By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #07
Sebenarnya
Saya tidak punya keahlian menulis sama sekali. Mengikuti kursus atau training
tentang cara menulis yang baik dan benar, satu kalipun Saya belum pernah
mengikutinya. Apa yang Saya tulis pada tulisan ini dan tulisan Saya yang
lainnya pun Saya rasakan hanya goresan hati dan pikiran biasa saja. Yaahh,,,
anggap saja sebagai sebuah diary.
Gunung Batok di sebelah Bromo, dini hari
Berawal dari
sebuah operasi SAR satu bulan sebelumnya di Hutan Muka Kuning Batam, dan karena
kecerobohan saya juga yang masuk hutan tengah malam, serta keteledoran Saya
sendiri berjalan dalam kegelapan di jalur yang basah dan licin, sehingga di
salah satu rintangan jalan, Saya melompati pohon tumbang yang melintang di tengah jalur, lalu
terpeleset dan,,,, kraaakkkk… Patahlah lengan kiri Saya. Maaf kawan,,, rasa
sakitnya tidak akan Saya ceritakan di sini. Namun pesan Saya, berhati- hatilah
kawan, di manapun anda melakukan kegiatan. Saya jamin anda tidak akan mau
merasakan rasa sakit yang Saya rasakan saat tulang lengan tersebut ditarik
untuk diluruskan di Sangkal Puntung, tanpa sedikitpun obat bius. Yaa,,, tanpa
obat bius.
Kecelakaan
yang Saya alami satu bulan sebelumnya tersebut pastinya membuat aktivitas Saya
terbatas. Melakukan semua rutinitas sehari- hari hanya dengan satu tangan saja
adalah sesuatu yang canggung untuk dilakukan. Gerakan Saya menjadi terbatas.
Hal- hal yang
dulunya Saya anggap ringan, sepele, seperti memakai baju dan lain sebagainya,
sekarang menjadi suatu pekerjaan yang lumayan berat dan susah untuk dilakukan.
Untung saja Saya bukan seorang yang kidal, jadi Alhamdulillah Saya masih dapat
melakukan hal- hal kecil lainnya, seperti menulis artikel- artikel ini dengan
hanya menggunakan Satu tangan saja. Juga please,,, jangan tanya bagaimana
rasanya mencumbu tuts- tuts di laptop hanya dengan satu tangan saja. Selain
waktu yang dibutuhkan menyelesaikan satu tulisan agar dapat anda baca lumayan
lama, rasa lelahnya juga hadir lebih cepat.
Tidak jarang
setelah tiga atau empat paragraph Saya harus berbaring dahulu untuk
beristirahat sembari meninggikan lengan kiri Saya yang masih dibalut pada tempat yang patah, agar lebih tinggi
dari jantung Saya untuk mengurangi bengkak yang ada di telapak tangan Saya. Sementara
itu, rasa nyut- nyutannya membuat ketidaknyamanan ini terus berlanjut. Hiks….
Saya berbaring
dulu yaahhh, ntar disambung lagi…. J
(2 jam
kemudian)
Maaf,,, Saya
ketiduran… Oh ya, Saya lupa informasikan, efek samping berbaring tersebut
membuat Saya kadang ketiduran beberapa saat. Sampai di mana kita tadi ? (sambil
membaca paragraph terakhir di atas).
Yah, begitulah
keadaannya. Setelah satu bulan berlalu dengan keterbatasan ini, tiba- tiba saja
beberapa visi atau kenangan- kenangan masa lalu berkelebat sepintas di depan
pelupuk mata Saya. Wujudnya seperti kilas balik kehidupan yang mendekat tiba-
tiba, dan Saya pikir,,, “Kenapa tidak Saya realisasikan saja dalam bentuk
tulisan sebelum penyakit pikun menghampiri Saya dan melenyapkan semua kenangan
tersebut?”.
Pertimbangan
lainnya adalah, Saat ini karena keterbatasan Saya, banyak waktu luang tersisa.
Mengapa tidak Saya gunakan saja untuk menulis guna “membunuh” waktu Saya?
Yups, “membunuh
waktu” , satu dari tiga slogan Para Pendaki jika mereka masuk ke hutan atau
mendaki gunung. Semuanya tentu sudah paham; “Jangan tinggalkan apapun di alam,
kecuali jejak kita. Jangan ambil apapun di alam, kecuali gambarnya. Jangan
bunuh apapun di alam, kecuali waktu kita”. Slogan yang indah… Kadang pernah
terpikir oleh Saya, “Siapa yang pertama kali merangkai slogan tersebut, yah?”.
Seperti cinta yang
mempunyai ayat- ayat cinta, bagi Saya Pendaki juga punya ayat- ayat pendaki. Saya
mengutip sedikit kalimat pada ayat suci, “Demi masa, sesungguhnya manusia
berada dalam kerugian. Kecuali yang beriman dan mengerjakan kebaikan, serta
saling berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan
kesabaran” (Q.S 103 :1-3).
Menurut hemat
Saya, konteks ayat ini sangat cocok menjadi ayat- ayat bagi para Pendaki. Coba
baca sekali lagi, kata per kata, serta penggalan kalimatnya…!
Membunuh waktu
di alam sebenarnya adalah merupakan suatu kiasan. Bagaimana bisa seseorang
mampu membunuh “waktu” yang tidak mempunyai wujud?. Hal ini tentu saja seperti
membunuh hantu atau menusuk angin.
Membunuh waktu
di sini bersinonim dengan, Pendaki seharusnya melakukan kegiatan yang berguna
selama melakukan pendakian. Apa saja yang berguna? Banyak kawan… Menanam pohon
(reboisasi), mengumpulkan sampah/ bersih gunung, membersihkan vandalisme, berdiskusi
tentang konservasi, dan yang lainnya. Bukankah hal- hal di atas adalah
“mengerjakan kebaikan” seperti yang tertulis di ayat suci?
“Serta saling
berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran”.
Ini juga
berlaku bagi Pendaki. Jika di jalur ataupun di camping ground anda melihat ada
Pendaki Bodoh yang merusak atau nyampah, sudah menjadi kewajiban anda untuk
memberikan nasehat agar hal tersebut dapat diperbaiki. Tentu saja nasehat
tersebut harus disampaikan secara baik dan “beradab” dengan penuh kesabaran.
Jangan didiamkan….! Karena jika anda mendiamkannya, anda baru saja “berkomplot”
dengan si penyampah dan merestui perbuatannya tersebut dengan diam.
Jika apa yang dijabarkan
di atas tidak mampu dilakukan oleh seorang Pendaki, itulah dia Pendaki yang
merugi, seperti yang disebutkan di ayat pertama di atas. “Demi masa,
sesungguhnya manusia (Pendaki) berada dalam kerugian”. Karena tidak ada
kebaikan yang dia bawa dan dia sebarkan selama dia melakukan pendakian. Jadi
tidak ada nilai ibadahnya. Yang dia dapatkan hanya rasa letih, haus, lapar dan ngantuk
serta foto yang akan habis nantinya dimakan waktu.
Saat berselisih jalan di jalur, biasanya kita
para Pendaki akan saling menyapa. Tak peduli betapa letihnya anda, anda akan
menyapa Pendaki yang berselisih jalan tersebut dengan bersahabat, karena memang
itulah “code of conduct” kita, persahabatan dan persaudaraan. Walaupun hanya
dengan tersenyum. Begitulah etikanya… Atau kini sudah berubah…???
Jika
berselisih jalan di jalur pendakian, biasanya Saya akan menyapa dengan kata-
kata, “Semangat yah…!!!”. Beberapa Pendaki lainnya yang berselisih jalan juga
sering menucapkan kata itu di jalur. Mungkin andapun suatu waktu juga pernah
mengucapkannya di jalur.
Di masa lalu,
spesies Dinosaurus punah karena mereka tidak mampu berevolusi. Alam kita saat
ini yang terletak di gunung juga dapat punah jika kita para Pendaki tidak
segera berevolusi dan berinovasi. Mari kita coba evolusi sikap kita dan
menerapkan inovasi sapaan kita di jalur. Apapun sapaan Saya dan Anda di jalur,
coba mulai sekarang kita ganti kalimat, “Semangat yah…!!!” menjadi kalimat
“Sampah yah…!!!”. Asyik bukan…???
Saya yakin
kawan Pendaki tidak akan tersinggung dengan sapaan seperti itu, kecuali jika di
tambahkan kata, “Bawa turun sampahnya, yah…!!!”. Terkesan memerintah dengan
arogansi. Atau, “Tolong jangan lupa sampahnya dibawa turun, yah…!!!”. Terkesan
menggurui. Ini hanya dua kata, “Sampah, yah…!!!”. Terkesan sebagai sapaan lucu
yang bersahabat namun, dalam…..
Di satu sisi
kita akan tertawa mendengar sapaan seperti itu di jalur. Kita menjadi happy dan
bersahabat. Di sisi lainnya itulah wujud kepedulian kita bagi alam, untuk
saling mengingatkan sesama Pendaki. Dan di sisi satu laginya kita sudah
memenuhi apa yang telah diperintahkan oleh AYAT- AYAT PENDAKI tentang “serta
saling berpesan (menasehati) untuk kebenaran dan saling menasehati dengan
kesabaran”.
Gunakan Hati
Saat Mendaki
Salam Satu
Jiwa…
* * * * *
“Sampah
yah…!!!”
Semoga jiwamu tercerahkan…
* B4MS *
* * * * *
No comments:
Post a Comment