Pendaki yang peka pasti baca tulisan ini.
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #44
Bawa… nggak..? bawa… nggak, ya..?
Bimbang sangat di hati ini untuk membawa hanya sekedar webbing, jalinan tali
tipis double layer berwarna hijau kusam sepanjang empat meter. Di beberapa
sisinya bahkan ada noda bekas cat, tanda kecil bahwa webbing ini sudah babak
belur digunakan dalam banyak kegiatan. Tapi, ini khan Cuma bukit? Pastinya juga
gak tinggi- tinggi amat. Ah, bawa sajalah. Barangkali dibutuhkan nantinya.
Akhirnya terbawa di dalam daypack merk dalam negeri berwarna hijau Saya…
Kira- kira, begitulah kebimbangan yang saya rasakan di dalam hati saat akan memutuskan akan membawa webbing atau tidak
dalam trekking ke Bukit Tabur di Selangor, Malaysia, medio Desember 2015 yang
lalu. Biasanya memang Saya tidak pernah membawa webbing di dalam perjalanan-
perjalanan Saya sebelumnya.
Bukit Tabur Cuma 446 mdpl
ketinggiannya. Bukit ini didominasi oleh bebatuan quartz (kwarsa) yang rapuh, tajam serta terjal.
Bahkan jari tangan teman seperjalanan Saya dari Malaysia sempat terluka karena tajamnya bebatuan ini. Di beberapa
tempat, kemiringan tebing yang harus dirayapi ada yang mencapai 80 derajat.
Sebagai gambaran parahnya trek ini, saat pagi itu kami memulai pendakian di
jalur barat, didapat khabar dari pengunjung yang berselisih jalan, bahwa satu
orang trekker ditemukan tewas terjatuh ke jurang beberapa saat lalu di jalur
timur.
Ada sekitar lima puncak di atas bukit
yang berbentuk memanjang ini dengan view yang saya ibaratkan seperti sekeping
mata uang. Saat kita berada di tengah jalur trekking di punggungan bukit, di
sebelah kiri kita akan disuguhi pemandangan Kota Kuala Lumpur dan di sebelah
kanan kita disuguhi pemandangan hutan dan telaga. Seoalah- olah Bukit Tabur ini
adalah pinggiran sisi “mata uang” yang memisahkan antara dua lokasi yang yang
kontras. Kota dan hutan.
Mencapai puncak pertama Bukit Tabur,
jalur mulai meluncur curam ke sebuah jurang dangkal yang mengharuskan kami
melewatinya dengan berpegangan ke batu- batu dan sedikit ranting pepohonan.
Bang Agung, teman seperjalanan Saya dari Batam, tiba- tiba diam tidak bergerak
dalam posisi seolah- olah terpaku ditempatnya merangkak. Mungkin ada sekitar 10
s.d. 15 menit si Bang Agung tetap diam dalam posisi tersebut. Keringat
bercucuran dari dahinya, berkilauan disinari matahari yang mulai terik di pagi
itu.
Saya tidak menyadari ada sesuatu yang
salah, sampai pada suatu ketika Bang Agung menatap saya yang sudah berada di
seberang sambil bertanya, “Bams, ada bawa tali, gak?”
“Kenapa Bang? Ada masalah?” Jawab
Saya. Bang Agung membenarkan posisi duduknya. “Saya entah kenapa gamang melihat
ke bawah jurang ini. Jika tidak ada tali, Saya balik turun saja ke jalur yang
sudah dilewati” Sahut Bang Agung.
Wah, Bang Agung ternyata menemukan
phobia ketinggiannya di jalur ini. Saya segera menurunkan daypack di punggung, merogoh
dalam- dalam ke saku samping daypack tersebut untuk menemukan webbing yang – saya ragu – apakah terbawa atau tidak. Nah, tidak ditemukan ! Coba merogoh ke
saku daypack lainnya. Hasilnya sama. Tidak ditemukan ! Barangkali di dalam
daypack-nya, di bagian paling bawah. Nasib baik, ternyata webbing tersebut dapat
ditemukan di dasar terdalam daypack Saya.
Berbekal webbing lusuh itulah perjalanan
untuk melawan phobia ketinggian Bang Agung berlanjut. Masih ada empat puncak
ekstrim lagi yang harus diselesaikan. Endingnya? Kolaborasi webbing lusuh,
phobia dan semangat seorang pendaki, serta beberapa kerat wafer coklat, jalur yang biasanya dapat diselesaikan dalam
tiga jam, kini mendapat kemajuan dalam penyelesaiannya, yakni tujuh jam saja.
Catet yah… Tujuh jam saja :D
Saya sendiri mengambil pelajaran dari
momen ini. Benda lusuh yang usang dan tadinya tidak ingin dibawa pergi piknik
ke luar negeri, justru menjadi penentu keberhasilan seorang pendaki untuk
menyelesaikan trek jalurnya. Lusuh, tidak ingin dibawa, dianggap tidak berguna,
dilupakan. Tapi akhirnya berjasa !
Sahabat, hal ini mungkin saja dapat
terjadi di dalam kehidupan dan perjalanan sahabat pendaki semua. Kadang- kadang
“firasat” yang sekilas melintas di dalam hati harus mendapatkan perhatian
lebih. Firasat tersebut muncul dari getar- getar gelombang bawah sadar kita
tentang apa yang nantinya akan kita lalui di depan kita. Sebut saja “kode
alam”.
Dalam bahasa lain saya juga
menggambarkan frase di atas; Lusuh, tidak ingin dibawa, dianggap tidak berguna,
dilupakan. Mungkin saja dapat terjadi kepada kita. Abaikan saja, dan teruslah
untuk tetap berkarya.
Tetap istiqamah sebagai pendaki yah… J
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Lusuh,
tidak ingin dibawa, dianggap tidak berguna, dilupakan. Tetap berkarya !
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
:
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment