Friday, January 16, 2015

AYAT- AYAT PENDAKI

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #07

Sebenarnya Saya tidak punya keahlian menulis sama sekali. Mengikuti kursus atau training tentang cara menulis yang baik dan benar, satu kalipun Saya belum pernah mengikutinya. Apa yang Saya tulis pada tulisan ini dan tulisan Saya yang lainnya pun Saya rasakan hanya goresan hati dan pikiran biasa saja. Yaahh,,, anggap saja sebagai sebuah diary.

Gunung Batok di sebelah Bromo, dini hari


Berawal dari sebuah operasi SAR satu bulan sebelumnya di Hutan Muka Kuning Batam, dan karena kecerobohan saya juga yang masuk hutan tengah malam, serta keteledoran Saya sendiri berjalan dalam kegelapan di jalur yang basah dan licin, sehingga di salah satu rintangan jalan, Saya melompati pohon tumbang  yang melintang di tengah jalur, lalu terpeleset dan,,,, kraaakkkk… Patahlah lengan kiri Saya. Maaf kawan,,, rasa sakitnya tidak akan Saya ceritakan di sini. Namun pesan Saya, berhati- hatilah kawan, di manapun anda melakukan kegiatan. Saya jamin anda tidak akan mau merasakan rasa sakit yang Saya rasakan saat tulang lengan tersebut ditarik untuk diluruskan di Sangkal Puntung, tanpa sedikitpun obat bius. Yaa,,, tanpa obat bius.

Kecelakaan yang Saya alami satu bulan sebelumnya tersebut pastinya membuat aktivitas Saya terbatas. Melakukan semua rutinitas sehari- hari hanya dengan satu tangan saja adalah sesuatu yang canggung untuk dilakukan. Gerakan Saya menjadi terbatas.

Hal- hal yang dulunya Saya anggap ringan, sepele, seperti memakai baju dan lain sebagainya, sekarang menjadi suatu pekerjaan yang lumayan berat dan susah untuk dilakukan. Untung saja Saya bukan seorang yang kidal, jadi Alhamdulillah Saya masih dapat melakukan hal- hal kecil lainnya, seperti menulis artikel- artikel ini dengan hanya menggunakan Satu tangan saja. Juga please,,, jangan tanya bagaimana rasanya mencumbu tuts- tuts di laptop hanya dengan satu tangan saja. Selain waktu yang dibutuhkan menyelesaikan satu tulisan agar dapat anda baca lumayan lama, rasa lelahnya juga hadir lebih cepat.

Tidak jarang setelah tiga atau empat paragraph Saya harus berbaring dahulu untuk beristirahat sembari meninggikan lengan kiri Saya yang masih dibalut  pada tempat yang patah, agar lebih tinggi dari jantung Saya untuk mengurangi bengkak yang ada di telapak tangan Saya. Sementara itu, rasa nyut- nyutannya membuat ketidaknyamanan ini terus berlanjut. Hiks….

Saya berbaring dulu yaahhh, ntar disambung lagi…. J

(2 jam kemudian)

Maaf,,, Saya ketiduran… Oh ya, Saya lupa informasikan, efek samping berbaring tersebut membuat Saya kadang ketiduran beberapa saat. Sampai di mana kita tadi ? (sambil membaca paragraph terakhir di atas).

Yah, begitulah keadaannya. Setelah satu bulan berlalu dengan keterbatasan ini, tiba- tiba saja beberapa visi atau kenangan- kenangan masa lalu berkelebat sepintas di depan pelupuk mata Saya. Wujudnya seperti kilas balik kehidupan yang mendekat tiba- tiba, dan Saya pikir,,, “Kenapa tidak Saya realisasikan saja dalam bentuk tulisan sebelum penyakit pikun menghampiri Saya dan melenyapkan semua kenangan tersebut?”.

Pertimbangan lainnya adalah, Saat ini karena keterbatasan Saya, banyak waktu luang tersisa. Mengapa tidak Saya gunakan saja untuk menulis guna “membunuh” waktu Saya?

Yups, “membunuh waktu” , satu dari tiga slogan Para Pendaki jika mereka masuk ke hutan atau mendaki gunung. Semuanya tentu sudah paham; “Jangan tinggalkan apapun di alam, kecuali jejak kita. Jangan ambil apapun di alam, kecuali gambarnya. Jangan bunuh apapun di alam, kecuali waktu kita”. Slogan yang indah… Kadang pernah terpikir oleh Saya, “Siapa yang pertama kali merangkai slogan tersebut, yah?”.

Seperti cinta yang mempunyai ayat- ayat cinta, bagi Saya Pendaki juga punya ayat- ayat pendaki. Saya mengutip sedikit kalimat pada ayat suci, “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali yang beriman dan mengerjakan kebaikan, serta saling berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran” (Q.S 103 :1-3).

Menurut hemat Saya, konteks ayat ini sangat cocok menjadi ayat- ayat bagi para Pendaki. Coba baca sekali lagi, kata per kata, serta penggalan kalimatnya…!

Membunuh waktu di alam sebenarnya adalah merupakan suatu kiasan. Bagaimana bisa seseorang mampu membunuh “waktu” yang tidak mempunyai wujud?. Hal ini tentu saja seperti membunuh hantu atau menusuk angin.

Membunuh waktu di sini bersinonim dengan, Pendaki seharusnya melakukan kegiatan yang berguna selama melakukan pendakian. Apa saja yang berguna? Banyak kawan… Menanam pohon (reboisasi), mengumpulkan sampah/ bersih gunung, membersihkan vandalisme, berdiskusi tentang konservasi, dan yang lainnya. Bukankah hal- hal di atas adalah “mengerjakan kebaikan” seperti yang tertulis di ayat suci?

“Serta saling berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran”.

Ini juga berlaku bagi Pendaki. Jika di jalur ataupun di camping ground anda melihat ada Pendaki Bodoh yang merusak atau nyampah, sudah menjadi kewajiban anda untuk memberikan nasehat agar hal tersebut dapat diperbaiki. Tentu saja nasehat tersebut harus disampaikan secara baik dan “beradab” dengan penuh kesabaran. Jangan didiamkan….! Karena jika anda mendiamkannya, anda baru saja “berkomplot” dengan si penyampah dan merestui perbuatannya tersebut dengan diam.

Jika apa yang dijabarkan di atas tidak mampu dilakukan oleh seorang Pendaki, itulah dia Pendaki yang merugi, seperti yang disebutkan di ayat pertama di atas. “Demi masa, sesungguhnya manusia (Pendaki) berada dalam kerugian”. Karena tidak ada kebaikan yang dia bawa dan dia sebarkan selama dia melakukan pendakian. Jadi tidak ada nilai ibadahnya. Yang dia dapatkan hanya rasa letih, haus, lapar dan ngantuk serta foto yang akan habis nantinya dimakan waktu.

 Saat berselisih jalan di jalur, biasanya kita para Pendaki akan saling menyapa. Tak peduli betapa letihnya anda, anda akan menyapa Pendaki yang berselisih jalan tersebut dengan bersahabat, karena memang itulah “code of conduct” kita, persahabatan dan persaudaraan. Walaupun hanya dengan tersenyum. Begitulah etikanya… Atau kini sudah berubah…???

Jika berselisih jalan di jalur pendakian, biasanya Saya akan menyapa dengan kata- kata, “Semangat yah…!!!”. Beberapa Pendaki lainnya yang berselisih jalan juga sering menucapkan kata itu di jalur. Mungkin andapun suatu waktu juga pernah mengucapkannya di jalur.

Di masa lalu, spesies Dinosaurus punah karena mereka tidak mampu berevolusi. Alam kita saat ini yang terletak di gunung juga dapat punah jika kita para Pendaki tidak segera berevolusi dan berinovasi. Mari kita coba evolusi sikap kita dan menerapkan inovasi sapaan kita di jalur. Apapun sapaan Saya dan Anda di jalur, coba mulai sekarang kita ganti kalimat, “Semangat yah…!!!” menjadi kalimat “Sampah yah…!!!”. Asyik bukan…???

Saya yakin kawan Pendaki tidak akan tersinggung dengan sapaan seperti itu, kecuali jika di tambahkan kata, “Bawa turun sampahnya, yah…!!!”. Terkesan memerintah dengan arogansi. Atau, “Tolong jangan lupa sampahnya dibawa turun, yah…!!!”. Terkesan menggurui. Ini hanya dua kata, “Sampah, yah…!!!”. Terkesan sebagai sapaan lucu yang bersahabat namun, dalam…..

Di satu sisi kita akan tertawa mendengar sapaan seperti itu di jalur. Kita menjadi happy dan bersahabat. Di sisi lainnya itulah wujud kepedulian kita bagi alam, untuk saling mengingatkan sesama Pendaki. Dan di sisi satu laginya kita sudah memenuhi apa yang telah diperintahkan oleh AYAT- AYAT PENDAKI tentang “serta saling berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran”.

Gunakan Hati Saat Mendaki
Salam Satu Jiwa…

* * * *  *
“Sampah yah…!!!”

Semoga jiwamu tercerahkan…

* B4MS *


* * * *  *




BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

No comments:

Post a Comment