Saya yakin
masing- masing anda punya mantra saat mendaki.
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#51
Tulisan
ini sudah berada di dalam laptop saya sekitar tiga bulan, namun hanya dalam
bentuk judulnya saja. Isi tulisannya masih kosong, masih menari- nari di dalam
imajinasi saya yang kadang jernih menyusun kata dan kalimat, namun juga kadang
buyar tercerai berai seperti pendaki yang terkena hujan badai selama tujuh jam
lebih.
Kerangka
tulisan ini sedianya sudah akan saya goreskan membentuk suatu alur cerita yang
berdasarkan kepada pengalaman diri saya pribadi. Namun, waktu berkehendak lain,
tulisan ini mengalami delay selama
tiga bulan lebih, dan malah memberikan pengalaman baru bagi pendaki lainnya
yang sejalur bersama saya di Gunung Semeru (3676 mdpl) pertengahan November
2016 lalu. Jadilah cerita tentang pendaki yang sejalur bersama saya di jalur
Semeru tersebut ikut mewarnai tulisan ini.
Entahlah
dengan anda sahabat pendaki yang budiman, masih muda, kenyes- kenyes, dan
berotot. Saya juga demikian adanya… gubrakkk. Namun dalam menelusuri jalur
pendakian gunung yang bikin frustasi, bisa karena jalurnya panjang, atau
jalurnya tidak ada “bonus” sama sekali, atau bisa jadi karena beban yang dibawa
kebanyakan, itu carrier yang saya panggul makin berat rasanya mengiringi
langkah kaki. Satu langkah kaki rasanya bertambah beban di pundak sebanyak satu
ons. Lama- kelamaan kaki ikut- ikutan malas melangkah.
Pas
ketemu tanjakan yang lumayan tinggi, bakar dulu sebatang rokok sambil melihat-
lihat tanjakan yang akan dilalui. Pendaki lain yang permisi numpang lewat
dipersilahkan dengan bahagia. “Permisi, Mas. Duluan… Mari bareng- bareng”, basa
basi pendaki lain yang melewati saya.
“Oh,
silahkan, Mas… . Duluan saja. Lagi mempelajari jalur yang akan ditempuh ini” ,
membalas sapaan si pendaki.
Alasan…!
Kejadian
yang sebenarnya itu karena memang saya sudah kecapean. Kaki susah untuk
dilangkahkan, pantatpun tak mau berpisah dari rerumputan yang diduduki.
Dalam
kondisi yang demikian, biasanya saya selalu mengulang- ulangi di mulut atau di
dalam hati “mantra” yang selama ini mampu membuat semangat saya tetap terjaga
sedemikian rupa. Nah, ini mantranya; “Semua pendaki mempunyai beban yang sama,
yang membedakan di antara mereka adalah semangat yang ada di dalam dada”.
Dan
mantra tersebut selalu berhasil mengangkat pantat saya untuk menjauhi empuknya
gumpalan rumput yang tengah saya duduki, meraih carrier yang tergeletak tengadah di tanah basah untuk kemudian
berpindah, bergelayut manja di punggung saya.
Kalimat
sepele memang. Namun efeknya bagi saya sangat luar biasa. Seolah- olah saya
memciptakan kompetisi tersendiri dengan pendaki lainnya di dalam diri saya yang
membuat saya tidak mau kalah dari kompetisi tersebut. Semua pendaki bisa
melalui trek ini, kenapa saya tidak?
Nah,
dalam pendakian ke Gunung Semeru di pertengahan Bulan November 2016 lalu, saya
berkesempatan mendaki bersama 15 orang sahabat pendaki saya dari Malaysia.
Tidak semuanya mempunyai tenaga yang bagus. Bagaimanapun, kekuatan masing-
masing orang tentu saja berbeda. Dalam rombongan kami ini juga demikian adanya.
Contohnya salah satu wanita di dalam rombongan kami, sebut saja namanya Putri.
Putri
sejak di awal trek hampir bisa dipastikan berada di urutan yang paling
belakang. Mulai dari Ranupane sampai ke Ranukumbolo. Semakin bertambah panjang
jalurnya, semakin jauh dia tertinggal. Dan itu mengharuskan saya sebagai sweeper untuk tetap berada lebih paling
belakang lagi untuk menjaga agar jangan ada anggota rombongan yang tertinggal.
Saat
menempuh jalur dari Ranukumbolo menuju ke Kalimati, cuaca yang tadinya sudah
berkabut tebal, perlahan namun pasti menjadi hujan yang mengguyur perjalanan
kami. Saat itulah kami menjumpai empat orang pendaki pria yang ternyata salah
satu dari mereka – sebut saja Awang – sudah kepayahan. Dalam kondisi basah
kuyup dan kedinginan, tambah lagi sahabat pendaki yang harus saya “kawal”
menuju Kalimati, mengingat bahwa empat orang sahabat pendaki lelaki ini baru
pertama kali naik ke Semeru.
Melihat
kondisi ini, saya mencoba untuk selalu “memompa” semangat si Awang yang sudah
kepayahan. Mereka sering menanyakan, “Jambangan masih jauh gak, Bang?” Dan
jawaban PHP (pemberi harapan palsu) saya selalu saja, “Dekat kok, 10 menit lagi
sampe” he he he. Biar gak kentara PHP nya, kadang saya selingi dengan, “Dekat
lagi kok. Itu di balik hutan pinus di dekat atas ini lokasi Jambangan”.
Sampai
pada suatu momen, si Awang terduduk untuk waktu yang cukup lama dengan alasan
telapak kakinya mulai terasa kram. Inilah momen saya mengeluarkan “sabda-
sabda” saya. “Setiap pendaki itu mempunyai beban yang sama. Mungkin ada yang
yang tidak membawa beban di pundak, sementara pendaki lainnya ada yang hanya
membawa daypack saja, sedang yang
lainnya juga ada yang membawa carrier
segede kulkas. Mereka sudah mengukur sendiri kemampuan mereka sebelum naik
gunung. Jangan dikira yang hanya membawa daypack
saja itu enak. Sesuai dengan kemampuannya, berat daypack itu juga sama menyulitkannya pada saat mendaki karena
kemampuannya memang segitu. Jadi, pendaki itu mempunyai beban yang sama. Yang
membedakan di antara mereka adalah semangat yang ada di dalam dada!” Ujar saya.
“Dan
ini berlaku juga buat saya, dan kamu juga, Awang. Jadi kamu harus tetap
memelihara semangat yang ada di dalam dada kamu, Awang!” Tambah penjelasan
saya.
Dan
dengan terseok- seok, akhirnya saya dapat “menggiring” si Awang dan kawan- kawannya sampai di lokasi Jambangan.
Mereka mempersilahkan saya untuk berangkat duluan ke Kalimati, sementara mereka
berdiang dulu untuk menghalau rasa dingin sementara waktu di Jambangan yang
kebetulan ada sedikit perapian yang dibuat oleh serombongan porter untuk
menghangatkan diri.
Pukul
00:00 WIB, team kami memulai pendakian menuju Puncak Mahameru. Dalam gelapnya
dingin malam, Putri tetap menjadi anggota terakhir di dalam barisan pendaki
yang menuju Puncak Mahameru, dan saya tetap menemaninya.
Setelah
melewati kawasan Cemoro Tunggal, saya harus meninggalkan Putri bersama seorang
porter yang menemaninya menuju puncak, karena ada anggota pendakian lainnya
yang membutuhkan panduan. Saat melewati Putri yang sedang “mengambil napas” di
trek pasir Semeru, Putri sempat melontarkan pertanyaan kepada saya, “Bams, mana
yang lebih penting dan dibutuhkan, tenaga atau semangat?”. Tanyanya.
“Yang
paling penting adalah semangat. Tenaga tanpa semangat tidak akan berarti apa-
apa”. Jawab saya sambil melanjutkan perjalanan naik ke puncak. Dalam perjalanan
naik ke puncak tersebut, terbersit keraguan juga di hati saya. Ragu apakah
Putri akan mampu mencapai Puncak Mahameru dengan keterbatasan tenaga yang
dimilikinya. Ah, seperti perjanjian awalnya sebelum naik ke puncak, jika jam 9
pagi Putri belum sampai ke puncak, maka secara otomatis dia harus turun ke
Kalimati untuk menjaga keamanan dan menghindari hal- hal yang tidak diinginkan.
Pukul
6:40 WIB, Alhamdulillah saya sampai di Puncak Mahameru. Sementara sebagian
besar rombongan sudah lebih dahulu berada di puncak tersebut, dan mereka pamit
untuk turun menuju ke Kalimati. Saya bersama beberapa orang yang tinggal di
puncak, menghabiskan waktu untuk mengambil dokumentasi sepuas- puasnya. Jam
sudah menunjukan angka 8:10 saat saya memutuskan untuk kembali turun ke
Kalimati, karena asumsi saya, Putri tidak mampu untuk melanjutkan pendakian
sampai ke Puncak Mahameru.
Namun
tiba- tiba saja wajahnya Putri menyembul dari balik bebatuan di pinggir jalur
dekat puncak, menapak tertatih- tatih, dan langsung merebahkan dirinya di
Puncak Mahameru sebagai ungkapan rasa syukur dan kepuasan dirinya yang sudah
dapat menjejakan kaki di puncak tertinggi di tanah Jawa. Saat itu, saya melihat
sosok yang luar biasa dengan tenaga terbatas, namun dengan semangat yang tak
terbatas.
Di
Bulan November 2016, dalam kurun waktu kurang dari satu bulan saya sudah
menggapai dua puncak tertinggi di ibu pertiwi, Semeru dan Latimojong. Namun
untuk penghargaan “climber of the month”,
saya yakin bahwa Putri lebih berhak untuk menerimanya. Sang pendaki dengan
semangat yang tak terpatahkan.
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Saat
semua energy sudah habis saat mendaki, ucapkan mantra saktinya; “Semua pendaki
mempunyai beban yang sama, yang membedakan di antara mereka adalah semangat
yang ada di dalam dada”. (Bams Nektar)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT
MENDAKI”
No comments:
Post a Comment