Friday, September 4, 2015

DI ANTARA TEMAN DAN KESENDIRIAN

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #17

Beberapa waktu lalu Saya sempat memposting sebuah link cerita evakuasi dua orang pendaki perempuan yang cedera di Gunung Marapi (2.981 mdpl), Sumatera Barat,  pada wall FB sebuah grup penggiat alam bebas. Tidak berapa lama kemudian, Saya mendapat notifikasi add friend dari seorang pendaki dengan nama FB, Zifanno. Setelah Saya approve, inbox di layar laptop Saya pun berdentang tanda adanya satu message yang baru saja masuk. Rupanya dari saudaraku Zifanno yang pertemanannya di FB baru saja Saya terima.


Berlangsunglah percakapan antara Saya dan Zifanno di FB, transkrip percakapannya kira- kira sebagai berikut:

Zifanno : “Assalamu'alaykum  Om. Maaf, berita tentang  2 mahasiswi *** itu rombongan ane om. Sekitar Tanggal 25 Mei kemaren”.

Bams : “Wah,,,, ketemu dengan saksi hidup nih. Emang betul jumlahnya 15 orang saat itu ?”.

Zifanno : “Iya... Jadi, pas jam 6 pagi, kami 4 orang stay di Cadas. Sementara yg lain ke Puncak, ane udah bilang ke Rekan- rekan, kalo ke Puncak kagak usah ke Taman atau dekat kawah, kerena petugas udah bilang gak boleh mendekati kawah radius 300 m. Mereka cuma bilang iya. Kami yang berempat istirahat di camp cadas”.

Zifanno : “Jam 10, salah seorang rekan yang di puncak menelpon kami bahwa saudari N cidera kaki dan A mengalami pingsan. Ya udah, bersegeralah ane dan 2 rekan menjemput ke atas. Hingga jam 11.30 kami baru bisa melanjutkan evakuasi sahabat kami ke bawah om”.

Bams : “Cewek yang 2 orang itu apakah baru pertama kali ini mendaki? Atau sebelumnya sudah pernah ?”.

Zifanno : “Saudari A dan N udah pernah nanjak sebelumnya om. Bahkan A pernah nanjak ke Mt. Sibayak di Sumatera Utara”.

Zifanno : “A bisa berjalan walau pelan. Tapi, N gak bisa jalan sama sekali. Harus digendong om, bayangin kami menggendong N secara bergantian menuruni cadas. Pas jam 2.30 siang, kami sampai di camp. Makan dan istirahat. Kami packing dan siap- siap turun. Rombongan kami bagi dua. Di antara 15 orang tersebut, 7 orang terdiri dari N , ane dan lima pria di belakang, yang lainnya ane suruh duluan ke pos. Tepat jam 4 sore, Ane di rombongan belakang memapah N yang cedera kakinya. Bergantian menggendong memapah, hingga di ketinggian 1.700 mdpl sebelum kilometer 4 dari puncak, kami stop total karena kami lupa meminta logistik dengan rombongan yang duluan ke pos”.

Bams : “Hasil dari penelusuran, mengapa bisa terjadi begitu yah? Mengingat keduanya sudah punya pengalaman mendaki. Faktor fisik atau ada faktor lainnya? Mungkin karena elevasi ?”.

Zifanno : “Saudari A dan N mungkin kelelahan Om. Mereka semangat banget pas Sunrise langsung ke puncak”.

Zifanno : “Om bisa liat foto evakuasi kami di album Foto ane”.

Bams : “Ok, ane cek dulu fotonya.... Berarti kejadian insidennya di sekitaran Tugu Abel yah ?”.

Zifanno : “Bukan Om, di pelataran dekat Puncak Garuda”.

Bams : “Oooo, i see,,,, itu di foto sampul, orang- orang yang lagi rame di belakang Zifanno itu yang lagi evakuasi yah? Yang cedera, cewek yang pake jaket hijau?”.

Zifanno : “Waktu itu iya Om.. Tapi, alhamdulillah, pas petugas pos bertemu kami, N langsung dipijit kakinya”.

Bams : “Ok, thanks informasinya brader, btw inti percakapan kita ini akan Saya jadikan bahan tulisan untuk inspirasi bagi para pendaki di beberapa grup pendaki. Tentunya dengan beberapa revisi untuk melindungi identitas korban. Nama kangmas Zifanno tetap akan Saya show-kan sebagai referensi, dan fotonya yang lagi menggendong korban di cadas itu Saya mohon izin nantinya akan Saya gunakan untuk sampul depan tulisan Saya yah…. “.

Zifanno : “Inshaallah, buat sebuah i'tibar, ane setuju om.. Mudah- mudahan, rekan- rekan pendaki yang lain bisa mengambil pelajaran om”.

Dua orang pendaki wanita yang cedera dan menjadi survivor tersebut sangat beruntung. Mereka memiliki teman- teman seperjalanan yang sangat luar biasa. Yang peduli untuk menggendong ataupun memapahnya untuk turun dari puncak sebuah gunung melalui cadas dan hutan belantara, hanya berlandaskan pada rasa kesetiakawanan yang dalam di lubuk hati mereka.

