau leader dalam satu ekspedisi atau pendakian, bahkan
harus melanggar aturan jam turun seperti yang dilakukan oleh Rob Hall karena
harus mengantarkan Doug ke Puncak Everest. Saat terkena badaipun si Rob juga
tidak meninggalkan Doug. Beginilah harusnya jiwa seorang leader.
Menurut Saya pribadi, jiwa
tanggung jawab para guide ini seharusnya selevel dengan jiwa tanggung jawab
sang nahkoda di sebuah kapal. Jika ada bahaya, maka sang nahkoda adalah orang
terakhir yang keluar dari kapal setelah memastikan semua penumpangnya selamat.
Bukan malah sebaliknya, malah nahkoda duluan keluar dari kapal meninggalkan
penumpangnya.
Saya membayangkan, jika
saja si Rob meninggalkan si Doug yang sudah kepayahan di atas sana, di Puncak Selatan
Everest, tentunya dia memiliki peluang selamat yang lebih besar. Namun Saya
tidak dapat membayangkan bagaimana pandangan pendaki lainnya terhadap si Rob,
sebagai “kapten yang yang meninggalkan penumpangnya”. Lebih tidak bisa lagi
membayangkan bagaimana si Rob akan hidup dengan reputasi seperti itu.
Yang Saya tahu pasti
dari film ini adalah, setelah film selesai dan lampu teater dinyalakan, Saya
bertanya kepada dua orang permata hati Saya yang Saya ajak nonton film Everest
ini, “Setelah nonton film ini, Abi boleh pergi naik ke Gunung Everest gak?”.
Jawabannya cepat dan tegas, TIDAK…!!! Maka berakhirlah karir Saya sebagai
pendaki kelas dunia, bahkan sebelum Saya sempat untuk memulainya J
Gunakan hati saat
mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Setiap orang punya kompetisi sendiri dengan gunung. Dan gunung
selalu menang…!
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
:
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment