Sunday, April 8, 2018

UCAPKAN MANTRA SAKTINYA


Saya yakin masing- masing anda punya mantra saat mendaki.
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #51



Tulisan ini sudah berada di dalam laptop saya sekitar tiga bulan, namun hanya dalam bentuk judulnya saja. Isi tulisannya masih kosong, masih menari- nari di dalam imajinasi saya yang kadang jernih menyusun kata dan kalimat, namun juga kadang buyar tercerai berai seperti pendaki yang terkena hujan badai selama tujuh jam lebih.



Kerangka tulisan ini sedianya sudah akan saya goreskan membentuk suatu alur cerita yang berdasarkan kepada pengalaman diri saya pribadi. Namun, waktu berkehendak lain, tulisan ini mengalami delay selama tiga bulan lebih, dan malah memberikan pengalaman baru bagi pendaki lainnya yang sejalur bersama saya di Gunung Semeru (3676 mdpl) pertengahan November 2016 lalu. Jadilah cerita tentang pendaki yang sejalur bersama saya di jalur Semeru tersebut ikut mewarnai tulisan ini.

Entahlah dengan anda sahabat pendaki yang budiman, masih muda, kenyes- kenyes, dan berotot. Saya juga demikian adanya… gubrakkk. Namun dalam menelusuri jalur pendakian gunung yang bikin frustasi, bisa karena jalurnya panjang, atau jalurnya tidak ada “bonus” sama sekali, atau bisa jadi karena beban yang dibawa kebanyakan, itu carrier yang saya panggul makin berat rasanya mengiringi langkah kaki. Satu langkah kaki rasanya bertambah beban di pundak sebanyak satu ons. Lama- kelamaan kaki ikut- ikutan malas melangkah.

Pas ketemu tanjakan yang lumayan tinggi, bakar dulu sebatang rokok sambil melihat- lihat tanjakan yang akan dilalui. Pendaki lain yang permisi numpang lewat dipersilahkan dengan bahagia. “Permisi, Mas. Duluan… Mari bareng- bareng”, basa basi pendaki lain yang melewati saya.

“Oh, silahkan, Mas… . Duluan saja. Lagi mempelajari jalur yang akan ditempuh ini” , membalas sapaan si pendaki.

Alasan…!

Kejadian yang sebenarnya itu karena memang saya sudah kecapean. Kaki susah untuk dilangkahkan, pantatpun tak mau berpisah dari rerumputan yang diduduki.

Dalam kondisi yang demikian, biasanya saya selalu mengulang- ulangi di mulut atau di dalam hati “mantra” yang selama ini mampu membuat semangat saya tetap terjaga sedemikian rupa. Nah, ini mantranya; “Semua pendaki mempunyai beban yang sama, yang membedakan di antara mereka adalah semangat yang ada di dalam dada”.

Dan mantra tersebut selalu berhasil mengangkat pantat saya untuk menjauhi empuknya gumpalan rumput yang tengah saya duduki, meraih carrier yang tergeletak tengadah di tanah basah untuk kemudian berpindah, bergelayut manja di punggung saya.

Kalimat sepele memang. Namun efeknya bagi saya sangat luar biasa. Seolah- olah saya memciptakan kompetisi tersendiri dengan pendaki lainnya di dalam diri saya yang membuat saya tidak mau kalah dari kompetisi tersebut. Semua pendaki bisa melalui trek ini, kenapa saya tidak?

Nah, dalam pendakian ke Gunung Semeru di pertengahan Bulan November 2016 lalu, saya berkesempatan mendaki bersama 15 orang sahabat pendaki saya dari Malaysia. Tidak semuanya mempunyai tenaga yang bagus. Bagaimanapun, kekuatan masing- masing orang tentu saja berbeda. Dalam rombongan kami ini juga demikian adanya. Contohnya salah satu wanita di dalam rombongan kami, sebut saja namanya Putri.

Putri sejak di awal trek hampir bisa dipastikan berada di urutan yang paling belakang. Mulai dari Ranupane sampai ke Ranukumbolo. Semakin bertambah panjang jalurnya, semakin jauh dia tertinggal. Dan itu mengharuskan saya sebagai sweeper untuk tetap berada lebih paling belakang lagi untuk menjaga agar jangan ada anggota rombongan yang tertinggal.

Saat menempuh jalur dari Ranukumbolo menuju ke Kalimati, cuaca yang tadinya sudah berkabut tebal, perlahan namun pasti menjadi hujan yang mengguyur perjalanan kami. Saat itulah kami menjumpai empat orang pendaki pria yang ternyata salah satu dari mereka – sebut saja Awang – sudah kepayahan. Dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan, tambah lagi sahabat pendaki yang harus saya “kawal” menuju Kalimati, mengingat bahwa empat orang sahabat pendaki lelaki ini baru pertama kali naik ke Semeru.

Melihat kondisi ini, saya mencoba untuk selalu “memompa” semangat si Awang yang sudah kepayahan. Mereka sering menanyakan, “Jambangan masih jauh gak, Bang?” Dan jawaban PHP (pemberi harapan palsu) saya selalu saja, “Dekat kok, 10 menit lagi sampe” he he he. Biar gak kentara PHP nya, kadang saya selingi dengan, “Dekat lagi kok. Itu di balik hutan pinus di dekat atas ini lokasi Jambangan”.

Sampai pada suatu momen, si Awang terduduk untuk waktu yang cukup lama dengan alasan telapak kakinya mulai terasa kram. Inilah momen saya mengeluarkan “sabda- sabda” saya. “Setiap pendaki itu mempunyai beban yang sama. Mungkin ada yang yang tidak membawa beban di pundak, sementara pendaki lainnya ada yang hanya membawa daypack saja, sedang yang lainnya juga ada yang membawa carrier segede kulkas. Mereka sudah mengukur sendiri kemampuan mereka sebelum naik gunung. Jangan dikira yang hanya membawa daypack saja itu enak. Sesuai dengan kemampuannya, berat daypack itu juga sama menyulitkannya pada saat mendaki karena kemampuannya memang segitu. Jadi, pendaki itu mempunyai beban yang sama. Yang membedakan di antara mereka adalah semangat yang ada di dalam dada!” Ujar saya.

“Dan ini berlaku juga buat saya, dan kamu juga, Awang. Jadi kamu harus tetap memelihara semangat yang ada di dalam dada kamu, Awang!” Tambah penjelasan saya.

Dan dengan terseok- seok, akhirnya saya dapat “menggiring” si Awang dan  kawan- kawannya sampai di lokasi Jambangan. Mereka mempersilahkan saya untuk berangkat duluan ke Kalimati, sementara mereka berdiang dulu untuk menghalau rasa dingin sementara waktu di Jambangan yang kebetulan ada sedikit perapian yang dibuat oleh serombongan porter untuk menghangatkan diri.

Pukul 00:00 WIB, team kami memulai pendakian menuju Puncak Mahameru. Dalam gelapnya dingin malam, Putri tetap menjadi anggota terakhir di dalam barisan pendaki yang menuju Puncak Mahameru, dan saya tetap menemaninya.

Setelah melewati kawasan Cemoro Tunggal, saya harus meninggalkan Putri bersama seorang porter yang menemaninya menuju puncak, karena ada anggota pendakian lainnya yang membutuhkan panduan. Saat melewati Putri yang sedang “mengambil napas” di trek pasir Semeru, Putri sempat melontarkan pertanyaan kepada saya, “Bams, mana yang lebih penting dan dibutuhkan, tenaga atau semangat?”. Tanyanya.

“Yang paling penting adalah semangat. Tenaga tanpa semangat tidak akan berarti apa- apa”. Jawab saya sambil melanjutkan perjalanan naik ke puncak. Dalam perjalanan naik ke puncak tersebut, terbersit keraguan juga di hati saya. Ragu apakah Putri akan mampu mencapai Puncak Mahameru dengan keterbatasan tenaga yang dimilikinya. Ah, seperti perjanjian awalnya sebelum naik ke puncak, jika jam 9 pagi Putri belum sampai ke puncak, maka secara otomatis dia harus turun ke Kalimati untuk menjaga keamanan dan menghindari hal- hal yang tidak diinginkan.

Pukul 6:40 WIB, Alhamdulillah saya sampai di Puncak Mahameru. Sementara sebagian besar rombongan sudah lebih dahulu berada di puncak tersebut, dan mereka pamit untuk turun menuju ke Kalimati. Saya bersama beberapa orang yang tinggal di puncak, menghabiskan waktu untuk mengambil dokumentasi sepuas- puasnya. Jam sudah menunjukan angka 8:10 saat saya memutuskan untuk kembali turun ke Kalimati, karena asumsi saya, Putri tidak mampu untuk melanjutkan pendakian sampai ke Puncak Mahameru.

Namun tiba- tiba saja wajahnya Putri menyembul dari balik bebatuan di pinggir jalur dekat puncak, menapak tertatih- tatih, dan langsung merebahkan dirinya di Puncak Mahameru sebagai ungkapan rasa syukur dan kepuasan dirinya yang sudah dapat menjejakan kaki di puncak tertinggi di tanah Jawa. Saat itu, saya melihat sosok yang luar biasa dengan tenaga terbatas, namun dengan semangat yang tak terbatas.

Di Bulan November 2016, dalam kurun waktu kurang dari satu bulan saya sudah menggapai dua puncak tertinggi di ibu pertiwi, Semeru dan Latimojong. Namun untuk penghargaan “climber of the month”, saya yakin bahwa Putri lebih berhak untuk menerimanya. Sang pendaki dengan semangat yang tak terpatahkan.

Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
Saat semua energy sudah habis saat mendaki, ucapkan mantra saktinya; “Semua pendaki mempunyai beban yang sama, yang membedakan di antara mereka adalah semangat yang ada di dalam dada”. (Bams Nektar)

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*                

* * * *  *

Bams mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”

No comments:

Post a Comment