Jikalau Saya yang berada di posisi survivor tersebut, mungkin Saya sudah bernazar,,, “Seandainya ada yang menolong Saya dan menggendong Saya sampai selamat ke kaki gunung, jika dia laki- laki akan Saya jadikan saudara, dan jika dia wanita, akan Saya jadikan istri,,,”. Untuk kasus saudaraku Zifanno di atas, Saya lupa menanyakan kepadanya, “Apakah si survivor A dan N juga punya nazar yang seperti itu…???”.

Dalam suatu perjalanan pendakian gunung, teman seperjalanan yang baik adalah segala- galanya. Dia ibarat tempat berbagi susah dan senang. Biasanya, di gunung akan terlihat semua sifat dan karakter tersembunyi dari orang tersebut.

Tiba- tiba Ingatan Saya melambung ke masa silam, masa di mana soloist (mendaki sendirian) pernah menjadi jalan hidup Saya. Beberapa gunung memang pernah Saya tempuh dengan mendaki sendirian. Langkah kaki yang diiringi lolongan anjing saat Bulan Purnama di tengah ladang tebu, Berjalan diam dalam keheningan belantara, duduk termenung di jalur pendakian yang gelap gulita saat malam, meraba jalur baru dibantu cahaya lilin di tangan atau meringkuk kedinginan sendirian di dalam tenda sambil mendengarkan celetuk burung malam, patahan ranting yang mendarat di permukaan bumi atau gemerisik rintik hujan kala dini hari.

Hal- hal semacam potensi bahaya yang mungkin terjadi pada saat itu menjadi kabur seiring meningkatnya adrenalin di dalam tubuh. Butuh keterampilan dan fisik serta keahlian yang luar biasa untuk melakukan soloist. Rasa takut pasti ada, karena Saya juga bukan orang yang pemberani banget. Saya Cuma bermental challenge oriented (berorientasi kepada tantangan). Kalau ditanya tantangan apa? Tantangan yang Saya berikan untuk diri Saya sendiri, apakah Saya berani melakukan soloist ? Dan ternyata Saya bisa membuktikan bahwa Saya dapat melakukannya. Parahnya, hal itu membuat addicted…!!! Yah… Kecanduan….

Saya pribadi menyarankan untuk tidak melakukan pendakian solo (soloist). Dalam prosedur pendakian hal ini sebenarnya dilarang. Untuk itu kita mengenal adanya buddy system, yakni selalu berjalan minimal berdua beriringan. Hal ini sebagai system preventif (pencegahan) jika terjadi kondisi emergency pada pendaki. Jika emergency tersebut terjadi, pendaki yang satunya dapat melakukan pertolongan dan atau dapat mencari bantuan.

Tidak terbayangkan bukan? Jika dalam kisah saudaraku Zifanno di atas, jika saja pendaki solo yang mendapat musibah itu? Misalkan saja cedera patah kaki. Bagaimana pendaki tersebut akan turun gunung sendirian? Apalagi soloist-nya dilakukan saat musim pendakian lagi sepi. Butuh mental yang lebih tebal dari baja untuk merangkak atau ngesot di jalur turun, dan tentunya butuh perlengkapan, teknik dan pengetahuan first aid yang mampuni agar merangkak atau ngesot tersebut dapat dihindari.  

Dalam suatu forum trekking Malaysia, di mana Saya juga ikut menjadi salah satu anggotanya, informasi krusial tentang bahaya soloist ini pernah Saya dapatkan. Suatu waktu di Malaysia, ada seorang soloist yang melakukan trekking ke dalam hutan dan hilang tanpa kabar berita. Empat hari kemudian tim SAR menemukan jenazahnya di jalur trekking dengan kondisi memilukan. Tubuhnya terkena banyak sengatan tawon hutan. Dari sms yang ada di handphone-nya yang tidak sempat terkirim karena ketiadaan sinyal di TKP, dapat diketahui bahwa kejadian tersebut terjadi di siang hari.

Bayangkan…!!! Selama ini Saya hanya terfokus terhadap potensi bahaya jatuh, terkilir, patah, pusing, muntah, hipotermia, hipoksia, ular,,,

Dan tawon…??? Lebah…??? Mahluk kecil yang tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah diperhitungkan sama sekali… Bagaimana dengan perampok… ??? Ternyata potensi bahayanya banyak sekali.

Secara statistic memang, fatality yang terjadi pada soloist mungkin hanya 1% saja dari beberapa kurun waktu pendakian. Dan bahkan banyak insiden malah terjadi pada pendakian dengan team. Namun sebenarnya bukan itu yang terjadi. Dua- duanya, baik yang soloist maupun yang team sama- sama punya peluang 50% untuk insiden fatality, hal ini hanya masalah, pendaki soloist lebih sedikit penganutnya jadi insiden yang ada juga sedikit, sedang pendaki team lebih banyak, jadi insiden yang ada juga lumayan banyak.

Nah, kawan- kawan pendaki sekalian, menjadi pendaki soloist maupun pendaki team adalah pilihan masing- masing dari diri anda. Anda dapat mempertimbangkan segala resikonya, menelaah segala keuntungan dan kerugiannya, menetapkan semua keputusannya. Apapun keputusannya terhadap dua pilihan tersebut, tetap saja anda  harus mempersiapkan perlengkapannya dan mempelajari ilmunya.

Keep climb, keep safety.

Salam satu jiwa.

* * * *  *
Batas  antara “gelap” dan “terang” itu sangat jelas,,, ilmu…

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :

 “GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”


BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

No comments:

Post a Comment