By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#54
Saya
tidak tahu mengapa orang tuanya memberi nama kepadanya dengan nama yang unik,
yaitu “Cilik”. Bisa jadi karena postur tubuhnya yang kecil. Tapi mungkin bukan
karena hal tersebut. Postur tubuh yang kecil baru terlihat setelah dia dewasa,
bukan? Adalah mustahil orang tua memberi nama kepada anaknya setelah melihat
anaknya dewasa. Namun, nama Cilik itulah yang kami tahu saat dia memperkenalkan
diri di malam sebelum pendakian ke Bukit Raya, sesaat sebelum upacara adat
pelepasan pendaki dilaksanakan di dalam homestay tempat tim kami menginap.
Cilik
adalah salah satu dari tiga orang porter yang akan mengiringi tim kami ke Bukit
Raya, menuju Puncak Kakam. Setidaknya enam hari ke depan, Cilik akan menjadi
teman seperjalanan kami di sepanjang rerimbunnya pepohonan hutan Kalimantan di
trek pendakian Bukit Raya.
Di
hari pertama perjalanan saja sudah terjalin keakraban yang mendalam diantara
tim pendaki dan para porter, khususnya si Cilik. Umurnya sekitar duapuluhan,
namun sudah memiliki seorang anak yang belum berumur satu tahun. Pribadi yang
bersahaja dengan sikap yang mudah diajak bercanda dan suka bergurau tentu saja
menambah cepatnya interaksi diantara kami. Bukankah di setiap tim pendaki di
dalam perjalanannya membutuhkan seseorang yang bisa dan dapat dijadikan bahan
bully-an? Dan tim pemdakian kamipun butuh seseorang yang dapat dijadikan bahan
bully? Si Cilik… He he he
Malam
pertama pendakian kami habiskan di Pos 1 Bukit Raya untuk beristirahat
mengumpulkan energy guna pendakian esok harinya. Pos 1 ini berupa sedikit tanah
terbuka berukuran sekitar 4 x 8 meter. Sebuah aliran sungai kecil berair jernih
terletak sekitar 4 meter di sebelahnya, tempat pendaki atau para pemburu
mengambil kebutuhan air. Pepohonan rindang melingkupi lokasi ini dan memberikan
kesejukan dari sengatan Matahari. Beberapa tiang pancang membentuk huruf “X”
ada di tengah-tengah camp ini. Belakangan saya tahu bahwa tiang-tiang pancang
berbentuk huruf “X” tersebut adalah pondasi tempat tidur ayun bagi para porter
atau para pemburu yang bermalam di sana.
Saat
malam menjelang, Cilik dan Handoko – salah satu pendaki – pergi memancing ikan
ke arah hilir sungai kecil di camp ini.
Sekitar dua atau tiga jam kemudian mereka berdua kembali ke camp dengan membawa
setidaknya delapan ekor ikan gabus berukuran sedang. Jadilah malam itu tim kami
mendapatkan tambahan menu ikan gabus rebus mie, karena memang direbus dan
langsung dicampurkan ke dalam mie rebus.
Sambil
merebus ikan gabus, saya sempat menggali informasi ke Cilik. Mengapa dia tahu
dimana tempat memancing ikan gabus di dalam hutan belantara Kalimantan ini?
Padahal lokasi Pos 1 pendakian Bukit raya ini letaknya sekitar 4 jam hiking
dari Pos Korong HP dan ditambah 1 jam dengan menaiki ojek dari kampung Rantau Malam menuju Korong HP. Jika jalan
kaki jaraknya mungkin ditempuh sekitar 6-8 jam dari Rantau Malam.
Cilik
bercerita, bahwa ia sehari-harinya berprofesi serabutan. Kadang berburu rusa
atau babi, atau juga ular agar dagingnya dapat dijual guna memenuhi kebutuhan
hidup rumah tangganya. Kadang juga mengambil borongan membersihkan atau
menyadap pohon karet milik tuan tanah. Hari lainnya juga digunakan untuk
memancing ikan di sepanjang sungai yang melewati Dusun Rantau Malam tempat ia
bertempat tinggal. Semua itu jika ada hasilnya akan ia jual dan digunakan untuk
menghidupi istri dan anaknya. Termasuk penghasilan saat ia menjadi porter bagi
para pendaki yang menuju ke Bukit Raya. Apa saja pekerjaan yang ada akan dia
jalani agar dapur tetap ngebul.
Dalam
kontek ini, Cilik bercerita bahwa ia kadangkala sendirian saja menginap sampai
ke Pos 1 Bukit Raya ini mencari ikan untuk mendapatkan penghasilan atau sekedar
lauk untuk makan di rumah. Saya sempat bertanya, apakah Cilik tidak takut
sendirian mencari ikan dan tidur di dalam hutan di Pos 1 Bukit Raya ini?
Awalnya tentu saja Cilik takut berada sendirian di dalam hutan belantara, namun
harus bagaimana lagi? Anak lapar di rumah, makan maunya dengan lauk ikan. Sudah
mencoba memancing di tepian sungai di Dusun Rantau Malam namun tidak
mendapatkan hasil, jadi diri dipaksakan masuk ke dalam lebatnya hutan belantara,
mengenyampingkan semua rasa takut yang ada dan juga tidak menghiraukan bahaya
yang mungkin mengancam untuk mencari ikan agar anak mau makan.
Sampai
di sini saya terdiam sambil menatap ikan gabus yang mulai empuk di dalam air
mendidih yang terjerang di atas nesting. Sedemikian hebatnya pengorbanan
seorang ayah untuk kebutuhan anaknya dan keluarganya. Semua ditempuh untuk si
buah hati di rumah. Tempat yang jauh di dalam hutan, kesunyian yang mengiringi
perjalanan, bahaya yang mengancam, semua itu harus dikesampingkan hanya untuk
sekedar anak dapat mendapatkan gurihnya daging ikan sebagai teman makan.
Ingatan
saya malah melambung ke masa sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Saat itu saya
masih bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan. Gaji yang saya
dapatkan saat itu walaupun sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku,
namun masih terasa kurang untuk menutupi kebutuhan rumah tangga yang semakin
hari diringi dengan kenaikan harga dimana-mana. Pemasukan dari bidang lainpun
saya tidak punya. Otomatis kehidupan kami betul-betul hanya bergantung dari
gaji bulanan yang saya terima setiap bulannya.
Saya
ingat betul masa-masa itu, untuk menghemat belanja dapur agar cukup untuk di
rumah, saya harus benar-benar menghemat pengeluaran saya saat saya sedang
bekerja. Untuk makan siang lupakan nasi. Nasi terlalu mewah dan “mahal” untuk
saya. Harganya saat itu Rp. 10.000 perbungkus yang termurah dengan lauk
sepotong ikan. Cukup dengan dua ribu rupiah saja saya sudah dapat mengganti
makan siang dengan tiga potong ubi atau ketela goreng yang biasa saya beli di
depan sebuah masjid di Batam Center setelah menunaikan fardu zuhur. Atau jika
masih terasa belum kenyang, dapat ditambah lagi dengan dua ribu berikutnya. Dari
pada membeli nasi seharga Rp. 10.000,- , saya memilih membeli gorengan. Saya
bisa hemat Rp. 6.000,- sampai Rp. 8.000,- setiap harinya. Jika dikalikan
sebulan, saya dapat menghemat Rp. 180.000,- hingga Rp. 240.000,- sebagai
tambahan biaya dapur di rumah.
Setiap
hari dengan menu “makan siang” yang demikian – 3 potong gorengan – kadang
membuat saya bosan. Hendak menelan gorengan berikutnya sudah tidak tertelan
lagi karena rasa eneg. Kadang juga tidak mengenyangkan. Pernah beberapa kali
setelah habis enam potong gorengan, perut saya masih terasa lapar, bahkan
tangan saya masih terasa bergetar karena rasa lapar. Namun semua itu harus
dipaksa dan dijalani sebagai kepala keluarga. Anak dan istri di rumah tidak
perlu tahu tentang hal ini. Sampai pada suatu titik, saat saya sedang memaksa
masuknya ubi goreng ke kerongkongan saya, terbetik di dalam hati bahwa, jika
nantinya saya ditakdirkan mempunyai rezeki lebih dan berkecukupan, saya tidak
akan pernah dan tidak akan mau lagi makan ubi goreng. Sudah eneg. Sudah muak…
Sampai
8-9 tahun kemudian, secara tidak sengaja saya bersama keluarga singgah di
masjid untuk menunaikan fardu ashar, dan setelah itu istri saya membeli jajanan
di pinggir jalan buat cemilan di mobil. Coba tebak apa yang dia beli? Ya…, ubi
goreng…
Ubi
goreng yang sama yang saya jadikan “makan siang” di masa lalu. Ubi goreng dari
kedai yang sama di masa lalu. Ubi goreng yang sama yang saya sudah pernah
bersumpah untuk tidak memakannya lagi di masa lalu, jika saya sudah
berkecukupan.
Cukup
lama saya terdiam dengan ubi goreng masih ada di telapak tangan saya, dan
tiba-tiba saja air mata saya menetes. Istri saya menatap saya keheranan.
Mungkin ini air mata saya yang pertama kali dilihatnya sejak kami menikah 18
tahun yang lalu. Istri saya bertanya dalam keheranannya, mengapa saya
mengeluarkan air mata? Apakah ada sesuatu yang salah? Apakah ada suatu bagian
tubuh saya yang merasa sakit? Saya hanya dapat menggelengkan kepala untuk
memberitahukan kepadanya bahwa tidak ada yang salah, tidak ada yang sakit. Tapi
saya masih belum kuasa untuk menjelaskan cerita tentang ubi goreng yang ada di
tangan saya.
Istri
menunggu sampai saya dapat menguasai diri saya. Beberapa saat kemudian dengan
terbata-bata saya mencoba menjelaskan kepadanya tentang masa lalu si ubi goreng
yang ada di tangan saya, yang intinya adalah tentang sebagian kecil pengorbanan
suaminya di masa lalu agar kebutuhan dapur dapat tetap bisa tercukupi. Belum
habis saya bercerita dengan terbata-bata, istripun sudah berurai air mata
mendengarkannya. Jadilah kami bertangis-tangisan ba’da ashar tersebut di tepian jalan. Tepat di depan
gerobak penjual gorengan.
Di
lain waktu terkadang saya menyembunyikan beberapa hal kecil lainnya dari
keluarga. Misalnya masalah remeh-temeh seperti jari-jari tangan yang terluka
saat memperbaiki mesin-mesin di kantor, atau kulit tangan yang menggelembung
berisi air karena tersengat panasnya uap mesin kerja, atau juga kulit kaki atau
siku yang terkelupas dan membiru karena sedikit kecelakaan kerja. Namun
terkadang luka-luka atau lebam tersebut selalu terlihat oleh istri di rumah.
Sepintar apapun saya menyembunyikannya, ada saja tindakan yang membuat saya
lupa dan tiba-tiba luka-luka tersebut dapat diketahui oleh istri. Entah saat
saya secara tidak sengaja meringis karena luka tersebut terkena air, atau luka
lebam itu terlihat saat saya akan memakai baju setelah membersihkan diri
sehabis mandi.
Lain
waktu saat saya terdiam dan tiba-tiba mengusap bagian tubuh yang terasa sakit,
istri selalu tahu dan merespon begitu cepat melihat perubahan itu. Dia akan
langsung bertanya, kena apa tangannya? Kenapa lebam siku lengannya? Jika sudah
seperti itu, jawaban saya pasti seragam dari dulu tidak berubah, “Tidak apa-apa,
sayank. Nanti juga sembuh sendiri” tanpa memberitahukan apa penyebab dari itu
semua, atau apa yang sudah saya lalui sehingga mendapatkan luka-luka tersebut.
Tidak lain tentu saja karena saya tidak mau istri khawatir dan bersedih hati.
Setelah
itu istri biasanya akan memaksa untuk melihat bekas luka atau lebam tersebut
walaupun saya berusaha mati-matian untuk menepisnya sambil menyembunyikan rasa
nyeri atau rasa pedih dari luka itu, dan berusaha untuk menutupinya dengan
telapak tangan saya. Dia akan tetap memaksa meraih bagian yang terluka,
mengusap-usap sekeliling luka atau mengecup lembut lebam yang ada dengan mata
yang berkaca-kaca. Saya menangkap isyarat terima kasih karena telah
menafkahinya dengan cara yang tidak biasa. Setelah itu saya akan “dimanja”
dengan merahnya obat luka atau bau menyengat parem yang digiling untuk
mengkompres lebam yang ada. “Lain kali hati-hati dalam bekerja!” lirih sedihnya.
Mungkin
itu sedikit pengorbanan saya untuk keluarga saya. Cilik sang porter juga
melakukan pengorbanan yang sedemikian rupa buat keluarga kecilnya. Anda
sendiripun sahabat pendaki yang sudah berkeluarga juga pernah malakukan
pengorbanan di luar rumah agar anak anda, istri anda, agar keluarga anda dapat
makan, dapat mengecap sedikit jalan-jalan untuk menghibur keluarga anda.
Ayah
saya mungkin juga telah melakukan pengorbanan yang saya tidak pernah tahu agar
saya bisa mengecap bangku pendidikan yang lumayan tinggi, dan mungkin juga
beliau beranggapan bahwa, keluarga di rumah tidak perlu tahu bahwa beliau sudah
melakukan ini atau melakukan itu di luar.
Ayah
anda juga sahabat pendaki yang membaca tulisan ini, mungkin akan berbuat hal
yang sama, bahkan pengorbanannya di luar adakalanya lebih berat lagi dahulunya
saat menafkahi anda, ibu anda, keluarga anda. Mungkin beliau tidak makan di
luar sana saat bekerja, kadang ada bagian tubuh dari ayah yang terluka saat
bekerja yang dia sembunyikan agar anak dan istri tidak khawatir di rumah.
Bagaimana kulitnya sakit dan menghitam kepanasan dijilat sinar mentari.
Bagaimana tubuhnya menggigil dalam basah kuyup setelah kehujanan. Bagaimana
rasa haus yang mendera kerongkongannya saat bekerja yang dia tidak beritahukan
di rumah. Belum lagi omelan bos di kantor dan makian pelanggan yang tidak puas
di lapangan. Tidak semuanya harus diceritakan di rumah. Yah, tidak semuanya
harus diceritakan di rumah!
Dari
semua pengorbanan itu, tetap saja seorang ayah tidak mendapatkan hari khusus
untuknya secara nasional bukan? Sebagaimana kita biasanya kita memperingati
adanya hari ibu di tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Yah, tidak semuanya
harus dirayakan di rumah!
Setelah
membaca tulisan ini, bagi anda sahabat pendaki yang ayahnya masih ada dan
tinggal berdekatan, jumpai beliau. Ungkapkan betapa anda menghargai segala
pengobanan dan jerih payah beliau selama ini untuk anda. Berterima kasihlah
kepadanya, peluk dia. Coba ingat kapan terakhir kali anda memeluknya?
Jika
anda ada di perantauan dan ayah anda jauh di kampung sana, segera telpon dia.
Ungkapkan rasa rindu anda, tanyakan kabarnya, berterima kasihlah kepadanya. Dan
jika ayah anda sudah terlebih dahulu berpindah alam, kunjungi pusaranya, atau
jika jauh, doakan dia. Ini Ramadhan… Semua ruh berharap doa dari anak-anaknya.
Ya,
ini Ramadhan, dimana untaian doa-doa sepatutnya
bertabur buat orang tua kita.
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
Ayah…
Dalam hening sepi kurindu
Untuk
menuai padi milik kita
Tapi
kerinduan hanya tinggal hanya kerinduan
Anakmu
sekarang banyak menanggung beban
(Titip
Rindu Buat Ayah - Ebiet G. Ade)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak :
“GUNAKAN HATI SAAT
MENDAKI”
No comments:
Post a Comment