True story
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #08
Berdiri di
elevasi 2.891 mdpl ini adalah untuk pertama kali Aku rasakan. Pagi ini di
seantero Sumatera Barat, Aku dan Abi adalah makhluk paling tinggi di provinsi
ini. Paling tidak untuk jangka waktu 30 menit ke depan.
Yah, Aku
berada di Puncak Gunung Marapi, gunung api tertinggi di Sumatera Barat. Butuh 4- 5 jam dari
Pintu Rimba menuju cadas gunung ini dan bermalam di batas vegetasinya, lalu
esok paginya Aku menghabiskan waktu 1 jam lamanya untuk perjalanan summit
attack-nya.
Oh ya, Aku
Raihan, dan baru pertama kali ini mendaki gunung. Umurku 9 Tahun dan masih
duduk di bangku esde. Pada dasarnya Aku suka kegiatan alam bebas, camping,
jelajah pulau, dan panjat tebing,. Bahkan untuk hobby yang terakhir itu, Aku
pernah mendapat medali perak di cabang Lead di Kejuaraan Daerah Panjat Tebing
kategori kelompok umur sebagai prestasiku.
Semuanya tidak
lepas dari pengaruh hobby dari Abi-ku. Beliau juga adalah penggiat alam bebas.
Hmmmm,,, untuk hobby-nya itu, Abi lebih suka disebut sebagai “Pencinta
Ketinggian”. Beliau tidak mau disebut sebagai “Pencinta Alam”, padahal dulunya
Abi pernah menjadi ketua salah satu Kelompok Pencinta Alam di kampungnya.
“Terlalu berat
untuk menjadi seorang Pencinta Alam, Nak. Menjadi seorang PA itu bukan hanya
kamu menanam pohon, tidak buang sampah sembarangan di gunung dan tidak corat-
coret di batu- batu hutan, Nak. Tapi hal itu juga harus kamu praktekan juga
pada hidup keseharianmu di kota, Nak”. Begitu alasan Abi sehingga beliau tidak
mau disebut sebagai Pencinta Alam.
Aku tertarik
mendaki ke Gunung Marapi ini juga karena cerita Abi. Abi bilang di Gunung
Marapi ada Bunga Edelweiss, bunga abadi katanya. Yang tidak pernah layu
walaupun tidak tumbuh ditanah, walaupun tidak ditaruh di air vas bunga. “Bunga
Edelweiss tersebut tumbuh liar berserakan di cadas Gunung Marapi dan di sepanjang jalur cadas ke puncak Gunung
Marapi”. Kata Abi.
Aku jadi
penasaran jadinya ingin melihat dan menyentuh seperti apa aslinya wujud bunga
tersebut, walaupun Aku sudah melihatnya di foto- foto Abi saat beliau mendaki gunung
di Pulau Jawa tahun lalu. Namun tadi pagi saat memulai pendakian dari Cadas
Gunung Marapi menuju ke puncak, tidak sebatangpun Bunga Edelweiss yang
terlihat.
Aku sudah
menanyakannya ke Abi saat kami di Cadas tadi, “Kenapa tidak ada Bunga Edelweiss
yang terlihat di sekitar campsite kita di batas vegetasi dan cadas ini, Abi ?. Mas
Raihan pingin tahu bagaimana bentuk asli Bunga Edelweiss”.
“Abi juga
heran, padahal 16 Tahun yang lalu saat Abi terakhir mendaki ke sini, Bunga
Edelweissnya masih banyak, berserakan di sekitar tempat kita mendirikan tenda
semalam. Sepertinya Bunga Edelweiss-nya pada diambilin semua oleh Pendaki yang
tidak bertanggung jawab, yang naik ke sini, nih….”. Jawab Abi.
“Ya, udah,,,
nanti jika kita ada rezeki lebih, kita naik ke Gunung Gede aja di Jawa. Di sana
ada hamparan Bunga Edelweiss yang luas, di Alun- alun Suryakencana”. Tambah Abi
untuk membujukku.
Jelas Aku
kecewa dalam pendakian ke Gunung Marapi ini. Impianku untuk melihat langsung
dan menyentuh langsung Bunga Edelweiss sirna sudah hanya karena ulah oknum
Pendaki yang tidak bertanggung jawab.
Di sini, pagi
ini, duduk di elevasi 2.891 mdpl, Aku hanya bisa berucap lirih kepada Abi. “Mas
Raihan benci Pendaki….”.
Awan yang ku
tatap di bawah kamipun semakin menggumpal. Ada belaian lembut di kepalaku.
Belaian tangan seorang Pendaki….
* * * * *
Gunung adalah museum
bagi pendaki, saat isinya menjadi kosong dan tidak ada yang tersisa lagi, maka
ia adalah plaza yang isinya telah diborong oleh pelanggan….
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
No comments:
Post a Comment