Apa yang akan terjadi setelah 100 hari jika anda mati di
gunung?
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #47
Tulisan ini sebenarnya menyambung tulisan
terakhir saya beberapa waktu yang lalu di blog ini juga.
Apa yang akan terjadi dalam 100 hari
jika seandainya saya mati di gunung, baik jika jenazah saya tidak pernah
ditemukan, atau jenazah saya ditemukan?
Di tulisan ini saya akan
merekonstruksi, kira- kira apa saja yang akan terjadi kepada jenazah saya,
keluarga saya, sahabat- sahabat saya, gear saya, dan dunia kependakian yang
telah saya rasakan. Hiks… Tisu, mana tisu ?
Jika jenazah saya tidak pernah
ditemukan, barangkali ini yang telah terjadi kepada jenazah Sang Pendaki ini. Jatuh
di jurang, sehingga beberapa tulang patah, mungkin kepala retak atau pecah,
atau juga tertusuk kayu yang runcing, yang menjadi penyebab kematian. Mungkin
juga diterkam harimau Sumatera, atau macan kumbang Jawa, dipatuk ular atau
disengat tawon, bisa juga dibunuh oleh perompak gunung dan jenazah saya dibuang
begitu saja tanpa penghormatan sama sekali di jurang terjauh. Siapa yang tahu?
Jika jenazah saya ditemukan atau ada,
kondisinya mungkin lebih “beruntung”, bisa utuh atau tidak utuh sama sekali,
karena sebagiannya sudah ada di dalam perut harimau Sumatera. Sebagai
informasi, tubuh kita akan terurai di alam, baik itu dikuburkan di dalam tanah,
atau terbaring begitu saja di permukaan tanah.
Kira- kira gambarannya secara medis
begini ya sob…
Sesaat
sebelum mati, jantung saya berhenti berdetak, nafas saya tertahan dan badan saya
bergetar. Saya mungkin merasa dingin di telinga. Darah saya berubah menjadi
asam dan tenggorokan sayapun berkontraksi.
0
Menit
Kematian
secara medis terjadi ketika otak saya kehabisan suplai oksigen.
1
Menit
Darah
berubah warna dan otot kehilangan kontraksi, isi kantung kemih keluar tanpa
izin.
3
Menit
Sel-sel
otak tewas secara masal. Saat ini otak benar-benar berhenti berpikir.
4 -
5 Menit
Pupil
mata membesar dan berselaput. Bola mata mengkerut karena kehilangan tekanan
darah.
7 -
9 Menit
Penghubung
ke otak mulai mati.
1 -
4 Jam
Rigor
Mortis (Fase Dimana keseluruhan otot di tubuh menjadi kaku) membuat otot kaku
dan rambut berdiri, kesannya rambut tetap tumbuh setelah mati.
4 -
6 Jam
Rigor
Mortis (Fase Dimana keseluruhan otot di tubuh menjadi kaku) terus beraksi.
Darah yang berkumpul lalu mati dan warna kulit menghitam.
6
Jam
Otot
masih berkontraksi. Proses penghancuran, seperti efek alkohol yang masih terus berjalan.
8
Jam
Suhu
tubuh langsung menurun drastis.
24 -
72 Jam
Isi
perut membusuk oleh mikroba dan pankreas mulai mencerna dirinya sendiri.
36
- 48 Jam
Rigor
Mortis (Fase Dimana keseluruhan otot di tubuh menjadi kaku) berhenti, Tubuh saya
selentur penari balerina.
3 -
5 Hari
Pembusukan
mengakibatkan luka skala besar, darah menetes keluar dari mulut dan hidung.
8 -
10 Hari
Warna
tubuh saya akan berubah dari hijau ke merah sejalan dengan membusuknya darah.
Beberapa
Minggu
Rambut,
Kuku, Dan Gigi saya dengan mudahnya terlepas.
Satu
Bulan
Kulit
saya mulai lumer, mencair.
Satu
Tahun
Selain
tulang-belulang tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh saya. Saya yang sewaktu hidupnya,
gagah perkasa dengan urat otot menonjol mantan atlet panjat tebing, ganteng
rupawan dengan scarf kuning melilit di kepala seperti foto PP di account Fb
saya, bisa jadi kaya dan sangat berkuasa – ngarep -, sekarang hanyalah tumpukan
tulang- belulang yang menyedihkan.
Hancurnya
jenazah saya mungkin akan sedikit mundur atau jenazah saya akan terawetkan
dengan baik jika ternyata saya wafat di trek ke puncak Everest. Bisa saja
jenazah saya dijadikan tanda jalur di kemudian hari oleh para pendaki lainnya
atau paling parah, teman untuk berselfi – dengan mayat – tentunya.
Jika jenazah saya ada, sesuai dengan
syariat kepercayaan yang saya anut, saya akan dimandikan. Yang memandikan bisa
saja kawan seperjalanan, atau team medis, atau petugas rumah sakit. Setelah itu
saya akan langsung dikuburkan, bisa jadi di jalur pendakian, atau di pekuburan
umum di daerah terdekat dengan nisan kayu papan yang enam bulan kemudian
mungkin sudah hancur dimakan rayap. Jika lebih “beruntung”, mungkin, ini
mungkin yah… anak- anak saya yang masih mungil ikut memandikan saya, jenazah
abbi mereka di atas pangkuan mereka sambil berurai air mata, bahkan si keenan
yang baru berumur dua tahunan belum tahu kalau abbi-nya tidur untuk selama-
lamanya, dia sambil memangku kaki saya mungkin asik bermain air untuk
memandikan jenazah saya, seperti dia biasa asik bermain air hujan.
Jika keluarga atau orang tua saya
bersikeras bahwa jenazah saya harus dikirimkan ke Batam atau ke kampung halaman
saya di Kerinci, maka setelah dimandikan, saya akan diformalin, dibungkus kain
kafan, lalu selembar plastic lagi sebagai pembungkus terluar. Setelah itu saya
akan dimasukan ke dalam peti mati warna coklat berpelitur indah mengkilap. Pada
tahap ini saya sudah dihitung sama dengan barang lainnya, ditimbang dan
dihargai sekitar Rp. 29.000,- per Kg- nya, lalu dikirim dengan skala prioritas
ke alamat yang tercantum di depan peti mati dengan lampiran copy surat
kematian, surat keterangan sudah diformalin, dan surat bebas karantina.
Alunan serine ambulan akan menjadi
music pengiring saya saat saya dijemput di bandara. Namun, saat ini sedikit
berbeda. Yang biasanya saya dijemput di terminal kedatangan, sekarang saya
dijemput di terminal cargo air port untuk kedatangan barang.
Sesampainya di rumah, tenda dan kursi
untuk pelayat sudah terpasang. Demikian juga bendera putih di simpang jalan.
Keluarga saya akan menangis seperti yang biasa kita lihat di sinetron, mungkin
beberapa sahabat juga menitikan air mata – entahlah - , lalu saya akan dibawa
ke masjid terdekat untuk dishalatkan kembali.
Setelah dishalatkan, saya akan dibawa
ke perkuburan umum di mana lubang ukuran 1 x 2 sudah menunggu menganga. Saya
diturunkan ke liang lahat di mana sudah ada empat orang yang menunggu di
dalamnya. Memiringkan jenazah saya, membuka kain kafan muka dan kaki saya, lalu
mungkin anak tertua saya akan mengumandangkan azan. Papan- papan pembatas –
barzakh – ditutupkan miring di atas saya, lalu tanah sedikit demi sedikit
menutupi liang sampai akhirnya liang tersebut penuh dan membentuk sebuah
gundukan. Terakhir, gundukan tersebut di hiasi papan nisan kayu tertulis nama
saya, tanggal lahir dan tanggal kematian saya, dan diperindah dengan siraman
air serta tebaran berbagai macam bunga.
Beberapa orang mungkin saja menangis
di saat itu, mungkin juga ada yang hanya diam mengingat kenangan kebersamaannya
bersama saya. Namun pada akhirnya semua akan meninggalkan saya 2 meter di bawah
kaki mereka. Yang ada setelah itu keheningan yang nyata dan rasa cemas saya
yang akan menghadapi pertanyaan dari malaikat kubur.
Tiga malam berturut- turut lantunan
surah Yaa siin akan mengalun di rumah saya. Ucapan belasungkawa mungkin juga
membanjiri account FB saya dengan sad reacted (reaksi sedih), tebakan saya sih,
jumlahnya paling banyak 300an, 10 persen dari total teman- teman dunia maya
saya. Setelah itu account FB tersebut akan fakum…
Ada juga mungkin tradisi tujuh harian
dengan membaca surah yaa siin di rumah saya. Beberapa sahabat datang, namun
banyak di antara mereka tidak sempat karena kesibukan, Cuma menyatakan maaf di
grup FB atau grup whatsapp. Beberapa gear saya mungkin akan dibagikan oleh
istri saya ke sahabat yang sempat hadir sebagai kenang- kenangan. Scraf merah
dan carrier deutter 26L warna biru buat si A, scraf hijau dan carrier consina
50L warna merah buat si B, carrabiner orange dan pisau trekking buat si C, dan
seterusnya sampai tersisa beberapa barang kenangan buat disimpan sendiri oleh
istri saya.
Setelah tujuh hari, sahabat saya akan
mulai melupakan saya, beberapa mungkin masih mengingat saya dalam bentuk yang
sangat samar. Bahkan mereka mengingat saya sambil berkelakar, setelah itu
tertawa bersama mengingat hal- hal lucu atau tolol yang mungkin pernah saya
lakukan.
Memasuki hari ke 30 sampai hari ke 40
kematian saya, mungkin ada sedikit acara doa di rumah saya. Keluarga sudah
tidak sesedih semula dan sudah mulai bisa menerima ketiadaan saya. Sahabat?
Mungkin bisa dihitung dengan jari yang mengingat saya. Jika rindu itu datang, mereka akan
membuka account FB saya dan melihat album foto pendakian mereka bersama saya.
Mungkin ada satu atau paling banyak dua orang yang masih mau menuliskan rasa
kangen naik gunung bareng di wall FB saya.
Hari ke 100 dari kematian saya tidak
terlalu berbeda. Sedikit doa dengan sangat sedikit kehadiran para sahabat.
Bahkan account FB sayapun sudah terlupakan.
Lewat dari 100 hari dari kematian
saya? Tidak ada yang berubah… . Para sahabat tetap mendaki, memburu sunrise,
menggapai puncak. Para pendaki muda terus bermunculan di sana sini bak jamur di
musim hujan. Kebakaran hutan terjadi seperti biasa di musim kemarau, dan
beberapa pendaki tetap akan ada yang hilang atau tewas di jalur pendakian,
menyusul saya, ke haribaan Sang Bumi. Sepi…
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Pada
akhirnya kita semua akan sendiri. Berbaring tengadah di dalam Bumi. Sepi…
(Bams).
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
:
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment