Monday, September 21, 2015

TERKUTUKLAH PARA GUIDE

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #41

Saat ini film Everest yang sedang diputar di bioskop lagi seru- serunya buat ditonton, apalagi oleh sahabat para pendaki. Saya sendiri juga tidak mau ketinggalan untuk film ini. Bukan hanya karena Saya juga hobby mendaki gunung, namun juga karena nonton film adalah juga merupakan hobby Saya yang lainnya. Maka itu, Saya memaksakan diri menonton film Everest ini sendirian di hari kedua pemutarannya, pada jam tayang pertama di hari itu, yakni jam 12 siang. Saat di mana yang lain mungkin masih istirahat makan siang atau bersiap diri untuk mulai kerja kembali.

 


Karena nonton filmnya di “jam sibuk”, satu teater Cuma diisi oleh 4 orang penonton. Teater serasa punya sendiri. Duduk bisa pake gaya apa saja. Suka- suka… . Mau tiduran atau nungging-pun terserah sendiri. Betul- betul sepi… Dan karena nonton filmnya itu juga di jam sibuk, Saya harus mengabaikan beberapa panggilan masuk di hand phone - me- reject beberapa panggilan lainnya serta harus rela mengabaikan informasi untuk menjemput beberapa tagihan pekerjaan yang cair - karena tidak ingin diganggu karena focus ke Everest J

Empat hari sesudahnya, Saya punya kesempatan buat membawa dua jagoan Saya untuk ikutan nonton Everest. Bagi Saya film ini tidak membosankan. Seperti juga halnya film Vertical Limit. Tetap enak buat ditonton sendiri, atau rame- rame.

Beberapa teman penulis di komunitas blogger juga mengulas tentang film ini di tulisan mereka. Tentang pertanyaan klasik “Mengapa naik gunung?”, tentang beberapa dialog yang dianggap “menggigit” di film itu, dan tentang hal lainnya yang semuanya sangat menarik buat dibahas.

Namun di tulisan ini Saya hanya tertarik untuk membicarakan tentang “Guide”, pandu, pemandu atau leader. Ya, profesinya si Rob Hall dan si Scott Fischer di film Everest ini. Bukan karena profesi ini sangat penting pada suatu pendakian, namun karena pada dasarnya,  setiap kita adalah leader, paling tidak adalah leader bagi diri kita sendiri.

Tahun 1995, Saya adalah mahasiswa baru di salah satu universitas swasta di Kota Padang, Sumatera Barat. Begitu masa ospek selesai untuk satu minggu pertama di kampus tempat Saya menimba ilmu, Saya sudah kelayapan ke Gunung Marapi (2.891 mdpl) dan Gunung Singgalang (2.877 mdpl) sendirian. Begitu bergeloranya jiwa “blusukan” Saya pada masa itu.

Semester pertama di bangku kuliah, dengan teman- teman baru berlatar belakang bahasa dan daerah yang berbeda adalah suatu kesempatan yang sangat langka. Kesempatan ini Saya gunakan untuk “meracuni” teman- teman seangkatan untuk mengenal lebih dekat olah raga mendaki gunung ini. Saya bawa mereka ke Gunung Marapi, sebagai gunung pertama untuk mereka coba. Saya menjadi leader mereka karena Saya sudah pernah naik ke sana beberapa bulan sebelumnya. Alhamdulillah pendakian itu lancar, tidak ada halangan sama sekali, semua anggota team dapat mencapai puncak tanpa kendala.

Teman- teman mulai ketagihan. November 1995, Gunung Singgalang adalah target kunjungan yang berikutnya. Rencana sudah matang, dana sudah terkumpul. Waktu? Bisa menyesuaikan. Pada suatu Sabtu malam kami – empat pria dan dua wanita – sudah minum teh hangat ditemani sepiring nasi goreng di Tower kaki Gunung Singgalang. Tepat pukul 23:00 WIB malam, pendakian dimulai. Disinilah cobaan itu dimulai…

Sekitar dua jam perjalanan, cuaca berubah menjadi buruk. Hujan deras disertai angin yang bertiup kencang datang tiba- tiba. Petir-pun bersahutan, berlomba cepatnya dengan langkah para pendaki. Team mulai basah dan kedinginan, namun semangat di dalam dada terus membara. Langkah kaki terus dipaksa setapak demi setapak menaiki jalur basah yang licin di kegelapan malam. Langkah kaki tersebut akhirnya harus terhenti untuk satu jam berikutnya. Kondisi team betul- betul payah dengan badan menggigil dan basah kuyup. Membuat camp sementara mustahil dilakukan mengingat cuaca buruk yang terus berlanjut dan peralatan yang memang minim untuk itu. Saya memutuskan agar team harus turun malam itu juga. Pendakian ini gagal total…

“Terkutuklah kau, Bams! Tak bisa mengantarkan kami ke Puncak Gunung Singgalang ini”. Nasib, nasib… Terima bayaran menjadi guide tidak, tapi menerima makian iya. Bagaimana lagi kejadiannya jika Saya dibayar yah? Kalimat itu masih melekat erat di daun telinga Saya hingga saat ini. Saya memakluminya, mimpi menuju puncak bagi sebagian orang adalah tekad yang harus dipertahankan sampai titik tenaga terakhir. Setiap orang punya kompetisi sendiri dengan gunung. Dan gunung selalu menang! (Jadi ingat si Doug di film Everest ini).

Anggota team kecewa karena tidak mencapai puncak Gunung Singgalang. Mereka kecewa karena leader mereka – Saya – memutuskan untuk menarik turun langkah kaki mereka menuju  lembah. Seandainya mereka tahu beratnya pertentangan di dalam hati Saya? Dan tanggungjawab resiko yang harus Saya ambil untuk memutuskan keselamatan nyawa mereka. Ah, sudahlah… Caci maki mungkin sudah menjadi bagian tak terpisahkan untuk seorang leader. Ujung cerita itu harus kami habiskan selama tiga jam berikutnya tidur bertumpukan di dalam sebuah pos jaga dengan gigi gemeretak menahan dinginnya malam.

Gunung Talang (2.597 mdpl), April 1998. Cuaca cerah… Team Saya berjumlah 4 orang sudah mencapai puncak dan melangkah turun ke lembah. Saat naik menjadi leader, dan saat turun menjadi sweeper. Ini untuk memastikan tidak ada anggota team yang tertinggal.  Namun, saat sampai di kaki gunung, 2 orang anggota team yang berjalan paling depan tidak ditemukan. Matahari sudah bersembunyi di balik Bumi. Gelap menyelimuti, di Bumi, apalagi di hati.

Saya panik… Sudah jelas 2 orang anggota team tersesat. Saya betul- betul galau. Hal- hal buruk berkecamuk di pikiran saya. Bagaimana nantinya akan menghadapi interogasi dari pihak SAR atau kepolisian. Ah, itu belum seberapa… . Bagaimana nanti akan menjelaskannya kepada pihak keluarga? Ini beban yang paling berat… Jadi, tidak peduli waktu sudah menujukan pukul 21:00 WIB, perut belum diisi makanan, berbekal daypack dan sebotol air minum 600 ml serta head lamp, saya harus naik maraton lagi ke gunung, menyisir jalur yang telah dilewati, mana tahu dapat ditemukan secercah titik terang tentang keberadaan 2 orang anggota team yang tersesat.

Setengah Gunung Talang sudah Saya daki guna melacak jejak 2 orang anggota team yang tersesat. Tidak ada hasil… Mustahil menemukan jejak yang tercecer dalam keadaan gelap. Jam 12 malam Saya akhirnya memutuskan untuk turun dengan putus asa. Sampai di bawah ternyata 2 orang tersebut sudah ada di tempat pertemuan, bergabung dengan seorang teman yang telah Saya perintahkan untuk menunggu. Yang tersesat berlari langsung ke  arah Saya, menubruk dan memeluk Saya dengan erat. Saya sudah tidak bisa berkata apa- apa. Larut dalam suka cita. Mereka tersesat dan turun di desa sebelahnya. Alhamdulillah…

Begitu beratnya tanggung jawab seorang guide atau leader dalam satu ekspedisi atau pendakian, bahkan harus melanggar aturan jam turun seperti yang dilakukan oleh Rob Hall karena harus mengantarkan Doug ke Puncak Everest. Saat terkena badaipun si Rob juga tidak meninggalkan Doug. Beginilah harusnya jiwa seorang leader.

Menurut Saya pribadi, jiwa tanggung jawab para guide ini seharusnya selevel dengan jiwa tanggung jawab sang nahkoda di sebuah kapal. Jika ada bahaya, maka sang nahkoda adalah orang terakhir yang keluar dari kapal setelah memastikan semua penumpangnya selamat. Bukan malah sebaliknya, malah nahkoda duluan keluar dari kapal meninggalkan penumpangnya.  

Saya membayangkan, jika saja si Rob meninggalkan si Doug yang sudah kepayahan di atas sana, di Puncak Selatan Everest, tentunya dia memiliki peluang selamat yang lebih besar. Namun Saya tidak dapat membayangkan bagaimana pandangan pendaki lainnya terhadap si Rob, sebagai “kapten yang yang meninggalkan penumpangnya”. Lebih tidak bisa lagi membayangkan bagaimana si Rob akan hidup dengan reputasi seperti itu.

Yang Saya tahu pasti dari film ini adalah, setelah film selesai dan lampu teater dinyalakan, Saya bertanya kepada dua orang permata hati Saya yang Saya ajak nonton film Everest ini, “Setelah nonton film ini, Abi boleh pergi naik ke Gunung Everest gak?”. Jawabannya cepat dan tegas, TIDAK…!!! Maka berakhirlah karir Saya sebagai pendaki kelas dunia, bahkan sebelum Saya sempat untuk memulainya J

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Setiap orang punya kompetisi sendiri dengan gunung. Dan gunung selalu menang…!

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak :

“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”



BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

9 comments:

  1. Nice mas Bams, enak dibaca dan inti dari maknanya mudah dipahami....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trims apresiasinya mas aburifqi... sehat selalu yah... 😊

      Delete
  2. Replies
    1. Trims mba aisyah... sukses selalu ya mba 😊

      Delete
  3. Bikin betah disini, artikelnya bagus bagus nih.. salam kenal ya.
    "Gunakan hati saat mendaki, terkutuklah guide" hehe kerenn
    blogwalking ya cara mendapatkan air di gunung

    ReplyDelete
  4. Salam kenal juga mas fajar... 😊. Trims apresiasinya...

    ReplyDelete
  5. Awesome....
    Tulisannya mudah dipahami om bams...
    Tulisan lainnya sngat menginpirasi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trims apresiasinya mas reza falevi... sehat dan sukses selalu buat mas reza yah... :)

      Delete