Sunday, January 7, 2018

TINGGALKAN AKU UNTUK MATI DI KALIMATI


By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #48

Mata saya masih menatap layar android, tepat pada berita tentang seorang pendaki Gunung Semeru yang meninggal dunia di sekitaran Jambangan. Hari itu sekitar tanggal 7 Oktober 2016. Mata masih mengikuti paragraph demi paragraph berita yang disajikan oleh salah satu media online yang tak  asing lagi di telinga. Mulai dari urutan kronologis pendakiannya, keterangan saksi mata, sampai pada kemungkinan waktu meninggal sang pendaki.



Di bawah berita tersebut, ada tautan satu berita duka cita lagi, tentang pendaki yang meninggal dunia (juga) di Tanggal 3 Oktober 2016, di lokasi yang berbeda, yakni di Landengan Dewo, masih di gunung yang sama, Semeru.

Eh, di bawahnya lagi masih ada tautan berita yang sayangnya masih sama, berita duka cita tentang pendaki Semeru yang meninggal dunia di Tanggal 13 September 2016, kali ini lokasinya agak ke atas sedikit, Kalimati.

Saya mencoba menelusuri berita- berita duka cita tersebut di forum- forum pendaki yang ada di media sosial, ternyata memang benar- benar ada. Saya saja yang melewatkannya. Ah, mungkin karena kesibukan belakangan ini, sehingga beberapa notifikasi yang ada di grup pendaki kadangkala saya abaikan, sehingga berita tentang duka cita inipun terlewatkan.

Mata hanya bisa membaca komen demi komen para sahabat pendaki di bawah berita tersebut. Ada banyak sahabat yang mengucapkan bela sungkawa, mengirimkan doa, namun ada juga sahabat pendaki yang menuliskan komen menyalahkan kawan- kawan yang bersama dengan pendaki yang meninggal tersebut. Seolah- olah si pendaki yang memberikan komen ada di sana, melihat dan mendengar secara langsung kejadian yang sedang dihadapi oleh grup pendaki tersebut. Bisa jadi pendaki yang komen tersebut punya indra ke enam atau dia bisa mengetahui kejadian tersebut dari bola Kristal di meja ruang tamunya, atau bisa juga dengan membakar kemenyan di atas dupa di kamarnya. Mungkin saja…

Saya sendiri bisa dibilang jarang atau bahkan tidak pernah memberikan komentar apapun untuk berita- berita duka cita kematian atau berita selamat atas kelahiran. Saya takut salah berkomentar malah jadi boomerang. Lagi pula saya juga tidak ada di lokasi itu pada saat- saat genting tersebut. Jika komentar yang saya berikan salah, malah saya nanti dikira anak dukun, bisa tahu kronologis peristiwanya dari cermin ajaib yang ada di kamar saya.

Pada  pendakian saya ke Gunung Dempo di Tahun 1998 yang lalu, saya berangkat dari Kota Padang di Sumatera Barat menuju Jambi sendirian. Di Jambi beberapa teman berhasil saya “hipnotis” untuk ikut serta naik ke Gunung Dempo. Jadilah akhirnya kami berlima memulai perjalanan ke Kota Pagaralam untuk memulai pendakian.

Dalam perjalanan naik ke Gunung Dempo, di salah satu pos peristirahatan kami sempat ngobrol bersenda gurau untuk mengalihkan rasa penat yang mendera. Sampailah pembicaraan kami pada pertanyaan; “ jika saya tidak mampu mendaki Gunung Dempo ini karena mendapatkan halangan berupa kram kaki atau sakit atau halangan lainnya, apa yang harus anda lakukan sebagai teman seperjalanan saya?”

Masing- masing sahabat seperjalanan saya memberikan pendapat yang sama. Mereka akan menemani saya dan membatalkan pendakian ini agar kita tetap bersama. “Ah, tidak lari, gunung dikejar”, jawab salah seorang dari sahabat.

“Lain waktu kita bisa ulang lagi pendakian ini, santai saja Bams !”, jawab yang lainnya.

“Apa mungkin saya bisa kembali lagi ke Gunung Dempo ini di masa yang akan datang jika kunjungan pertama ini gagal karena kendala ketidakmampuan?”, pikir saya.

Satu sahabat malah bertanya kepada saya, “Dirimu sendiri maunya bagaimana Bams?”

Dua, tiga detik saya sempat terdiam untuk menjawab pertanyaan itu…

Sahabat pendaki yang budiman. Anda tahu berapa biaya yang saya habiskan dari Kota Padang di Sumatera Barat sana untuk menuju ke Kota Palembang? Itu dua provinsi yang harus saya lalui dengan lebih dari 30 jam jarak tempuh menggunakan transportasi darat. Ditambah biaya makan selama di perjalanan, logistic pendakian, serta biaya transportasi? Jika semua itu totalkan menjadi satu, lalu dibandingkan dengan kondisi keuangan saya yang empot- empotan dengan status anak kesayangan ibu kos? Tentulah hal itu sangat memberatkan. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh sahabat sependakian saya ini yang notabene sama dengan saya. Sama- sama ngekos dengan keterbatasan ekonomi yang memprihatinkan.

Tercetus saja dari mulut saya pada saat itu, “Bagaimana jika kita membuat suatu perjanjian dalam perjalanan ini?”

“Perjanjian apa dan bagaimana, Bams?”, Tanya sahabat yang perempuan.

“Begini perjanjiannya. Jika saya mendapatkan halangan, berupa kram atau sakit yang membuat saya tidak bisa meneruskan pendakian, kalian harus tetap melanjutkan perndakian tanpa saya, tinggalkan saya di jalur dengan logistic secukupnya, dan saya akan menunggu kalian turun dari puncak. Saya tidak ingin kelemahan dan ketidakmampuan saya menghambat keberhasilan orang lain. Begitu juga sebaliknya, jika ada di antara kalian yang berhalangan, maka akan saya tinggalkan di jalur dan akan saya jemput kembali setelah saya turun dari puncak. Jika ada di antara kalian yang ingin tinggal untuk menemani saya, saya juga tidak melarangnya. Dan jika saya ingin tinggal menemani kalian yang berhalangan, saya juga tidak bisa dilarang”. Jawab saya.

Sahabat sependakian saling berpandangan, dan semuanya mengangguk menyatakan persetujuan atas perjanjian tersebut. “Tentunya dengan kriteria yang lebih spesifik yah yang bisa ditinggalkan. Jika sakit parah, yah gak mungkin ditinggalkan lah!”, timpal saya memantapkan persetujuan ini.

Dua hal telah terbukti dari perjanjian ini.Yang pertama, tidak ada anggota team pendakian yang berhalangan, sehingga saya tidak harus ditinggalkan di jalur, dan saya juga tidak jadi meninggalkan sahabat pendaki di jalur. Yang kedua, setelah 18 tahun terbukti, tidak ada satupun dari kami berlima yang dapat kembali naik ke Gunung Dempo.

Jika saja saat itu ada yang berhalangan di jalur, dan semua anggota team tinggal untuk menemani, maka pendakian itu akan menjadi pendakian yang gagal tanpa satupun kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi Gunung Dempo.

Jika saat itu ada yang berhalangan di jalur, maka ditinggalkan oleh anggota team pendakian lainnya, jelas saja pendakian itu menjadi pendakian yang berhasil tanpa satupun kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi Gunung Dempo.

Apakah perjanjian kami ini diketahui oleh orang lain? Tentu saja tidak. Perjanjian ini hanya diketahui oleh kami satu team pendakian saja.

Jika dikembalikan ke sahabat pendaki yang meninggal di Semeru seperti ulasan awal di tulisan saya ini, apakah ada perjanjian tertentu di antara mereka? Apakah ada kesepakatan khusus di antara mereka? Apakah ada tindakan tertentu yang telah diambil oleh anggota team pendakian untuk menyelamatkan teman mereka? Semua itu apakah sahabat pendaki yang membaca beritanya tahu pasti akan hal tersebut? Tentu saja tidak ! Yang mengetahui hanyalah mereka yang ada diantara korban.

Sedang kita, saya dan anda, hanya membaca beritanya di gadget dalam genggaman, sambil duduk manis ditemani secangkir kopi dan sepiring gorengan, diselingi kepulan asap rokok kretek, puntung terakhir.

Dan dalam kondisi nyaman tersebut kita menuliskan komen yang menyalahkan anggota team pendakian yang bersama korban?

Situ betulan pendaki?

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *

Jangan membuat kelemahan dan ketidakmampuan-mu menghambat keberhasilan orang lain.

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*           

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment