By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#53
Butuh
waktu setidaknya sekitar dua jam lamanya dari Batam, dengan menaiki kapal ferry
untuk menginjakan kaki di Pelabuhan Situlang Laut di Johor Bahru, Malaysia.
Perjalanan yang cukup untuk menumbuhkan rasa bosan karena ruang gerak saya
selama dua jam itu hanya beredar di sekitar dek penumpang, atau naik ke atap kapal ferry hanya untuk menghirup udara
segar dari angin laut, atau untuk memanjakan mata dengan pemandangan
kapal-kapal yang sedang lego jangkar di sepanjang jalur pelayaran menuju Johor
Bahru ini. Setidaknya kebosanan itu sedikit terobati dengan sunset cantik yang
hadir saat kapal ferry yang saya tumpangi memasuki perairan Johor.
Pelabuhan
ferry Johor Bahru bisa dikatakan identik dengan beberapa pelabuhan ferry di
Batam, dimana pelabuhan tersebut menyatu langsung dengan mall atau terhubung
dengan mall yang memudahkan para pengunjung untuk berbelanja. Antrian tidak
terlalu panjang saat saya mendekati konter-konter tempat pemeriksaan imigrasi,
dan tidak menghabiskan waktu lama bagi saya untuk sampai di konter imigrasi
itu, saat paspor bersampul warna hijau dan bergambar garuda milik saya mendapatkan
cap dari imigrasi Malaysia.
Dua
atau tiga pertanyaan dari petugas imigrasi tentang maksud kunjungan saya ke
Johor, saya jawab dengan lancar dengan menggunakan bahasa Melayu. Sesekali
petugas tersebut mencuri pandang kepada carrier yang tersandang di punggung
saya. Tak terlalu sulit membawakan dan menggunakan bahasa Melayu, mengingat di Batam
pun bahasa Melayu seringkali saya dengar, bahkan sering saya bawakan saat
berinteraksi dengan masyarakat yang ada di pulau-pulau di sekitar Batam saat
berkegiatan jelajah pulau atau jelajah kampung tua yang ada di Batam.
Pepatah
bilang, alah bisa karena biasa. Mungkin benar adanya. Dimana kita berada,
sedikit banyak kita akan terpengaruh oleh keadaan di sekitar kita. Misalnya
saja masalah bahasa itu tadi. Apalagi film anak-anak ipin dan upin juga sering
ditayangkan di Indonesia, sehingga bahasa Melayu tentunya bukan sesuatu yang
asing lagi bagi saya.
Sekitar
tahun 2010 yang lalu, untuk alasan pekerjaan, saya sempat merasakan berdomisili
di kota Medan, Sumatera Utara untuk waktu kurang lebih sekitar dua tahun
lamanya. Berinteraksi dengan penduduk sekitarnya dan menjelajahi beberapa
bagian kota Medan. Satu hal yang tanpa saya sadari adalah, lalu lintas jalanan
di kota Medan sudah mempengaruhi cara saya membawa dan menggunakan kendaraan.
Di beberapa persimpangan jalanan di kota Medan, meskipun sudah ada lampu
pengatur lalu lintas, tetap saja ada beberapa orang yang “nyelonong” menerobos
saat lampu masih berwarna merah. Bahkan saat di sisi bagian jalan kita lampu
pengatur lalu lintasnya sudah berwarna hijau, tetap saja di bagian sisi yang
sedang lampu merah tetap menerobos. Apalagi di persimpangan yang tidak memiliki
lampu pengatur lampu lalu lintas, jika tidak kita paksakan “hidung” kendaraan
kita untuk masuk menerobos padatnya lalu lintas, jangan harap kita diberi
kesempatan jalan oleh pengguna jalan lainnya.
Demikian
berjalan dari hari ke hari, dan itu sudah menjadi suatu kebiasaan bagi saya
yang saat itu memang bekerja lebih banyak di lapangan.
Saat
mendapatkan waktu untuk pulang ke Batam, dan saat saya membawa kendaraan dengan
penumpang teman-teman sekantor di Batam, mereka semua langsung mengomentari
tentang bagaimana cara saya membawa kendaraan. “Lebih brutal” dari biasanya,
istilah mereka. Saya lebih suka meminjam istilah yang sedang hangat di tahun
ini, “Lebih radikal!”, hi hi hi. Saya merasa membawa kendaraan biasa saja.
Namun, teman-teman yang menilai dan merasakan perubahan dari cara saya membawa
kendaraan. Kota Medan sedikit banyak telah merubah karakter saya.
Karakter kita bisa
saja berubah, sedikit atau banyak, tergantung kepada lamanya waktu kita berada
di suatu daerah atau suatu suasana. Sebagai contoh, jika kita merantau ke
Hongkong atau Taiwan, perubahan mencolok yang terjadi pada para perantau WNI di
Negara ini lebih ketara pada sisi gaya hidupnya. Khususnya adalah, pada cara
berpakaian dan pergaulan mereka.
Contoh lainnya adalah,
para perantau WNI yang ke Jepang, menghabiskan sebagian besar waktu untuk
bekerja. Pekerjaan di Jepang mencakup banyak bidang, sebagian besar WNI di sini
berprofesi sebagai pemagang yang mengisi lowongan pekerjaan di berbagai sektor
industri Jepang. Karena Jepang adalah negara yang maju, disiplin, sibuk dan
bersih, ada dampak baik yang mempengaruhi perubahan sikap WNI perantau di
negara Matahari Terbit ini.
Suasana di Jepang ini
tentunya mengubah karakter para perantau WNI. Mereka menjadi lebih disiplin dan
tepat waktu serta fokus terhadap pekerjaan yang dibebankan kepada mereka.
Mereka menjadi peduli terhadap efisiensi waktu, dan kebersihan. Gaya hidup mereka
beralih ke lebih mengenal kemajuan teknologi, mulai menggunakan gadget mutakhir,
mulai dari smartphone, drone, kamera, laptop dan berbagai piranti canggih lainnya.
Mereka mulai peduli dengan merk barang yang mereka pakai, dan mulai terbiasa
membeli makanan dan minuman dari kotak yang memiliki berbagai tombol berfungsi
untuk memilih barang yang akan dibeli. Mereka terbiasa tergesa-gesa mengejar
jadwal kereta.
Bagaimana dengan para
perantau yang pergi ke Negara-negara Amerika ataupun ke Eropa? Ini adalah negara
bebas, Bung! Selama apa yang anda lakukan itu dianggap legal di sana, anda mungkin
saja bebas melakukan apa saja, seperti bermesraan atau bahkan termasuk
telanjang di muka umum. Mungkin anda akan mulai memiliki tingkat kesombongan sampai
level langit ketujuh. Anda bisa saja mulai lebih mementingkan diri anda sendiri
dibandingkan lingkungan sekitarnya. Hal-hal peka ketimuran yang anda dapatkan
di surau-surau jauh di pelosok negeri Sumatera bernama Indonesia mungkin saja
menjadi blur. Sama seperti halnya tata
karma yang anda jaga dan anda dapatkan di tanah Jawa, mungkin saja menjadi
luntur.
Bahkan jika anda
merantau ke negeri-negeri di Timur sana, Negara-negara di Semenanjung Arab,
anda mungkin akan mendapatkan memiliki pengalaman spritual yang mencerahkan.
Aktivitas keagamaan yang kuat dari masyarakat sekitar anda akan menarik anda ke
dalam suatu bentuk “kelahiran baru”. Di sini anda bukan hanya bekerja dan menghasilkan
uang, namun anda juga akan mendalami arti hidup dengan beribadah. Anda sedikit
banyak akan terpengaruh suasananya.
Semua gambaran perubahan
karena tempat dan suasana di atas juga berlaku sama di dalam pergaulan para
pendaki. Bergaul dengan sahabat-sahabat sesama pendaki akan mempengaruhi anda
untuk menjadi pendaki yang lebih baik lagi dengan mendengarkan dan belajar dari
pengalaman para sahabat pendaki anda. Anda mungkin saja kemana-mana menjadi
terbiasa menggunakan jungle boot,
sementara buff mungkin saja selalu menghiasi kepala atau bagian leher anda
meskipun saat anda sedang mengetik di balik layar computer dalam ruang ber-AC.
Memakai celana lapangan dengan banyak saku lebih nyaman rasanya dibandingkan
menggunakan celana katun formal, serta merasa baju quick dry lebih modis dibandingkan kemeja berdasi. Beberapa dari
anda yang pria mungkin juga berubah cara pandangnya terhadap wanita dengan
memposting di wall media sosialnya sebuah meme bertuliskan “Wanita dengan
ransel dipundaknya, jauh lebih menarik
daripada wanita dengan tas Hermes dijinjingannya”, halaaahhhh…
Apapun perubahan yang
menarik anda ke dalam suatu suasana karena pengaruh hobby, atau pengaruh
tempat, yang jelas anda – sahabat pendaki – harus tetap dapat memilih perubahan
yang mengarah kepada hal positif, berubah menuju sikap yang lebih baik lagi.
Tentunya tanpa meninggalkan nilai-nilai kehormatan yang telah anda dapatkan
sebelumnya di daerah asal anda.
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
“Ikan
tidak menjadi asin walaupun ia hidup di laut yang asin” (Bams Nektar)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment