Apakah pendaki tidak boleh modis?
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #45
Pagi ini Saya “disentil” oleh saudara
pendaki Saya dengan nama FB Boris Kaboa. Bangun pagi- pagi sudah ada mention di
account Saya tentang mengapa artikel Saya gak muncul- muncul lagi di beranda
grup #PI ? Plak…, mention tersebut serasa “menampar” di pipi. Seolah- olah Saya
diingatkan lagi, bahwa “Bams, kamu tuh pendaki, bukan penyelam !”. Padahal
seingat Saya, baru dua bulan Saya tidak menulis untuk para pendaki. Hmm,
Februari yang lalu jika tidak salah Saya terakhir “setor” tulisan di grup ini
#buka grup file…
Begini nih, efek tinggal di daerah
kepulauan yang gak ada gunung di sekitar tempat tinggal Saya. Paling banter
juga Cuma naik bukit, terabas hutan buat bikin jalur trekking guna memuaskan
hasrat “maen” di semak- semak. Akhirnya pelarian dari semuanya, ya, main ke
pulau- pulau, pantai, ombak, sinar matahari yang menyengat, dan – sedikit
- tebar pesona ke janda- janda kembang
di pulau. Halaaah, modus…
Karena Saya sudah “ditegur”, Saya
buruin pagi ini nulis sedikit cerita yang mudah- mudahan dapat berguna bagi
sahabat Saya, para pendaki di Indonesia yang cakep- cakep. Kenapa diburuin?
Iya, account whatsapp Saya sudah meraung- raung dicolek sahabat lainnya untuk
buruan ke Pelabuhan Internasional Batam Centre. Ups…, lupa. Harus berangkat ke
Singapura pagi ini, intip- intip galerinya petzl di sana. Bakalan ngeces deh
ntar di sana. #ngelus-ngelus dompet tipis.
Sambil menunggu sahabat Saya lagi nego
bisnis di lantai 10 Harbour Front Singapura, di lobby floor Saya sambung cerita
tentang kita. Cerita tentang pendaki.
Pertengahan Mei 2015 yang
lalu, sebelum mendaki ke Gunung Kerinci berdua saja dengan Mas Raihan, - kisah
dengan Mas Raihan dapat dibaca di sini – https://www.facebook.com/groups/pendaki/permalink/10152926795877055/
-
kami mulai dengan trekking pembukaan
di Danau Kaco, sekitar 40 Km dari Sungai Penuh, Ibu Kota Kabupaten Kerinci.
Hutan yang lembab serta jalanan yang
becek, tentu saja membuat sepatu kami seperti ban mobil off road dengan
tampilan aksesoris lumpur di mana- mana, plus basah karena memang harus
menghadapi hujan di akhir trek kembali menuju desa terakhir.
Atas saran seorang sahabat yang
menjadi guide kami, terbelilah dua pasang sepatu bot sebagai pengganti sepatu
untuk menemani naik ke Gunung Kerinci dua hari berikutnya. Ada dua pertimbangan
bagi Saya untuk membeli sepatu bot ini. Pertama, sepatu trekking yang kami
punyai tidak mungkin akan kering dalam dua hari mendatang karena butuh satu
hari untuk mencuci dan membersihkannya. Lagian dengan cuaca yang lebih banyak
mendung di Kerinci, sepertinya sepatu tersebut juga tidak akan kering untuk dua
hari ke depan. Kedua, medan trekking Gunung Kerinci di musim penghujan sudah
pernah menjadi mimpi buruk bagi Saya untuk “kapok” naik ke Gunung Kerinci
kembali. Seperti kubangan kerbau… Pilihan sepatu bot yang biasa digunakan oleh
pak tani lebih masuk akal. Selain dapat kering dengan cepat, juga melindungi
kaki lebih tinggi lagi, sampai ke batas lutut.
Prediksi tersebut ternyata terbukti.
Saat kami menginjakan kaki di Shelter Satu Gunung Kerinci, hujan deras-pun
hadir selebat- lebatnya, sehingga mengharuskan kami mengambil jeda pendakian
beberapa saat. Momen setelah hujan redapun menjadi mimpi buruk yang tersa
terulang kembali bagi Saya. Licin, dingin, dan tentu saja seperti kubangan
kerbau.
Menuju Shelter Tiga Gunung Kerinci,
kami mendapatkan sahabat seperjalanan. Tujuh orang pendaki- pendaki yang baik
hati dari Kota Kerinci dan Kota Padang.
Saat summit attack keesokan paginya
bersama para sahabat pendaki dari Kerinci dan Padang tersebut, sampailah kami
di suatu lokasi yang biasa disebut Batu Gantung oleh para pendaki yang biasa
naik ke Gunung Kerinci. Sebuah batu cadas yang agak besar, terletak di sebelah
kanan jalur track dari Shelter Tiga menuju Tugu Yudha. Kami beristirahat di
lokasi ini.
Sambil ngobrol, sahabat pendaki dari
Padang berbicara menggunakan Bahasa Minang dengan temannya, kira- kira
obrolannya seperti ini, “Caliaklah urangtu, lamak bana nyo pakai sapatu bot
tinggi untuak naiak ka gunuang. Indak tagalincia model awak. Kok ka kumuah
mudah dibarasiahkan. Capek lo kariang kalau basah. Indak model awak do. Banyak
bana gaya ka naiak gunuang. Pakai sapatu rancak- rancak, jalur jo cuaca parah
lo model iko. Mandarito awak jadinyo”.
Jika anda, Sahabat #PI sudah
menggunakan FB versi terbaru, yang telah ter-up date, maka anda sudah dapat
membaca terjemahan Bahasa Minang di atas pada paragraph di bawah ini… :D
“Lihatlah orang itu, enak benar mereka
memakai sepatu bot tinggi untuk naik ke gunung. Tidak mudah tergelincir seperti
yang kita alami.Jika kotor akan mudah dibersihkan. Cepat pula kering jika
basah. Tidak seperti kita. Banyak gaya jika naik gunung. Pakai sepatu bagus,
jalur dan cuaca parah pula seperti saat ini. Menderita kita jadinya”.
Mereka ngobrol dengan santainya
seolah- olah Saya tidak mengerti Bahasa Minang. Padahal Saya kadang kala mimpi
saja sudah memakai Bahasa Minang, karena memang Bahasa Ibu Saya adalah Bahasa
Minang. Saya hanya tersenyum saja mendengar obrolan mereka.
Pada satu sisi, Saya bersyukur bahwa
ternyata mendaki dengan menggunakan sepatu bot bukan dianggap kampungan. Di
sisi lain Saya ikut bersedih atas derita yang dialami sahabat pendaki tersebut
yang kedinginan karena memang sepatu mereka basah kuyup sisa hujan semalam.
Memakai sepatu bot bukan berarti anda
ndeso lho sahabat. Bahkan di saat yang tepat fungsinya akan sangat terasa
menguntungkan dan memudahkan pendakian. Jadi makin hormat ke pak tani yang
selalu menggunakan sepatu bot. Nah, jika mendaki dalam masa musim hujan, gak
salah jika sahabat membawa sepatu bot sebagai sepatu cadangan untuk digunakan
saat hujan turun di jalur yang basah dan becek gak ada ojek :D
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Peralatan
yang bagus adalah peralatan yang sesuai dengan keadaan (Bams).
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
:
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment