TULISAN INI AKAN MERUBAH PENDAKI
Jika setelah membaca tulisan ini anda tidak memperbaiki diri, bisa
jadi suatu malam yang membeku nanti, di dasar suatu jurang anda akan berteriak,
“Bams Nektar, Saya menyesal mengabaikan tulisan anda…!!!”. Dan sangat mungkin
itu adalah teriakan anda yang terakhir…
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #16
Sepanjang
pengalaman Saya dalam menjalani hobby mendaki gunung, memang tidak selalu
mulus. Tidak mulus dalam artian bahwa tidak “semua baik- baik saja”. Akan
menjadi suatu kebohongan jika Saya ungkapkan kepada saudara pendaki Saya di
grup ini bahwa semua pendakian atau ekspedisi yang Saya lakukan tidak ada
kendala sama sekali.
Kendala
tersebut puluhan, bahkan mungkin ratusan banyaknya. Mulai dari yang kecil
seperti kelupaan bawa sarung tangan, kehilangan senter, belum mengetahui
sulitnya jalur (buta jalur), dan lain sebagainya. Sampai kepada kendala yang
lumayan besar seperti teman satu team yang jatuh sakit atau kecelakaan.
Dari semua
kendala tersebut, tentunya ada yang akhirnya terlupakan dilumat sang waktu yang
sombong (by: Iwan Fals), namun ada juga yang mungkin tidak akan pernah
terlupakan sama sekali. Biasanya hal tersebut karena sifatnya memang krusial
dan berhubungan dengan keselamatan nyawa, yang membuat Saya mengambil pelajaran
dan harus memperbaikinya agar di depan tidak terjadi lagi hal semacam itu.
Satu
kebiasaan yang tercipta dari kendala tersebut, membuat Saya hari ini selalu
membawa peralatan survival kemanapun Saya pergi. Kejadian itu membuat Saya
menjadi ARTIS (Always Ready To Incident and Survive). Biasanya EDC (Every Day
Carrie) di dalam tas sandang Saya selalu tersedia sebilah pisau, peluit,
senter, water proof matches, alumunium blanket, Fire Starter dan kompas, atau jika membawa backpack, simple first aid
juga akan Saya bawa. Saya tidak merasa “aman” jika keluar rumah tanpa membawa
tools tersebut.
Kisah yang merubah kebiasaan Saya ini dimulai
puluhan tahun yang lalu, tepatnya 31 May 1997, di Gunung Tandikat atau disebut juga gunung Tandikek atau Tandikai yang membentang di dataran tinggi
Minangkabau Sumatra Barat, kira – kira 7.5 km dari kota Padang Panjang,
Gunung ini membentang lebar kearah selatan, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Danau Maninjau, salah satu danau yang terkenal di Sumatera Barat.
Sementara di sebelah utara gunung ini berdampingan dengan Gunung Singgalang,
dan sebelah timur merupakan gugusan volcanic Tersier yang sudah tua.
Tandikat juga merupakan bagian dari 3 puncak gunung di
Minangkabau yang dikenal dengan Puncak-puncak Tri Arga (yaitu Singgalang,
Marapi dan Tandikat).
Gunung Tandikat tidak terlalu tinggi, puncaknya
mencapai 2.438 mdpl, dan
mempunyai
pemandangan yang sangat indah sebagaimana layaknya sebuah gunung api. Istimewanya
di gunung ini, kita bisa turun ke dasar kawah gunung ini, di mana terdapat
beberapa lubang kecil kepundan yang mengeluarkan asap belerang serta berbunyi
menderu. Pada dasar kawah ini cukup luas dan bisa mendirikan tenda. Selain itu
juga terdapat telaga kecil tapi airnya berasa belerang.
Di
kawasan hutan lindung nya segala jenis hewan liar masih sangat mudah ditemui,
rangkong, simpai dan siamang akan senantiasa menyertai perjalan mendaki gunung
Tandikat, dan jika “beruntung”, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
yang saat ini diperkirakan berjumlah 400- 500 ekor, juga dapat kita jumpai.
Suatu Sabtu siang di 31 May 1997, dua orang pendaki
yang tidak Saya kenal datang ke tempat Saya kos untuk meminjam perlengkapan
mendaki atas rekomendasi teman pendaki lainnya,,, yang juga tidak Saya kenal,
nah loohhh…
Namun karena sesama pendaki itu bersaudara,
perlengkapannya Saya pinjamkan dengan catatan Saya boleh turut serta karena
Saya juga belum pernah mendaki ke sana. Jadilah siang itu kami bertiga langsung
berangkat ke target pendakian.
Sayangnya, setelah gelap tiba dan kami sudah tiga
per empat perjalanan mendaki ke puncak, ternyata kami tersesat. Senterpun tiba-
tiba berulah tidak bisa menyala. Betul- betul tersesat tanpa ada jalan dan di
sekeliling kami hanya ada gelapnya hutan belantara Sumatera tempat habitat
Harimau Sumatera berada.
Kepanikan tentu saja melanda Saya, apalagi setelah
Saya interogasi dua orang teman pendaki yang mengiringi Saya tersebut, ternyata
juga baru pertama kali ini ke Tandikat…. Ya Salam…. #tepuk jidat geleng-geleng
kepala.
Saat- saat menerobos hutan rimba yang rapat, tanah
gembur yang apabila diinjak maka kaki terbenam sampai ke paha, ranting yang penuh
onak berduri, tanpa bantuan cahaya, adalah saat- saat dramatis yang sulit untuk
dilupakan. Perasaan takut, khawatir dan dekat dengan kematian dan mungkin
sebentar lagi akan berjumpa dengan Tuhan, sulit untuk diabaikan. Melihat dan
menyentuh jejak Harimau di tanah basah, kemudian lari terbirit- birit sambil
ngos- ngosan juga merupakan pengalaman yang menegangkan.
Untukmu kawan, yang pernah menjadi Survivor, Saya
paham dan mengerti bagaimana kecamuk “rasa” itu.
Sejak kejadian tersebut, Saya bertekad untuk tetap selalu
siap sedia untuk keadaan kritis yang mengharuskan Saya survive. Survival tidak
harus selalu dilakukan di hutan. Di kotapun keadaan survival itu sangat mungkin
dapat kita jumpai. Terperangkap di gedung yang roboh karena gempa bumi ataupun
terjebak pada kecelakaan di mobil yang terjun ke jurang mungkin saja
diprediksi. Jadilah kemana- mana Saya seperti “paranoid” yang selalu ditemani
survival kit tersebut.
Luar biasanya, hal menyepelekan masalah survival ini
melekat hampir pada semua pendaki. Mungkin mereka berpikir, “Saya tidak
berencana untuk tersesat atau melakukan survival”. Saat itu Saya juga tidak
“berencana” untuk tersesat, tapi rencana Tuhan rupanya mendahului rencana Saya.
Jadilah akhirnya Saya menjalani rencana Tuhan terlebih dahulu.
Tersesat kok direncanakan… Justru karena kita tidak
berencana tersebutlah, kita harus bersiap diri. Pelajari materinya, lengkapi
peralatannya. Jika tiba- tiba terjadi kepada kita, setidaknya persentase
peluang untuk hidup kita lebih tinggi, dibandingkan jika kita tidak mempunyai
ilmu survival dan tidak mempunyai perlengkapan apapun. Benar..???
Mari kita kaji salah satu status di grup ini , Tanggal 28/05/2014, diposting oleh saudara
kita dengan nama FB Risal Suba.
“ Dapat dari status teman, foto
tidak dibagikan untuk melindungi privasi korban. melihat foto- fotonya membuat
Saya cukup merinding, kelopak mata kanan bagian bawah sobek, wajah memar dengan
kondisi tertidur terlentang di panas terik jalur puncak ke arcopodo.”
“
Must Read .... !!! Aku menemukan pendaki baru ini terjatuh ketika sedang
menuruni puncak Mahameru, kira- kira 120 meter dari puncak pada hari Sabtu
kemarin, Tanggal 24 mei 2014, pada jam 10.00 siang, dengan luka sobek di
kantung mata dan wajah memar- memar, dan kulit wajah hampir separo mengelupas
serta badan memar- memar juga. Dengan
tanpa persiapan air maupun logistik sedikitpun, dan untuk turun ke kalimati
tentu masih membutuhkan waktu sekitar 4 jam lebih dengan kondisi seperti ini. Mereka
berangkat dari kalimati hanya berbekal kamera... Dan tanpa peralatan P3K sama
sekali... Coba bayangkan deh !!! Beruntung mereka bertemu dengan rombongan
kita, karena kita adalah rombongan terakhir yang tengah turun dan penuh dengan
logistik serta obat- obatan dan peralatan P3K.
NB
: (1.) Kamera hanya untuk mengabadikan moment dan tentu saja kalo kita lapar,
kamera sudah tidak ada artinya.. !!! (2.) Jam 10 pagi di atas gunung itu sudah
teramat panas. (3.) Harap cek kembali barang bawaan ketika mau berangkat
seperti air mineral, logistik, P3K yang cukup untuk summit. (4.) Minta panduan
orang yang ahli biar kita aman di perjalanan. Just Info,
semoga bermanfaat”.
Percayalah
kawan, Saya sudah melihat foto- fotonya di grup pendaki lainnya, dan insiden
ini termasuk yang terparah. Parah dari luka- lukanya, parah karena Survivor
tidak punya fist aid kit, dan lebih parah lagi dia tertinggal sendiri oleh
kelompoknya di barisan paling belakang. Untung ada kelompok terakhir di
belakangnya. Seandainya kelompoknya adalah kelompok yang terakhir ? Dan dia
adalah orang yang terakhir di kelompok itu ? Jelas dia akan menjadi orang yang
pertama yang bikin panik isi satu gunung hari itu.
Tidak
salah dan memang benar pepatah yang menyebutkan, “Sedia payung sebelum hujan”,
dan juga Saya teringat sebuah adagium di kemiliteran yang berbunyi, “Lebih baik
mandi keringat pada saat latihan dari pada mandi darah pada saat pertempuran”.
Untuk
kasus- kasus pada kaum kita, kaum pendaki ini, adagium tersebut 1.000% berlaku.
Persiapan menentukan keselamatan nyawa kita di masa depan. Jargo-nya, “Prepare to day for survive tomorrow”. ( -
Bersiap hari ini untuk bertahan hidup di esok hari - )
Persiapkan
dirimu dari sekarang kawan, selagi sehat dan selagi sempat. Pelajari ilmunya,
perlengkapi peralatannya. Jika setelah membaca
tulisan ini anda tidak memperbaiki diri, bisa jadi di suatu malam yang membeku nanti,
di dasar suatu jurang anda akan berteriak, “Bams Nektar, Saya menyesal
mengabaikan tulisan anda…!!!”. Dan sangat mungkin itu adalah teriakan anda yang
terakhir…
* * * * *
Bukanlah spesies terkuat
yang dapat bertahan hidup, bukan juga spesies yang terpintar yang dapat
bertahan hidup. Yang mampu bertahan hidup adalah yang paling mampu beradaptasi
terhadap perubahan. ( - Charles Darwin - ).
Berubahlah
kawan, jika tidak berubah? Punah….
Semoga jiwamu
tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
untuk :
“GUNAKAN
HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment