Sunday, February 4, 2018

KATANYA PUNCAK HANYA BONUS


By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #49

Dalam tulisan sederhana kali ini saya ingin mengajak sahabat pendaki yang budiman di sini untuk berhitung sederhana, sambil mengingat- ingat pelajaran matematika sederhana sewaktu es de. Cuma tambah- tambahan kok, tanpa pengurangan, tanpa perkalian, apalagi pembagian. Gak usah khawatir saya memasukan rumus- rumus akar kuadrat lainnya, saya juga tidak pintar di bidang itu. Saat masa es em pe saja nilai matematika saya lumayan berwarna kok. Berwarna merah, hi hi hi…



Sahabat pendaki, mari kita mulai menghitung lokasi yang terdekat. Yang di belakang dapur rumahnya ada gunung, gak perlu tunjuk tangan. Cukup berhenti ngopi, matikan rokoknya untuk sementara, mata menerawang, gunakan jari tangan sebagai kalkulator. Hitung ongkos dari rumah ke pintu rimba gunung tersebut, logistic yang diperlukan untuk mendaki, dan masukan juga biaya permit atau simaksi pendakiannya. Temukan berapa total pengeluarannya.

Misalnya saya saat itu pertama kali mau mendaki ke gunung kerinci. Rumah saya ada di Kota Sungai Penuh. Saya menghitung ongkos dari Sungaipenuh ke Kersik Tuo, lalu beli logistic untuk satu malam di Kersik Tuo. Ditambah simaksi dan ongkos kendaraan dari Simpang Tugu Macan menuju pintu rimba. Untuk ongkos transportasi setelah ditotalkan, ditambah dengan angka yang sama yah sob. Mengapa? Khan harus balik pulang ke rumah lagi. Kecuali jika sobat punya rencana gak pingin pulang… Hah?, mau camping dulu di sekitaran kaki gunung misalnya. J

Nah, total angka yang saya dapat untuk estimasi pendakian selama dua hari satu malam ke Gunung Kerinci dari start point Kota Sungai Penuh, dalam rupiah sekitar Rp. 300.000,-

Itu untuk lokasi yang relatif dekat lho yah, karena masih dalam satu kabupaten.

Nah, sekarang untuk gunung- gunung yang berada di luar provinsi tempat kita berada. Misalkan saya ingin mendaki Gunung Marapi atau Singgalang di Sumatera Barat untuk pertama kalinya. Dari Kota Sungaipenuh menuju Kota Padang dan setelah turun dari gunung tersebut saya langsung pulang kembali ke Sungaipenuh, estimasi biaya yang saya keluarkan saat ini sekitar Rp. 500.000,- dan menghabiskan waktu tercepat sekitar 4 hari 3 malam.

Mari kita tingkatkan jarak pendakian kita menuju pulau yang berbeda di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta yang bagaikan surga ini. Misalkan saya mau mendaki ke Gunung Rinjani di Lombok sana untuk pertama kalinya. Estimasi budget perjalanan yang harus saya keluarkan dengan menggunakan transportasi udara sekitar Rp. 5.000.000,- serta menghabiskan waktu sekitar 9 hari 8 malam.

Jadi, hitungan sederhananya adalah, semakin jauh gunung yang kita daki, semakin besar biaya yang kita keluarkan. Artinya, jarak berbanding lurus dengan biaya, serta berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang kita habiskan untuk mencapai puncak gunung tersebut. Sampai di sini saya yakin 100% sahabat pendaki setuju dengan hitung- hitungan sederhana saya di atas.

Jadi Bams, ke mana arah pembicaraan kita? Mungkin itu pertanyaan sebagian besar sahabat pendaki yang membaca tulisan ini.

Saya sedang menggiring pemikiran sahabat pendaki, bahwa dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar, ditambah waktu yang cukup banyak, dengan mengorbankan kesehatan dan keselamatan kita di dalam perjalanan dan pada saat melakukan pendakian, apakah itu semua sebanding dengan satu klik foto di puncak gunung yang kita daki sebagai tanda bukti bahwa kita sudah berada di puncak tersebut?

Jawab…!

Jawaban saya sendiri adalah, “hal itu sebanding !”.
Hitung- hitungannya kira- kira begini ;
1 + 1 = 2
Biaya + Waktu = Puncak,

Saya sudah mengeluarkan biaya yang besar, mengorbankan waktu yang banyak, mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan saya, baik dalam perjalanan menuju lokasi gunung tersebut, apalagi pada waktu pendakian sudah dimulai. Ditambah lagi tidak ada jaminan bahwa saya akan mempunyai waktu luang lainnya di kemudian hari untuk bisa kembali mendaki ke gunung yang sama. Tidak ada jaminan sama sekali untuk hal itu.

Dalam hitung- hitungan sederhana lainnya, saya habiskan Rp. 5.000.000,-  , namun saya tidak bisa mencapai puncak Rinjani. Bukankah itu adalah suatu kerugian bagi saya?

Hitungannya kira- kira begini :
1 – 1 = 0
Biaya – Waktu = Gagal

Jadi tujuan saya, tujuan anda sahabat pendaki, sangatlah jelas. Mendaki gunung untuk mencapai puncaknya. Kecuali kita sudah pernah mencapai puncak gunung tersebut sebelumnya, atau dalam kata lain bahwa pendakian kita ke gunung tersebut adalah pendakian yang kedua atau ketiga. Mungkin saja hasrat untuk berdiri di puncak gunung itu tidak menggebu.

Dari hitung- hitungan sederhana di atas, apakah sahabat pendaki masih yakin dan masih mengatakan bahwa “puncak adalah bonus?”.

Menurut sejarah pendakian yang saya tahu, dari dulu semua pendaki berlomba- lomba untuk menjadi “pendaki pertama”  dalam setiap pendakian di puncak- puncak tertinggi di muka Bumi ini. Ada yang mengejar “label” pendaki pertama di Everest, ada yang mengejar label pendaki asia pertama di Everest, dan ada yang mengejar label orang Indonesia pertama di Everest, juga ada yang mengejar label pendaki wanita pertama di Everest.

Lihatlah ! Semua pendaki mengejar “label”. Mengejar “kebanggaan” sebagai pendaki. Kebanggaan dalam artian positif lho yah.  Kebanggaan bisa menjadi segelintir orang yang mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk berdiri di puncak- puncak tertinggi di muka Bumi ini. Ini kesempatan langka lho sahabat…

Kita lihat lagi secara matematika ya sahabat pendaki. Menurut data di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada Tahun 2016 ini jumlah penduduk Indonesia sekitar 255 juta jiwa. Jika kita lihat jumlah data para pendaki di forum- forum pendaki di media social yang ada, yang betul- betul pendaki gunung saya estimasi sekitar 100 ribu orang. Nah, jumlah 100 ribu orang itu adalah 0,04 % saja dari total 255 juta penduduk Indonesia. Artinya? Hanya ada 0,04% saja manusia yang pernah merasakan sensasi berada di puncak gunung. Jika hitungan saya salah, harap dimaklumi ya sahabat. Khan di depan tulisan ini saya sudah kasih tahu bahwa di SMP nilai matematika saya selalu berwarna… J

Jika puncak adalah sekedar bonus, mengapa para pendaki berbondong- bondong ke puncak Everest? Tahun 2012 saja,  pada musim pendakian Bulan Mei, jalur ke Puncak Everest saja bisa macet selama dua jam. Hanya 234 orang yang mencapai puncak dan “cuma” 4 orang yang tewas di saat itu.

Sahabat pendaki tentu lebih paham, dan mungkin juga pernah merasakan berapa jam kemacetan di jalur saat musim pendakian 17 Agustus atau pergantian tahun di jalur gunung- gunung Indonesia. Saya pernah kena macet di jalur Semeru antara pos 1 dan pos 2 di Bulan Mei 2015 yang lalu. Bagaimana sahabat yang mendaki di Gunung Gede? Di Rinjani ? Di gunung lainnya ? 

Ke Everest cuma untuk mendapatkan bonus, gitu?
Tidak untuk menggapai hadiah utama, gitu?

Ah, yang benar ?

Sepertinya kebalik deh. Puncak itulah hadiah utamanya ! Pulang dengan selamat itu yang bonus.

Bonus besar akan didapatkan jika sahabat pendaki yang wanita pulang dengan Selamat Hadi Prawira, dikenalkan ke orang tuanya dan direstui sehingga dapat mengakhiri masa jomblonya, serta beranak pinak sampai akhir masa. Bonus ZONK akan didapat jika sahabat pendaki pria pulang dengan Selamat Hadi Prawira dan tidak mendapat restu dari orang tuanya. Itu karena anda berdua “berdiri” di bawah bendera berwarna. Anda tahulah apa warna benderanya… :D

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Dari dulu selalu ada perlombaan antara gunung dan pendaki. Dan gunung selalu menang. (Sepenggal dialog – film Everest)
Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment