Friday, August 17, 2018

BENDERA DAN HARAPAN

By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki #55

Merdeka…! Kata yang satu ini sangat banyak kita  baca atau kita dengar di bulan ini. Bulan Agustus dimana kita memang memperingati hari kemerdekaan negara kita tercinta ini setiap tahunnya.


Seperti kata lainnya, kata “merdeka” mempunyai banyak arti, dan penerjemahannya tentu saja dapat dilihat dari sisi manapun. Tergantung siapa yang menerjemahkannya, dari sudut pandang mana si penerjemah melihatnya. Bahkan “merdeka” dalam kaca mata seorang pendaki-pun menurut saya pasti berbeda-beda. Bisa jadi berbeda pemahaman karena perbedaan umur si pendaki, berbeda pemahaman karena jam terbang si pendaki, atau bisa juga berbeda pemahaman karena kadar kegantengan si pendaki itu sendiri – sampai di sini saya pake pomade dan nyisir dulu. Bagi anda sahabat pendaki yang memahami “merdeka” dengan ukuran pemahaman berdasarkan kecentilan, silahkan jika mau pake parfum terlebih dahulu, setelah itu boleh melanjutkan baca tulisan ini lagi – , lanjut…

Contohnya, bagi saya pribadi, dalam visi saya sebagai seorang pendaki, merdeka itu seharusnya harga tiket pesawat tidak menjajah saya, sehingga jika saya ingin naik gunung dimanapun di nusantara ini, kocek saya tidak terkuras sampai ke dasarnya. Artinya? Saya akui bahwa sebagai pendaki saya masih belum merdeka.

Bagi anda sahabat pendaki, dalam visi sebagian dari anda, bisa jadi “merdeka” itu adalah ketika jatah cuti selama dua belas hari dalam setahun tidak cukup! Sehingga saat masa cuti itu habis dipakai untuk berbagai macam keperluan, tetiba gebetan kamu ngajak naik gunung. Nah, situasi ini dapat kamu gunakan nantinya untuk memperlancar pedekate – baca; pendekatan – kamu yang tentunya di suatu pos bayangan sana bisa kamu ungkapkan perasaan hatimu ke si dia. Namun apalah daya, jatah cuti sudah selesai, dan kamu harus merelakan si doi ditemani sahabatmu yang yang lagi santai – nganggur – untuk menemaninya di jalur.

Kamu sahabat pendaki, sedang dijajah oleh pekerjaanmu. Gamangnya lagi, kamu sedang diokupansi oleh sahabatmu sendiri.  Rasa gamang itu akan semakin perih saat calon doi mu setelah turun gunung malah resmi jadi doi sahabatmu. Harus kamu akui bahwa kamu belum merdeka!

Kamu, sahabat pendaki lainnya, tentunya mempunyai banyak hal yang membuat kamu belum merdeka sebagai pendaki. Coba renungkan sejenak! Bisa jadi satu atau dua alasan yang sedang menjajahmu. Tidak dapat restu dari orang tua untuk naik gunung? Budget untuk naik gunung tidak terkumpul tepat waktu, atau kesehatanmu yang tidak memungkinkan. Bisa jadi kekasihmu mengultimatum putus, jika kamu naik gunung tanpa seizinnya. Kamu bisa ajah bilang, “lebih baik putus dengan kekasih hati daripada gak bisa naik gunung”. Itu jika kekasih hatimu standar. Nah, jika kekasih hatimu ga ada selisihnya ama Via Vallen? Serius mau putus lo..?

Jika ditanyakan ke saya, mending saya hibahkan jutaan peralatan naik gunung itu buat anda sahabat pendaki, dari pada saya putus sama Via Vallen. Trus saya mimpi lagi beli gear yang baru sama pacaran ama artis baru lagi untuk tulisan saya yang berikutnya, hi hi hi…

Bicara “merdeka” tentunya kita tidak lepas dari bendera. Mungkin sahabat pendaki ada yang belum tahu apa yang dimaksud dengan “bendera”? Di pelajaran formal, maksud kata “bendera” ini sangat jarang diketahui. Padahal kita selalu mengucapkannya. Anak-anak sekolah setiap senin bahkan selalu mengikuti upacara pengibaran bendera di sekolahnya masing-masing.

Yang dimaksud “bendera” sendiri artinya saya dapatkan pada masa mengikuti kegiatan kepramukaan saat di jenjang bangku es em pe (SMP/ Sekolah Menengah Pertama) dulu. Kakak Pembina mengajarkan bahwa, bendera adalah secarik kain yang dibentuk sedemikian rupa dan dijadikan lambang kehormatan. Kira-kira demikian artinya yang masih sangat saya ingat sampai saat ini.

Bendera, atau dalam hal ini adalah Sang Merah Putih, saya yakin sering dibawa naik gunung oleh anda sahabat pendaki, apalagi saat pendakian di Bulan Agustus. Bahkan memang dikhususkan membawa bendera merah putih untuk dikibarkan di puncak gunung. Rasa patriot dan nasionalis memang sedang tinggi-tingginya di bulan ini.

Karena pentingnya secarik bendera, jangan salah, karena secarik bendera saja sudah cukup untuk menghebohkan diskusi di media sosial tentang bagaimana Lalu Zohri kesulitan mencari bendera negaranya untuk melakukan selebrasi setelah menjuari kejuaraan lari internasional kategori 100 m di Finlandia beberapa waktu lalu, atau bagaimana hebohnya nitizen saat salah satu pesebakbola dari negeri jiran Malaysia yang mengunggah bendera Indonesia dalam posisi terbalik di akun media sosialnya.

Di satu sisi, bendera dapat mempersatukan kita. Kita akan merasa senasib sepenanggungan jika berada di bawah bendera yang sama. Namun di sisi lain, bendera dapat memecah belah kita, karena memisahkan kita menjadi berbeda bangsa, berbeda organisasi, atau berbeda aviliasi.

Sebagai pendaki, mungkin sahabat pendaki ada yang selalu tidak pernah ketinggalan membawa bendera di setiap perjalanannya. Saya salut dengan anda. Banyak dari anda juga mungkin melupakan hal “kecil” ini. Kita lebih sibuk mengingat barang bawaan kecil mana lagi yang belum masuk ke dalam carrier. Nesting, buff, pembalut, kacamata, dan seterusnya. Bendera? Lupa…

Sayapun demikian juga adanya. Sering melupakan membawa bendera saat pendakian, dan hal ini benar-benar saya sesali sebagai suatu keteledoran saya. Walaupun demikian, kita pasti akan sangat menyesalkan bahwa ada sahabat pendaki yang tidak lupa membawa benderanya ke gunung, namun malah mencoret-coret bendera tersebut sebagai selebrasi bagi mereka. Ini tugas anda sahabat pendaki untuk memberikan pencerahan kepada mereka.

Membawa bendera naik ke gunung tentu saja lebih banyak faedahnya bagi pendaki. Yang paling umum tentunya untuk ber-selfie ria dengan berbagai macam gaya. Siapa tahu nanti stok fotonya dapat diikutkan dalam suatu kompetisi foto berhadiah. Dalam keadaan darurat, bendera yang dibawa dapat dijadikan pembalut pada luka. Jadi ala-ala masa perjuangan gitu. Ujung-ujungnya tetap difoto juga dengan caption yang dibuat sepatriot mungkin. “Walaupun darah membanjiri, bla bla blab la… “. Gagah abang loh dek… Atau bendera bisa dimodifikasi menjadi tourniquet untuk menghentikan pendarahan, atau bisa jadi bidai bagi tangan yang patah. Dalam keadaan darurat lainnya saat tersesat, bendera dapat digunakan sebagai pemancing pembakaran awal dalam membuat api atau serpihannya dapat dijadikan sebagai penanda jalur.

Dalam satu kesempatan pendakian ke Gunung Kerinci di tahun 1995, selembar bendera merah putih pernah berjasa bagi tim pendakian saya saat itu. Tim kami saat itu berjumlah tiga orang (saya, Rino dan Bang Heri). Pendakian kami mulai setelah waktu zuhur, dan rencananya tim kami akan langsung camp di shelter dua Gunung Kerinci, karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan dan dilibas oleh hujan badai, dengan terpaksa tim kecil ini merapat untuk beristirahat di shelter satu Gunung Kerinci.

Pendakian saat itu kami mulai empat hari sebelum pergantian tahun. Jika sekarang, seminggu sebelum tahun barupun Gunung Kerinci sudah seperti pasar – tiba-tiba kangen suasana sepi gunung di masa lalu – dan ramainya minta ampun. Tapi di tahun itu, di jalur pendakian hanya ada kami bertiga.

Merapat dalam keadaan badan basah kuyup di shelter satu, lalu mendirikan tenda, tentunya minuman hangat atau mie kuah hangat adalah impian yang sangat menggoda untuk perut tiga orang pendaki kampung yang kurus ceking. Tapi apalah daya, stok persediaan air kami telah habis. Bang Heri, yang tertua di antara kami pergi mencari air di sekitar shelter satu, tak berapa lama dia datang dengan membawa air sebotol ukuran 1,5 liter penuh. Hati gembira dunk… Uap kopi dan aroma mie kuah sudah serasa di ujung hidung.

Setelah dekat baru kami menyadari bahwa air di dalam botol itu seperti kopi susu. Coklat kehitaman. Seolah dapat membaca pikiran saya dan Rino, Bang Heri mendahului dengan ucapan, “Hujan barusan merubah warna semua hal di gunung ini. Termasuk wajah kalian!”. Saya dan Rino-pun langsung melengos memalingkan wajah. Hanya sebotol air berwarna coklat keruh dengan serpihan-serpihan daun mati melayang-layang di dalam botol yang kami punya malam itu.

Disinilah peran bendera merah putih yang kami bawa setelah nongol dari pembongkaran dari dalam carrier. Air coklat di botol kami saring dengan bendera ke dalam nesting. Sampah-sampah dedaunannya tertinggal di bendera. Masih tidak yakin… Saring kembali airnya untuk kedua dan ketiga kalinya dengan lipatan bendera yang lebih tebal. Hasil akhirnya tetap saja, coklat…

Tidak ada pilihan lain!  Toh, di situasi ini kami bisa sekalian bereksperimen dan menghasilkan penemuan yang spektakuler di abad ini, yaitu setelah airnya dimasak dan dicampur kopi warna coklatnya jadi hilang, berubah menjadi warna hitam! Rasanya juga berubah menjadi manis. Hanya saja saat bereksperimen dengan mencampurkan mie rebus ke dalam air coklat itu, ditemukan bahwa warna coklat tidak mengalami perubahan sama sekali, kecuali buih-buih dari didihan airnya terlihat seperti berwarna bening.

Warna bening ini setidaknya berperan dalam memberikan harapan yang sangat besar kepada kami yang sedang kelaparan. Kami berharap bahwa setelah air dididihkan maka airnya juga akan ikut berubah warna menjadi bening juga, menguapkan semua warna coklat yang ada. Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Mungkin kami lupa memperhitungkan faktor suhu dan elevasi pada saat eksperimen ini. Inti dari eksperimen ini adalah, walau dalam keadaan bagaimanapun anda di gunung, jangan sampai anda kehilangan hal paling berharga yang ada di dalam diri anda. Harapan… 
      
Gunakan hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.

* * * *  *
“Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga”
(Aristoteles)

Semoga jiwamu tercerahkan.

*B4MS*

No comments:

Post a Comment