By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #20
Satu malam sebelum memulai perjalanan
untuk pendakian, Saya biasanya akan melakukan re-check list kembali semua
barang ataupun peralatan yang akan dibawa selama pendakian. Check list tersebut
memang sengaja Saya tuliskan di selembar kertas, berurutan mulai dari peralatan
pendakian, perlengkapan pribadi, dan semua hal- hal kecil lainnya yang mungkin
nantinya Saya takutkan akan terlupakan.
Saya sengaja melakukan “ritual” re-check
list tersebut karena Saya menyadari bahwa sebagai insan , Saya juga tidak luput dari penyakit lupa.
Mungkin lupa tersebut timbul karena Saya terlalu bersemangat atau memang pernak-
pernik pendakian itu terlalu banyak, sehingga Saya menganggap perlu menyiapkan
satu dus besar untuk menempatkan dan menyimpannya setelah Saya menyelesaikan
satu perjalanan pendakian.
Di malam yang sama, saat berbaring dan
sebelum terlelap, Saya biasanya melakukan satu “ritual” lagi, yakni
menanggalkan semua embel- embel yang berhubungan dengan “rasa” yang melekat
pada alam bawah sadar Saya.
“Rasa” tersebut bisa berbentuk rasa
sombong merasa Saya lebih superior dari semua orang. Ritual ini harus selalu
Saya lakukan agar di pagi harinya saat Saya bersiap diri untuk melakukan
perjalanan, Saya keluar melewati pintu rumah sebagai seorang pendaki. Betul-
betul pyur sebagai seorang pendaki.
Mengapa Saya memilih waktu
sebelum tidur untuk menghipnotherapi diri Saya? Menurut salah seorang
hipnoterapis, Romy Rafael, waktu
yang tepat untuk mempengaruhi alam bawah sadar Anda adalah "Menjelang, dan
saat baru saja bangun dari tidur, karena saat kita bangun tidur, alam bawah
sadar masih dalam keadaan kosong sehingga informasi akan lebih mudah direkam di
otak. Menjelang tidur juga menjadi kondisi terbaik untuk alam bawah sadar dalam
merekam sesuatu, karena saat itu biasanya Anda merasa sangat relaks, lanjut
Romy”
Contoh sederhana adalah saat kita phobia atau takut pada
benda, hewan atau apapun. Pikiran alam bawah sadar dapat membereskan masalah
ini. Pembenahan yang dimulai dari alam bawah sadar akan menghasilkan pembenahan
pada alam sadar kita pula. Cara pembenahan
tak lain dari sugesti-sugesti positif dan mere-program pikiran alam bawah sadar
subyek.
Saya teringat
salah satu Hukum Pikiran,
yakni jika
sering mengatakan anak bodoh maka alam bawah sadar si anak akan memproses kata-
kata tersebut sehingga terjadi kebodohan yang sebenarnya pada anak tersebut.
“Bila kau berfikir akan menang, sebenarnya kau sudah menang”, itu
yang diajarkan oleh Nyoman Cantiasa yang tertulis di dalam buku Kopassus Untuk
Indonesia. Setiap
pikiran/ ide mengakibatkan suatu reaksi pada fisik kita. Jadi, berhati- hatilah
terhadap apa yang sedang anda pikirkan.
Dalam perjalanan Saya, pendaki sejati
banyak sekali Saya jumpai, pendaki asal jadi-pun juga lebih banyak Saya temui.
Membedakan mereka sangat mudah kawan, pendaki sejati dan berpengalaman biasanya
sikap mereka selalu merendah, tutur bahasanya halus, senang berbagi ilmu dan
pengalaman dan keakraban sangat mudah sekali terjalin dengan mereka. Sangat
berbeda dengan pendaki asal jadi yang tentu saja mempunyai sifat sebaliknya dan
penuh rasa curiga.
Saya yakin andapun pernah menjumpai dua
tipe pendaki yang Saya sebutkan di atas. Mulailah mengingat sejenak kawan,,,
kapan dan,,,, di mana ??? Mungkin anda ingat saat anda menyapa para pendaki di
stasiun kereta atau di terminal bus dan mereka berlagak acuh tak acuh penuh
rasa curiga hanya karena anda tidak membawa carrier ?. Atau mungkin anda ingat
saat anda membawa carrier sendirian di bandara serta menyapa serombongan
pendaki, dan mereka membalas sapaan anda dengan enggannya, seolah- olah mereka
menganggap anda ingin bergabung dan merepotkan grup mereka ?. Coba ingat lagi…
Efek ritual menanggalkan embel- embel pada
malam sebelum tidur tersebut, tentu saja juga termasuk ritual menanggalkan
orientasi Saya terhadap politik, kebangsaan, agama, ras, suku, domisili,
gender, bahasa dan segepok orientasi lainnya.
Hal ini sangat perlu Saya lakukan,
mengingat bahwa Saya akan masuk ke dalam satu dunia yang bebas dari segala
hiruk pikuk permasalahan tersebut, dan Saya tidak ingin segala orientasi tersebut
merusak perjalanan Saya, dan merusak jiwa pendaki Saya. Jadi, jika sudah berada
di hutan dan di gunung, pendaki di jalur adalah keluarga Saya, sahabat Saya,
saudara Saya. Tanpa memandang kasta mereka, jabatan mereka dan segala orientasi
mereka.
Saya akan mengesampingkan kebangsaan para
pendaki tersebut walaupun di luar sana pemerintah Negara mereka mungkin sedang
protes tentang penamaan kapal perang Indonesia yang tidak sesuai dengan selera
mereka. Saya juga akan mengesampingkan tentang pemerintah Negara mereka yang
mungkin sedang berusaha mengklaim reog dan tari pendet Indonesia untuk
dijadikan budaya asli mereka. Juga Saya akan mengesampingkan sikap Negara
mereka yang mungkin di luar sana sedang menghalau para pencari suaka yang tiba dengan
perahunya untuk dihalau masuk kembali ke dalam wilayah perairan Indonesia.
Bahkan Saya juga akan mengesampingkan tentang ulah pemerintah mereka yang
mungkin di luar sana sedang melakukan pengeboman di atas tanah palestina.
Apakah Saya mendukung segala macam ulah
pemerintah Negara mereka tersebut? Jawabannya dengan tegas, TIDAK… Jika
ditanyakan orientasi politik luar negeri Saya, jelas sekali Saya menentangnya
dan membela kedaulatan Negara Saya. Nasionalisme Saya sebagai pendaki tidak
perlu dipertanyakan lagi, bahkan sampai pada titik bahwa Saya tidak akan
membiarkan bendera Sang Merah Putih menyentuh tanah.
Namun saat para pendaki ini berada di hutan, di gunung, di alam, di
mana hal- hal tersebut mungkin saja juga bertentangan dengan jiwa dan keinginan
mereka. Jika Saya berjumpa dengan pendaki asal Israel, apakah Saya akan
langsung menghujatnya, memukulnya ? Mungkin saja dia juga menentang
pemerintahnya dalam pengeboman di tanah Palestina. Tidak sedikit juga warga
Yahudi yang menentang kekerasan tersebut. Sikap individu pendaki tidak sama
dengan sikap pemerintah mereka. Berfikirlah secara logis kawan.
Mari mengatur ulang mindset di otak dan
pikiran kita, bahwa sesama pendaki adalah saudara. Dan memang begitulah adanya
di alam. Saya mencoba membayangkan, jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap pendaki
lain di alam dan Saya adalah orang yang terdekat di tempat kejadian, lalu Saya
akan memberikan pertolongan, apakah sebelum memberikan pertolongan Saya akan
menanyakan dahulu dia dari Negara mana? Dia beragama apa? Apakah dia mendukung
Palestina merdeka? Etnisnya apa? Keburu tewaslah kawan itu…
Atau jika posisinya dibalik, Sayalah
yang membutuhkan pertolongan di gunung, tempat meminta pertolongan pertama kali
adalah pendaki yang terdekat posisinya dengan Saya, bukan? Sebelum Saya
ditolong, apakah Saya akan menanyakan terlebih dahulu dia sukunya apa? Apakah capres
yang dijagokannya sama dengan capres yang Saya jagokan? Trus jika dia tidak
satu partai dengan Saya maka Saya tidak mau ditolong oleh dia? Hadeeeehhhh,,,
keburu modar Saya….
Kawan,,, di alam, kita semua sama, kita
semua sederajat. Lepaskan orientasi kebangsaanmu sejenak di alam, jauhkan
sejenak pilihan politikmu di alam, lupakan sejenak semua itu. Mari melebur
seperti air, api, gula dan kopi di dalam satu nesting. Mari melebur bersama
alam, mari melebur bersama para PENDAKI…
Salam
satu jiwa
* * * * *
Politik
hanya akan mengkotak- kotakan kita ke dalam beberapa ruang. Bagaimana jiwa yang
bebas ini akan dapat terbang ?
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
untuk :
“GUNAKAN
HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment