Edisi lebaran … Pendaki
yang suka bawa tali harus baca…!
Adalah kebiasaan bagi kita yang beragama islam, saat
merayakan lebaran saling mengunjungi antara satu dengan yang lainnya. Saling
meminta dan memberi maaf untuk menyambung tali silahturahim antara sesama
muslim. Demikian juga yang terjadi di komplek tempat saya berdomisili.
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan seorang tamu
yang berlebaran ke kediaman saya. Seorang sahabat yang juga seorang pendaki,
yang bekerja dalam profesi yang tidak saya sebutkan di sini. Dalam percakapan
kami, sampailah pada titik di mana objek percakapan tersebut membahas masalah
pekerjaan.
Sahabat pendaki tersebut bercerita bahwa di dalam
pekerjaannya saat ini sangat sulit sekali untuk menghindari gratifikasi.
Melakukan inspeksi ke lapangan sebagai job desk nya dia saat ini akan selalu
berhubungan dengan yang namanya “amplop”. Isinya dengan jumlah yang bermacam-
macam. Jika kita tidak mau menerima amplop tersebut, maka kita akan dijauhi
oleh rekan- rekan sekerja. Dijuluki “Tuan sok suci” , diomongin macam- macam
oleh teman sejawat. Kondisi tersebut jelas saja bertentangan dengan hati
nuraninya yang ingin hidup tenang, bebas dari hal- hal kotor semacam itu. Dia
bilang , “Dengan tidak melakukan hal- hal kotor semacam itu saja, Saya sudah
sangat khawatir bagaimana kondisi Saya saat dihisab nanti di pengadilan Allah.
Bagaimana lagi nantinya ditambah dengan masalah yang akan ditimbulkan oleh
amplop- amplop yang tidak jelas itu”.
“Jadi, Bams,,, tolong bantu Saya, mungkin ada jalan
keluarnya untuk masalah ini”, demikian ucapnya dengan wajah yang serius.
Saya sesaat terdiam, terus terang Saya tidak punya solusi
untuk pertanyaan mendadak ini, yang juga berhubungan dengan karir serta penghasilan
teman tersebut. Pikiran Saya malah berkelebat ke masa lalu saat Saya juga
pernah mengikuti ujian masuk untuk menjadi seorang pegawai – untuk bidang
profesi yang tidak saya sebutkan di sini guna menghormati profesi yang mungkin
sahabat pendaki yang ada di grup ini juga menekuninya – namun saya tidak lulus
dalam ujian tersebut.
Saat itu saya berpikir, apakah saya terlalu bodoh? Ah,
IPK Saya 3,53 dengan predikat kelulusan nyaris cum laude. Yang lulus malah
orang yang IPK-nya masih jauh di bawah saya. Mungkin gak yah, yang lulus itu
adalah titipan dari anggota pejabat periode saat itu, atau membawa “surat
sakti” dari salah satu keluarganya yang saat itu menjadi salah satu pejabat di
suatu instansi? Atau mungkin hanya
karena faktor nasib belaka ?
Itu yang ada di pikiran saya saat itu. Namun saat ini saya
betul- betul paham, bahwa garis hidup itu memang sudah ditakdirkan harus saya
jalani dengan satu hikmah saja, yakni Allah memasukan saya ke dalam golongan
orang- orang yang dijagaNYA. Allah menjauhkan saya dari hal- hal yang buruk,
agar saya tidak bersinggungan dengan praktek pungli, dan diminimalisir dari
masalah amplop di bawah meja, serta hal- hal buruk lainnya yang mungkin terbuka
peluang itu dengan sangat luas di depan saya. Dan Saya berbahagia karena saya telah dijaga untuk hal
tersebut.
Tiba- tiba…. Cling…. Satu cerita dari pendakian muncul di
kepala saya untuk menjawab persoalan yang diceritakan oleh sahabat pendaki saya
yang sedang bertamu tersebut. Kira- kira ini yang saya sampaikan.
Seorang pendaki gunung nan gagah berani mendaki sendirian
ke puncak gunung yang sangat tinggi. Di tengah pendakiannya tiba-tiba kabut
tebal menutupi jarak pandangnya, ia berjalan dengan sangat hati- hati. Namun
itu tidak cukup aman, satu langkah yang salah dan dia terperosok ke satu jurang
sempit di jalur pendakiannya, terguling dan melayang jatuh ke dasar jurang yang
dalam dan gelap gulita.
Setelah sempat pingsan, dia tersadar sedang bergantung
pada tali yang mengikat pinggangnya. Hal pertama yang dia ingat adalah untuk
memohon pertolongan kepada Tuhannya.
Dengan badan yang masih lemah dan tidak menyadari entah
berapa lama dia telah pingsan, dia berdo’a lirih “…Ya Rabb-ku, tolonglah aku…”
Kemudian dia tertidur lagi dengan lunglai. Di dalam tidurnya dia bermimpi, Yang Maha Penolong ‘berkata’ dengan penuh kasih sayang kepadanya : “…Apakah engkau yakin Aku bisa menolongmu…?”.
Si pendaki gunung langsung terbangun dan menjawab : “…Ya
Rabb, aku yakin Engkaulah yang bisa menolongku…”, kemudian setelah beberapa
lama menunggu, namun pertolongan belum datang, dia tertidur kembali dengan
lunglai.
Mimpi yang kedua, Yang Maha Penolong datang lagi dan
berkata : “Kalau begitu,
potonglah talimu…!”. Sang pendaki langsung terbangun dan berkata : “…Potong tali…?” , sambil seolah mempertanyakan petunjuk dalam mimpinya.
potonglah talimu…!”. Sang pendaki langsung terbangun dan berkata : “…Potong tali…?” , sambil seolah mempertanyakan petunjuk dalam mimpinya.
Dia melihat kanan-kiri, atas dan bawah – semuanya gelap,
dia tidak bisa melihat apa-apa. Dia bingung dan lelah, kemudian tertidur lagi.
Mimpi yang ketiga hadir kembali. Hal yang sama :
“…Potonglah talimu…!”. Lagi-lagi dia
terbangun dan bertanya kembali : “…Masak potong tali sih…?”. Dia kembali melihat sekitarnya yang tetap gelap. Dia tetap tidak dapat melihat apa-apa.
terbangun dan bertanya kembali : “…Masak potong tali sih…?”. Dia kembali melihat sekitarnya yang tetap gelap. Dia tetap tidak dapat melihat apa-apa.
Dan dia tertidur lagi…
Mimpi yang keempat. Kali ini dengan nada perintah yang
lebih jelas dan lebih keras : “…POTONG TALIMU…!!!”. Sang pendaki-pun tersentak
kaget dan terbangun, tetapi
dilihatnya kanan- kiri, atas- bawah tetap gelap dan dia tidak melihat apa-apa. Dalam
kegalauan dan kelelahan yang luar biasa dia tertidur lagi. Kali ini dia tertidur untuk selamanya dan tidak terbangun lagi – MATI -.
dilihatnya kanan- kiri, atas- bawah tetap gelap dan dia tidak melihat apa-apa. Dalam
kegalauan dan kelelahan yang luar biasa dia tertidur lagi. Kali ini dia tertidur untuk selamanya dan tidak terbangun lagi – MATI -.
Setelah pencarian beberapa hari, tim SAR akhirnya menemukan
mayat sang pendaki gunung ini, terikat di pinggangnya – dengan kaki menggantung
hanya satu meter dari permukaan tanah ! -.
“Nah, teman, saran saya adalah “Potong Talinya”. Secara
kasarnya, berhenti dari pekerjaan yang sekarang, cari pekerjaan yang lebih
membuat kamu tentram dan bisa tenang dengan bathinmu”.
“Wah, itu terlalu berat, Bams. Terlalu ekstrim. Pekerjaan
ini gajinya bagus, lagipula saya sudah berkeluarga, mencari profesi yang
lainnya belum tentu mendapatkan penghasilan yang lebih atau paling kurang sama
dengan yang sekarang”, jawab teman tersebut.
“Yah, jika demikian, kamu akan selalu berkutat dengan
masalah batin mu, ketentraman jiwa mu dan dibayang- bayangi terus dengan
masalah beratnya hisab pada Hari Pembalasan nanti. Jawabanmu itu juga akan sama
dengan yang dilemparkan oleh rentenir, pencuri, PSK, perampok, dan pencopet,
dan profesi kotor lainnya. Saat rentenir, pencuri, perampok dan pencopet diberikan
solusi untuk menjadi pemotong rumput, juru parkir atau tukang angkut barang di
pasar, jawabannya juga begitu. Saat PSK diberikan solusi untuk beralih profesi
menjadi tukang cuci, atau tukang gosok baju, atau asisten rumah tangga,
jawabannya juga begitu. Padahal itu semua adalah pekerjaan yang halal. Jadi apa
bedanya profesi kamu saat ini dengan profesi pencuri, perampok dan PSK?”, Tanya
saya lagi kepada teman tersebut.
Itulah gambaran percakapan saya dengan teman saya, dan inilah
juga gambaran dari rata- rata kehidupan kita di luar sana. Bila ditanya siapa
yang memberi rezeki, akan langsung menjawab bahwa Allah-lah sang Pemberi Rezeki
itu – tetapi pekerjaannya yang bergelimang dengan riba, korupsi, nepotisme dan
sejenisnya tidak dapat ditinggalkan.
POTONGLAH TALIMU…!”. Jadikan hanya kepada Allah saja
“tali” tempat kita bergantung.
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * *
*
Minal
aidin wal faidzin buat semua sahabat pendaki saya di manapun berada …. Mohon
maaf lahir dan bathin…..
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
No comments:
Post a Comment