Pelajaran
“kecil” kadang kita dapatkan dari anak kecil.
By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#52
Gerimis
baru saja turun membasahi dusun terakhir di kaki Gunung Latimojong (3.478 mdpl)
saat saya menginjakan kaki di tanah yang kaya akan hasil dari perkebunan
kopinya tersebut. Siapa yang tidak kenal kopi Enrekang? Kopi yang juga menjadi
buah bibir yang namanya juga kesohor sampai ke kota saya yang jauh di ufuk
Barat sana, Batam. Berbicara tentang kopi di kopi tiam – sebutan untuk kedai
kopi di Batam dan sekitaran Kepulauan Riau – nama Enrekang pasti akan tersebut
beberapa kali. Dan Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk datang langsung ke
ladang kopinya di tanah Sulawesi ini.
Kopi
arabika hasil alam di daerah ini meraih predikat sebagai kopi “The Best Coffee”
terbaik diajang Lelang Kopi Internasioal 2016 di Bali, Desember baru- baru ini.
Kopi asal Beteng Alla, Kecamatan Baroko, Enrekang ini mendapatkan harga lelang
tertinggi dengan Rp450 ribu/kg, setelah mengalahkan puluhan kopi ternama di
Indonesia yang ikut berlomba pada ajang Lelang Kopi Internasioal tersebut. Kopi
arabika yang menjadi salah satu potensi terbesar di daerah itu telah diekspor
ke berbagai negara seperti Korea Selatan, Australia dan Norwegia.
Bicara
Gunung Latimojong, kita tidak akan pernah lepas dari nama Dusun Karangan. Dusun tertinggi di kaki Gunung Latimojong yang
subur, dengan pemandangan indah luar biasa. Tidak usah ke Pos 7 Gunung
Latimojong buat menikmati pemandangan surgawi, cukup kita tegak berdiri di Pos
1 Gunung Latimojong yang dapat dicapai dengan cepat dengan menaiki ojek yang
dikemudikan oleh joki- joki handal tempaan alam punggungan gunung, mata akan
dimanjakan oleh pemandangan lembah yang memanjang dan meliuk- liuk ke arah
Timur, hijau samar- samar dalam balutan kabut tipis Jumat pagi, kicau burung di
batas hutan tak jauh dari punggung kita, sesekali dahan- dahan pepohonan akan
bergoyang karena efek lompatan dari siamang- siamang yang berkejaran di atas
sana.
Saya
cepat- cepat berteduh di bawah rumah panggung milik Kepala Dusun Karangan untuk
menghindari gerimis yang mulai deras menjadi hujan, melepas sepatu di tangga
kayu yang menghubungkan lantai bawah ke lantai atas yang menjanjikan kenyamanan
dan kehangatan lantai kayu di teras atas yang tentu saja sudah menunggu seteko penuh seduhan kopi
panas asli dari Dusun Karangan.
Belum
habis secangkir kopi dalam genggaman saya saat bersenda gurau dengan beberapa
orang sahabat, sudut mata saya menangkap dua wajah mungil yang malu- malu
mengintip dari luar pintu. Saya tersenyum memperhatikan dua orang bocah laki-
laki yang seolah saling tolak menolak untuk maju ke depan pintu.
Saya
berinisiatif untuk mendatangi mereka di teras luar, dan membangun ikatan
pembicaraan dengan dua bocah dari Dusun Karangan ini. Oh, ternyata mereka
hendak menawarkan menjual buah kalpataru yang mereka dapatkan di hutan. “Memang
kalpatarunya bisa buat apa?” Tanya saya.
“Bisa
buat kalung dan gantungan kunci, om” Ujar mereka masih dengan mimik wajah malu-
malu.
Saya
langsung teringat pesan dari salah satu sahabat, saat saya akan memulai
perjalanan ke Gunung Latimojong ini, “Jangan lupa bawa kalpataru buat oleh-
oleh, ya” tulisnya di komen media sosial saya. Saya tidak begitu mengindahkan
pesan tersebut, karena memang saya tidak tahu di mana mencarinya? Di mana
mendapatkannya? Bagaimana bentuk pohonnya? Saya benar- benar buta tentang yang
namanya kalpataru. Yang saya tahu, kalpataru itu rupanya seperti rumput laut
meliuk- liuk tidak beraturan dan berbentuk bulat besar karena dijadikan tugu di
perempatan jalan oleh kota- kota yang sudah meraih penghargaan untuk lingkungan
hidup. Dan tentu saja trophy- nya lebih kecil ukurannya dibandingkan tugu di
perempatan tersebut.
Tidak mudah menemui
jenis tumbuhan ini di lingkungan perkotaan. Karena itu wajar, bila sebagian
besar masyarakat hanya mengenal kalpataru sebagai sebuah trofi yang diberikan
kepada mereka yang berprestasi di bidang lingkungan hidup. Atau lukisan bulatan
yang terbentuk dari akar- akar yang menjadi logo Kementerian Lingkungan Hidup.
Pada hal pohon Kalpataru, bukan sekedar mitos, tapi memang satu jenis pohon
sungguhan yang merupakan tanaman asli kawasan Asia Tenggara, yang tumbuh
menyebar di sepanjang pantai Samudera Hindia hingga Pasifik.
Pohon ini memiliki nama
ilmiah “Barringtonia asiatica,” dan
termasuk dalam suku “Barringtoniaceaf.
“ Namun masyarakat kerap menyebutnya sebagai pohon Keben. Pohon kalpataru
berbatang lunak, tingginya berkisar antara 5 hingga 7 meter. Pohon ini memiliki
banyak akar sehingga selain tegaknya menjadi kokoh, juga banyak menyimpan air.
Daunnya rimbun dan berdahan rindang sehingga sering dimanfaatkan banyak satwa
untuk dijadikan tempat membuat sarang. Kalpataru mempunyai bunga dan buah yang
indah. Daunnya tebal dan mengkilap, saat masih muda berwarna merah tua dengan
tulang daun merah muda. Para nelayan Papua kerap memanfaatkan biji kalpataru
untuk menuba (meracun) ikan. Biji ini juga bisa dijadikan obat kudis dan kejang
perut. Tapi belakangan, biji kalpataru mulai dipopulerkan sebagai obat tetes mata
yang manjur.
Karena
kerimbunan dan menjadi tempat berlindung berbagai jenis satwa, pohon Kalpataru
memiliki arti khusus dalam mitologi masyarakat Indonesia. Ia dianggap sebagai
pohon kehidupan. Dalam bahasa sansekerta, Kalpataru adalah kata majemuk yang
terbentuk dari perpaduan kata “Kalpa” yang berarti kehidupan, dan “Taru” yang
berarti pohon.
Eratnya,
pohon ini dengan nilai-nilai tradisi masyarakat Indonesia, setidaknya terlihat
pada banyaknya relief pohon Kalpataru menghiasi dinding sejumlah candi di tanah
air. Sayangnya, para penjual bibit tanaman jarang menjual jenis pohon ini,
sehingga bentuknya yang sebenarnya, jarang diketahui masyarakat.
Namun
saya benar- benar tidak mempunyai sedikit gambaran apapun tentang bentuk asli
buah kalpataru itu. Dan sekarang, dua bocah ingusan ada di hadapan saya dengan
tangan mungil penuh dengan buah kalpataru itu. Saya menghitung ada tiga
kalpataru di tangan si bocah berbaju motif garis- garis yang lebih berani untuk
bersuara.
Hati
saya tergerak untuk membeli kalpataru yang dia tawarkan. Pikiran “licik” saya
mulai bermain. Mereka khan masih kecil, mungkin umurnya sekitar 5 atau 6 tahun.
Anak dusun yang mungkin saja belum mengerti akan uang. Saya tawar saja habis-
habisan harganya pasti dia mau, khan lumayan duitnya bisa buat jajan di warung
bawah rumah pak Kepala Dusun.
“Harganya
berapa satu buah, sayang?” Tanya saya.
“Sepuluh
ribu, satu kalpataru” Jawabnya.
“Lima
ribu deh, satu buahnya” Tawar saya.
“Gak
bisa, om. Sepuluh ribu” Katanya menegaskan sambil menggelengkan kepala.
“Lima
ribu itu banyak lho, dek” Timpal saya. Tapi si bocah tetap kukuh tidak
bergeming.
“Ya
udah deh, om ambil semuanya. Tiga biji semuanya. Karena om ambil semuanya, om
minta diskon, yah. Ada tiga kalpataru, om ambil semuanya jadi dua puluh ribu
rupiah, ya?” Nego abis deh pokoknya.
“
Lima puluh ribu”. Jawabnya lagi. Gubraakk…!!! Saya kaget…
Lima
puluh ribu rupiah untuk tiga buah kalpataru? Hah? Satu kalpataru harganya
sepuluh ribu, jadi tiga kalpataru semuanya menjadi lima puluh ribu rupiah. Saya
dikadalin ama bocah ingusan. Hancur reputasi saya di negeri orang…
Saya
terus membujuk si bocah dengan berbagai macam jurus tawar menawar yang saya
punya. Pokoknya saya kokoh tidak mau kalah pada diplomasi tingkat tinggi ini. Ini
adalah nego bisnis tingkat tinggi di dataran dusun tertinggi pula. Sampai-
sampai saya menunjukan cara berhitung dengan kalpataru di tangannya.
“Ayo kita hitung bersama ya, dek. Ini
kalpatarunya satu, dua, tiga, yah.” Sambil memindahkan satu persatu buah
kalpatru dari tangan kanan ke tangan kirinya.
“Jadi
ada tiga buah kalpataru ya, dek. Satu kalpataru harganya sepuluh ribu. Jadi tiga
kalpataru totalnya jadi tiga puluh ribu, bukan?” Ajar saya.
Dengan
masih santai si bocah nyeletuk, “Lima puluh ribu…”
Tetap
tuh, si bocah tidak mau bergeming. Hadeh… pusing pala om berbi…
Tumpul
abis jurus negosiasi saya berhadapan dengan bocah ini. “Aduh dek, besaran dikit
kamu, om rekrut jadi sales di perusahaannya om, mau yah?” Tawar saya.
Dan
tiga lembar sepuluhan ribupun berpindah tangan di dalam dinginnya cuaca sore
itu, mengiringi larian kecil dua bocah di bawah rinai sambil tertawa kegirangan
karena menang dalam dalam negosiasi penjualan yang baru saja mereka lakukan.
Hasilnya, dagangan mereka ludes diborong om- om ganteng :D
Transaksi
sederhana memang. Dengan nilai yang juga sederhana. Namun prosesnya rumit tiada
tara. Bagi saya pribadi ada filosofi dan pengajaran yang dapat saya ambil dari
interaksi itu.
Si
bocah baru saja mengajarkan keteguhan hati bak karang di lautan. Tak peduli
bagaimanapun ombak menerjang, karang tetap saja karang, kokoh menantang. Tak
peduli bagaimanpun om gantengnya menawar dan merayu, tetap saja lima puluh
ribu. Ha…
Pembelajaran
oleh bocah mungil tentang keteguhan hati di sore itu menjadi pegangan saya di
jalur Latimojong keesokan harinya. Tujuh jam tanpa henti dihajar hujan di
sepanjang jalur Latimojong yang licin dan terjal menantang, keteguhan
hati yang diajarkan oleh bocah mungil itu tetap membekas.
Dan
keteguhan hati seperti karang menjulang itu pula yang seharusnya dimiliki oleh
sahabat pendaki yang membaca tulisan ini.
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
”.
(Bams Nektar)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT
MENDAKI”
No comments:
Post a Comment