By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#49
Dalam
tulisan sederhana kali ini saya ingin mengajak sahabat pendaki yang budiman di
sini untuk berhitung sederhana, sambil mengingat- ingat pelajaran matematika
sederhana sewaktu es de. Cuma tambah- tambahan kok, tanpa pengurangan, tanpa
perkalian, apalagi pembagian. Gak usah khawatir saya memasukan rumus- rumus
akar kuadrat lainnya, saya juga tidak pintar di bidang itu. Saat masa es em pe
saja nilai matematika saya lumayan berwarna kok. Berwarna merah, hi hi hi…
Sahabat
pendaki, mari kita mulai menghitung lokasi yang terdekat. Yang di belakang
dapur rumahnya ada gunung, gak perlu tunjuk tangan. Cukup berhenti ngopi,
matikan rokoknya untuk sementara, mata menerawang, gunakan jari tangan sebagai
kalkulator. Hitung ongkos dari rumah ke pintu rimba gunung tersebut, logistic
yang diperlukan untuk mendaki, dan masukan juga biaya permit atau simaksi
pendakiannya. Temukan berapa total pengeluarannya.
Misalnya
saya saat itu pertama kali mau mendaki ke gunung kerinci. Rumah saya ada di
Kota Sungai Penuh. Saya menghitung ongkos dari Sungaipenuh ke Kersik Tuo, lalu
beli logistic untuk satu malam di Kersik Tuo. Ditambah simaksi dan ongkos
kendaraan dari Simpang Tugu Macan menuju pintu rimba. Untuk ongkos transportasi
setelah ditotalkan, ditambah dengan angka yang sama yah sob. Mengapa? Khan
harus balik pulang ke rumah lagi. Kecuali jika sobat punya rencana gak pingin
pulang… Hah?, mau camping dulu di sekitaran kaki gunung misalnya. J
Nah,
total angka yang saya dapat untuk estimasi pendakian selama dua hari satu malam
ke Gunung Kerinci dari start point
Kota Sungai Penuh, dalam rupiah sekitar Rp. 300.000,-
Itu
untuk lokasi yang relatif dekat lho yah, karena masih dalam satu kabupaten.
Nah,
sekarang untuk gunung- gunung yang berada di luar provinsi tempat kita berada.
Misalkan saya ingin mendaki Gunung Marapi atau Singgalang di Sumatera Barat
untuk pertama kalinya. Dari Kota Sungaipenuh menuju Kota Padang dan setelah
turun dari gunung tersebut saya langsung pulang kembali ke Sungaipenuh,
estimasi biaya yang saya keluarkan saat ini sekitar Rp. 500.000,- dan
menghabiskan waktu tercepat sekitar 4 hari 3 malam.
Mari
kita tingkatkan jarak pendakian kita menuju pulau yang berbeda di Negara
Kesatuan Republik Indonesia tercinta yang bagaikan surga ini. Misalkan saya mau
mendaki ke Gunung Rinjani di Lombok sana untuk pertama kalinya. Estimasi budget
perjalanan yang harus saya keluarkan dengan menggunakan transportasi udara
sekitar Rp. 5.000.000,- serta menghabiskan waktu sekitar 9 hari 8 malam.
Jadi,
hitungan sederhananya adalah, semakin jauh gunung yang kita daki, semakin besar
biaya yang kita keluarkan. Artinya, jarak berbanding lurus dengan biaya, serta
berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang kita habiskan untuk mencapai
puncak gunung tersebut. Sampai di sini saya yakin 100% sahabat pendaki setuju
dengan hitung- hitungan sederhana saya di atas.
Jadi
Bams, ke mana arah pembicaraan kita? Mungkin itu pertanyaan sebagian besar
sahabat pendaki yang membaca tulisan ini.
Saya
sedang menggiring pemikiran sahabat pendaki, bahwa dengan mengeluarkan biaya
yang cukup besar, ditambah waktu yang cukup banyak, dengan mengorbankan
kesehatan dan keselamatan kita di dalam perjalanan dan pada saat melakukan
pendakian, apakah itu semua sebanding dengan satu klik foto di puncak gunung
yang kita daki sebagai tanda bukti bahwa kita sudah berada di puncak tersebut?
Jawab…!
Jawaban
saya sendiri adalah, “hal itu sebanding !”.
Hitung-
hitungannya kira- kira begini ;
1
+ 1 = 2
Biaya
+ Waktu = Puncak,
Saya
sudah mengeluarkan biaya yang besar, mengorbankan waktu yang banyak,
mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan saya, baik dalam perjalanan menuju
lokasi gunung tersebut, apalagi pada waktu pendakian sudah dimulai. Ditambah lagi
tidak ada jaminan bahwa saya akan mempunyai waktu luang lainnya di kemudian
hari untuk bisa kembali mendaki ke gunung yang sama. Tidak ada jaminan sama
sekali untuk hal itu.
Dalam
hitung- hitungan sederhana lainnya, saya habiskan Rp. 5.000.000,- , namun saya tidak bisa mencapai puncak
Rinjani. Bukankah itu adalah suatu kerugian bagi saya?
Hitungannya
kira- kira begini :
1
– 1 = 0
Biaya
– Waktu = Gagal
Jadi
tujuan saya, tujuan anda sahabat pendaki, sangatlah jelas. Mendaki gunung untuk
mencapai puncaknya. Kecuali kita sudah pernah mencapai puncak gunung tersebut
sebelumnya, atau dalam kata lain bahwa pendakian kita ke gunung tersebut adalah
pendakian yang kedua atau ketiga. Mungkin saja hasrat untuk berdiri di puncak
gunung itu tidak menggebu.
Dari
hitung- hitungan sederhana di atas, apakah sahabat pendaki masih yakin dan
masih mengatakan bahwa “puncak adalah bonus?”.
Menurut
sejarah pendakian yang saya tahu, dari dulu semua pendaki berlomba- lomba untuk
menjadi “pendaki pertama” dalam setiap
pendakian di puncak- puncak tertinggi di muka Bumi ini. Ada yang mengejar
“label” pendaki pertama di Everest, ada yang mengejar label pendaki asia
pertama di Everest, dan ada yang mengejar label orang Indonesia pertama di
Everest, juga ada yang mengejar label pendaki wanita pertama di Everest.
Lihatlah
! Semua pendaki mengejar “label”. Mengejar “kebanggaan” sebagai pendaki.
Kebanggaan dalam artian positif lho yah.
Kebanggaan bisa menjadi segelintir orang yang mempunyai kesempatan dan
kemampuan untuk berdiri di puncak- puncak tertinggi di muka Bumi ini. Ini
kesempatan langka lho sahabat…
Kita
lihat lagi secara matematika ya sahabat pendaki. Menurut data di Badan Pusat
Statistik (BPS) Indonesia, pada Tahun 2016 ini jumlah penduduk Indonesia
sekitar 255 juta jiwa. Jika kita lihat jumlah data para pendaki di forum- forum
pendaki di media social yang ada, yang betul- betul pendaki gunung saya
estimasi sekitar 100 ribu orang. Nah, jumlah 100 ribu orang itu adalah 0,04 %
saja dari total 255 juta penduduk Indonesia. Artinya? Hanya ada 0,04% saja
manusia yang pernah merasakan sensasi berada di puncak gunung. Jika hitungan
saya salah, harap dimaklumi ya sahabat. Khan di depan tulisan ini saya sudah
kasih tahu bahwa di SMP nilai matematika saya selalu berwarna… J
Jika
puncak adalah sekedar bonus, mengapa para pendaki berbondong- bondong ke puncak
Everest? Tahun 2012 saja, pada musim
pendakian Bulan Mei, jalur ke Puncak Everest saja bisa macet selama dua jam.
Hanya 234 orang yang mencapai puncak dan “cuma” 4 orang yang tewas di saat itu.
Sahabat
pendaki tentu lebih paham, dan mungkin juga pernah merasakan berapa jam
kemacetan di jalur saat musim pendakian 17 Agustus atau pergantian tahun di
jalur gunung- gunung Indonesia. Saya pernah kena macet di jalur Semeru antara
pos 1 dan pos 2 di Bulan Mei 2015 yang lalu. Bagaimana sahabat yang mendaki di
Gunung Gede? Di Rinjani ? Di gunung lainnya ?
Ke
Everest cuma untuk mendapatkan bonus, gitu?
Tidak
untuk menggapai hadiah utama, gitu?
Ah,
yang benar ?
Sepertinya
kebalik deh. Puncak itulah hadiah utamanya ! Pulang dengan selamat itu yang bonus.
Bonus
besar akan didapatkan jika sahabat pendaki yang wanita pulang dengan Selamat
Hadi Prawira, dikenalkan ke orang tuanya dan direstui sehingga dapat mengakhiri
masa jomblonya, serta beranak pinak sampai akhir masa. Bonus ZONK akan didapat
jika sahabat pendaki pria pulang dengan Selamat Hadi Prawira dan tidak mendapat
restu dari orang tuanya. Itu karena anda berdua “berdiri” di bawah bendera
berwarna. Anda tahulah apa warna benderanya… :D
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Dari
dulu selalu ada perlombaan antara gunung dan pendaki. Dan gunung selalu menang.
(Sepenggal dialog – film Everest)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT
MENDAKI”
No comments:
Post a Comment