Ah..., yang
baca tulisan ini cuma si pencari sensasi…
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#50
Sampai
sekarang, jika saya bertanya kepada sahabat pendaki yang baru saya temui dengan
pertanyaan, “Apa yang membuat anda selalu ingin dan ingin lagi untuk mendaki
gunung?” Saya akan selalu menemukan jawaban yang berbeda- beda. Jika pertanyaan
itu dirunut lebih jauh dan lebih panjang lagi, maka akan sampai pada suatu
ujung jawaban, “Ah, datang saja sendiri ke gunung itu, nanti kamu juga akan
tahu sendiri apa jawabannya”.
Ha
ha ha… Sahabat pendaki semua pasti juga pernah menemukan jawaban yang seperti
itu bukan?
Pertanyaan
itu juga yang sering saya jumpai dari keluarga besar saya. Dari om dan tante-
tante saya yang sebagian namanya malah tidak bisa saya ingat. Apalagi nama
anak- anak mereka jumlahnya sekian
banyak. Yang pernah bertemu dengan saya saat mereka masih kecil- kecil dan
kemudian saya tinggal merantau ke Batam. Saat ini mereka semua – para adik
sepupu – itu tentunya sudah besar- besar semua. Jika bertemu selisih jalan,
mungkin saya tidak mengenal sepupu saya sendiri. Ada yang sudah menjadi “orang”
dengan latar belakang profesi yang beragam, salah satunya sebut saja Lola.
Lola
masih duduk di bangku kuliah tahun ketiga di Universitas Negeri Padang.
Berkulit putih khas gadis Kerinci yang tinggal di daerah dingin, tinggi
proporsional, kerudung yang selalu dia kenakan menambah kecantikannya – maaf,
saya tidak lagi mempromosikan seorang high quality jomlo - . Toh, saya sendiri
juga pangling, lupa punya sepupu secantik Lola. Saya tidak terlalu kenal dekat
dengan Lola karena saat saya pergi merantau, setahu saya lola masih kecil
mungil, atau masih bayi, atau mungkin malah belum lahir sama sekali, entahlah…
Mengingat hal ini saya jadi merasa "berumur" hehehe
Cuma
media sosial yang bisa mempertemukan kita. Saya dan Lola, menjalin pertemanan
di media sosial tersebut. Dari media itu saya tahu bahwa Lola adalah adik
sepupu saya yang mungkin belum pernah saya jumpai.
Untung
saja ketahuan lebih awal bahwa Lola adalah adik sepupu saya, jadi saya tidak
terlanjur tebar- tebar pesona ngerayu dia di inbox. Jika sudah terlanjut tepe-
tepe (tebar pesona), bakalan malu tingkat dewa saya, gak berani lagi pulang
kampung buat setor muka.
Soalnya
hal ini sudah pernah kejadian, si Dony, adik sepupu saya yang cowok pernah
gangguin seorang cewek ketika si cewek tersebut lewat di depannya. Saat Dony
lagi nongkrong bareng teman- temannya. Sampe- sampe diikutinya cewek itu karena
kesengsem pingin tahu rumahnya. Setelah diikuti, kok cewek itu pulangnya ke
rumah tante kita. Tuh khan…, rupanya adik sepupu sendiri. Cerita si Dony itu
sampai sekarang masih beredar terbatas di keluarga besar kita. Malunya itu bro,
jika lagi ngumpul bareng keluarga besar, kisah itu diungkit- ungkit hihihi
Kembali
ke si manis Lola. Dia sering lihat foto- foto saya di album media sosial saya.
Mungkin karena itu juga, dia jadi tertarik untuk merasakan naik gunung. Jadilah dia pergi naik
ke Gunung Marapi Sumatera Barat bersama teman- teman kuliahnya. Tentunya tanpa
memberitahukan tentang pendakian itu kepada orang tuanya, karena jika minta
izin untuk naik gunung ke orang tuanya, jelas jawabannya adalah, TIDAK!
Setelah
beberapa hari turun dari pendakian ke Gunung Marapi, barulah Lola dapat
kesempatan pulang kampung berkumpul dengan keluarganya. Saat itulah dia
bercerita kepada mamanya – tante saya – tentang pendakiannya.
Satu
hari, untuk satu urusan, saya berbicara dengan mamanya Lola via telpon, dan
pada moment itulah mamanya Lola bercerita, “Bams, adikmu itu pergi naik ke
Gunung Marapi bersama teman- teman kampusnya tanpa bilang ke tante kemarin.
Setelah dia turun baru dia cerita ke tante. Dia bilang, “Ma, rupanya inilah
rasa yang selama ini dirasakan oleh Mas Bams dan kenapa Mas Bams suka naik
gunung. Sulit untuk menjelaskan rasa itu, Ma. Cuma orang yang sudah menginjakan
kakinya di puncak gunung saja yang bisa memahaminya”. Itu bilang Lola, Bams”.
Saya
hanya tertawa saja mendengar curhatan si tante. Dan kenyataannya memang benar
demikian adanya. “Rasa” yang disebutkan Lola itu saya artikan sebagai “sensasi
pendaki”. Sensasi yang hanya pendaki saja yang memahami.
Satu
malam yang penuh penderitaan, tim pendakian saya yang saat itu berjumlah 6 orang pernah
terkena hujan badai sekitar pukul 22:00 malam di antara Shelter I dan Shelter II
Gunung Kerinci. Di bawah bayang- bayang hypothermia, tim merangkak dalam
kegelapan malam dan sudah tercerai berai. Saya dan salah satu sahabat pendaki –
kami berdua – tercecer di belakang. Dengan kondisi badan dan pakaian yang basah
kuyup, tangan bersidekap di dada, duduk jongkok sambil merapatkan diri ke
sahabat sambil mendengar suara gigi- gigi kita yang seolah-olah berpacu bergemeretak
karena rahang gemetar tidak bisa dihentikan. Jauh di dalam lubuk hati saya
burucap, “Saya janji, ini akan menjadi pendakian gunung saya yang terakhir”.
Janji
itu bahkan semakin banyak dan terus- menerus saya ucapkan di dalam hati saat di
kepala saya sedang membayangkan hangatnya kuah semangkok bakso, asap mengepul
yang keluar dari martabak yang baru saja dibelah, dan rasa manis dari busa teh
telur yang baru saja diseduh. Dan itu semua entah mengapa bagitu jelasnya
terlihat di depan saya, padahal semua itu berada sekitar 7 atau 8 Km jauhnya dari saya.
Namun
apa yang terjadi? Saat badai reda, tim yang gagal itu sudah turun semua dan
sampai di desa terdekat, yang dibahas adalah, tanggal berapa kita akan naik
lagi sebagai pengganti kegagalan malam tadi?
Janji
di dalam hati hanya tinggal janji. Satu lagi sensasi yang dapat saya rasakan
yang mungkin tidak dapat dirasakan oleh semua penduduk di Indonesia ini.
Sensasi gemeretak gigi saat bertahan dalam gelap malam dengan kondisi basah
kuyup kedinginan.
Lain
waktu di lain tempat, saya juga mendapat kesempatan merasakan sensasi ketika
angin lembut serasa belaian kelembutan tangan mama menerpa wajah saat di
puncak, ada juga sensasi ketakutan berjalan di kegelapan malam sambil membawa
sebatang lilin. Oh, iya… sensasi berjalan malam sendirian di tengah ladang tebu
saat bulan purnama, sementara nun jauh di sana suara lolongan mirip srigala
bersahutan, patut untuk di kenang. Ada lagi sensasi keletihan dan dehidrasi
untuk jalur savanna tak berujung di terik panas siang. Juga tak ketinggalan
sensasi ketika perut sakit mau buang air besar, tapi lagi sejalur dan
beriringan jalan dengan cewek pendaki dari Singapura, saat saya mendaki di luar
negeri. Sensasi yang jika diingat akan membuat saya tertawa geli sendiri hi hi
hi.
Masih
banyak sensasi lainnya untuk diceritakan sampai anda yang membaca tulisan ini
bosan. Jangan bohong ! Anda, sahabat pendaki juga pernah merasakan sensasi yang
luar biasa di pendakian anda. Sulit untuk diungkapkan, rumit untuk diceritakan,
dan hanya anda yang memahami sensasi-nya.
Nah
sahabat pendaki yang budiman, ceritakan kepada saya, apa sensasi anda?
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Jangan
tanya mengapa aku mendaki gunung, tapi ikutlah bersamaku mendaki gunung,
dan kau akan memahami.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
No comments:
Post a Comment