By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #48
Mata saya masih menatap layar android, tepat
pada berita tentang seorang pendaki Gunung Semeru yang meninggal dunia di
sekitaran Jambangan. Hari itu sekitar tanggal 7 Oktober 2016. Mata masih
mengikuti paragraph demi paragraph berita yang disajikan oleh salah satu media
online yang tak asing lagi di telinga.
Mulai dari urutan kronologis pendakiannya, keterangan saksi mata, sampai pada
kemungkinan waktu meninggal sang pendaki.
Di bawah berita tersebut, ada tautan satu
berita duka cita lagi, tentang pendaki yang meninggal dunia (juga) di Tanggal 3
Oktober 2016, di lokasi yang berbeda, yakni di Landengan Dewo, masih di gunung
yang sama, Semeru.
Eh, di bawahnya lagi masih ada tautan berita
yang sayangnya masih sama, berita duka cita tentang pendaki Semeru yang
meninggal dunia di Tanggal 13 September 2016, kali ini lokasinya agak ke atas
sedikit, Kalimati.
Saya mencoba menelusuri berita- berita duka
cita tersebut di forum- forum pendaki yang ada di media sosial, ternyata memang
benar- benar ada. Saya saja yang melewatkannya. Ah, mungkin karena kesibukan
belakangan ini, sehingga beberapa notifikasi yang ada di grup pendaki
kadangkala saya abaikan, sehingga berita tentang duka cita inipun terlewatkan.
Mata hanya bisa membaca komen demi komen para
sahabat pendaki di bawah berita tersebut. Ada banyak sahabat yang mengucapkan
bela sungkawa, mengirimkan doa, namun ada juga sahabat pendaki yang menuliskan
komen menyalahkan kawan- kawan yang bersama dengan pendaki yang meninggal
tersebut. Seolah- olah si pendaki yang memberikan komen ada di sana, melihat
dan mendengar secara langsung kejadian yang sedang dihadapi oleh grup pendaki
tersebut. Bisa jadi pendaki yang komen tersebut punya indra ke enam atau dia
bisa mengetahui kejadian tersebut dari bola Kristal di meja ruang tamunya, atau
bisa juga dengan membakar kemenyan di atas dupa di kamarnya. Mungkin saja…
Saya sendiri bisa dibilang jarang atau bahkan
tidak pernah memberikan komentar apapun untuk berita- berita duka cita kematian
atau berita selamat atas kelahiran. Saya takut salah berkomentar malah jadi
boomerang. Lagi pula saya juga tidak ada di lokasi itu pada saat- saat genting
tersebut. Jika komentar yang saya berikan salah, malah saya nanti dikira anak
dukun, bisa tahu kronologis peristiwanya dari cermin ajaib yang ada di kamar
saya.
Pada pendakian
saya ke Gunung Dempo di Tahun 1998 yang lalu, saya berangkat dari Kota Padang
di Sumatera Barat menuju Jambi sendirian. Di Jambi beberapa teman berhasil saya
“hipnotis” untuk ikut serta naik ke Gunung Dempo. Jadilah akhirnya kami berlima
memulai perjalanan ke Kota Pagaralam untuk memulai pendakian.
Dalam perjalanan naik ke Gunung Dempo, di
salah satu pos peristirahatan kami sempat ngobrol bersenda gurau untuk
mengalihkan rasa penat yang mendera. Sampailah pembicaraan kami pada
pertanyaan; “ jika saya tidak mampu mendaki Gunung Dempo ini karena mendapatkan
halangan berupa kram kaki atau sakit atau halangan lainnya, apa yang harus anda
lakukan sebagai teman seperjalanan saya?”
Masing- masing sahabat seperjalanan saya
memberikan pendapat yang sama. Mereka akan menemani saya dan membatalkan
pendakian ini agar kita tetap bersama. “Ah, tidak lari, gunung dikejar”, jawab
salah seorang dari sahabat.
“Lain waktu kita bisa ulang lagi pendakian
ini, santai saja Bams !”, jawab yang lainnya.
“Apa mungkin saya bisa kembali lagi ke Gunung
Dempo ini di masa yang akan datang jika kunjungan pertama ini gagal karena
kendala ketidakmampuan?”, pikir saya.
Satu sahabat malah bertanya kepada saya,
“Dirimu sendiri maunya bagaimana Bams?”
Dua, tiga detik saya sempat terdiam untuk
menjawab pertanyaan itu…
Sahabat pendaki yang budiman. Anda tahu
berapa biaya yang saya habiskan dari Kota Padang di Sumatera Barat sana untuk
menuju ke Kota Palembang? Itu dua provinsi yang harus saya lalui dengan lebih
dari 30 jam jarak tempuh menggunakan transportasi darat. Ditambah biaya makan
selama di perjalanan, logistic pendakian, serta biaya transportasi? Jika semua
itu totalkan menjadi satu, lalu dibandingkan dengan kondisi keuangan saya yang
empot- empotan dengan status anak kesayangan ibu kos? Tentulah hal itu sangat
memberatkan. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh sahabat sependakian saya ini
yang notabene sama dengan saya. Sama- sama ngekos dengan keterbatasan ekonomi
yang memprihatinkan.
Tercetus saja dari mulut saya pada saat itu,
“Bagaimana jika kita membuat suatu perjanjian dalam perjalanan ini?”
“Perjanjian apa dan bagaimana, Bams?”, Tanya
sahabat yang perempuan.
“Begini perjanjiannya. Jika saya mendapatkan
halangan, berupa kram atau sakit yang membuat saya tidak bisa meneruskan
pendakian, kalian harus tetap melanjutkan perndakian tanpa saya, tinggalkan
saya di jalur dengan logistic secukupnya, dan saya akan menunggu kalian turun
dari puncak. Saya tidak ingin kelemahan dan ketidakmampuan saya menghambat
keberhasilan orang lain. Begitu juga sebaliknya, jika ada di antara kalian yang
berhalangan, maka akan saya tinggalkan di jalur dan akan saya jemput kembali
setelah saya turun dari puncak. Jika ada di antara kalian yang ingin tinggal
untuk menemani saya, saya juga tidak melarangnya. Dan jika saya ingin tinggal
menemani kalian yang berhalangan, saya juga tidak bisa dilarang”. Jawab saya.
Sahabat sependakian saling berpandangan, dan
semuanya mengangguk menyatakan persetujuan atas perjanjian tersebut. “Tentunya
dengan kriteria yang lebih spesifik yah yang bisa ditinggalkan. Jika sakit
parah, yah gak mungkin ditinggalkan lah!”, timpal saya memantapkan persetujuan
ini.
Dua hal telah terbukti dari perjanjian ini.Yang
pertama, tidak ada anggota team pendakian yang berhalangan, sehingga saya tidak
harus ditinggalkan di jalur, dan saya juga tidak jadi meninggalkan sahabat
pendaki di jalur. Yang kedua, setelah 18 tahun terbukti, tidak ada satupun dari
kami berlima yang dapat kembali naik ke Gunung Dempo.
Jika saja saat itu ada yang berhalangan di
jalur, dan semua anggota team tinggal untuk menemani, maka pendakian itu akan
menjadi pendakian yang gagal tanpa satupun kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi
Gunung Dempo.
Jika saat itu ada yang berhalangan di jalur,
maka ditinggalkan oleh anggota team pendakian lainnya, jelas saja pendakian itu
menjadi pendakian yang berhasil tanpa satupun kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi
Gunung Dempo.
Apakah perjanjian kami ini diketahui oleh
orang lain? Tentu saja tidak. Perjanjian ini hanya diketahui oleh kami satu team
pendakian saja.
Jika dikembalikan ke sahabat pendaki yang
meninggal di Semeru seperti ulasan awal di tulisan saya ini, apakah ada
perjanjian tertentu di antara mereka? Apakah ada kesepakatan khusus di antara
mereka? Apakah ada tindakan tertentu yang telah diambil oleh anggota team
pendakian untuk menyelamatkan teman mereka? Semua itu apakah sahabat pendaki
yang membaca beritanya tahu pasti akan hal tersebut? Tentu saja tidak ! Yang
mengetahui hanyalah mereka yang ada diantara korban.
Sedang kita, saya dan anda, hanya membaca
beritanya di gadget dalam genggaman, sambil duduk manis ditemani secangkir kopi
dan sepiring gorengan, diselingi kepulan asap rokok kretek, puntung terakhir.
Dan dalam kondisi nyaman tersebut kita
menuliskan komen yang menyalahkan anggota team pendakian yang bersama korban?
Situ betulan pendaki?
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Jangan membuat kelemahan dan
ketidakmampuan-mu menghambat keberhasilan orang lain.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
:
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment