By : Bams Nektar
Inspirasi bagi Pendaki
#55
Merdeka…!
Kata yang satu ini sangat banyak kita baca
atau kita dengar di bulan ini. Bulan Agustus dimana kita memang memperingati
hari kemerdekaan negara kita tercinta ini setiap tahunnya.
Seperti
kata lainnya, kata “merdeka” mempunyai banyak arti, dan penerjemahannya tentu
saja dapat dilihat dari sisi manapun. Tergantung siapa yang menerjemahkannya,
dari sudut pandang mana si penerjemah melihatnya. Bahkan “merdeka” dalam kaca
mata seorang pendaki-pun menurut saya pasti berbeda-beda. Bisa jadi berbeda
pemahaman karena perbedaan umur si pendaki, berbeda pemahaman karena jam
terbang si pendaki, atau bisa juga berbeda pemahaman karena kadar kegantengan
si pendaki itu sendiri – sampai di sini saya pake pomade dan nyisir dulu. Bagi
anda sahabat pendaki yang memahami “merdeka” dengan ukuran pemahaman
berdasarkan kecentilan, silahkan jika mau pake parfum terlebih dahulu, setelah
itu boleh melanjutkan baca tulisan ini lagi – , lanjut…
Contohnya,
bagi saya pribadi, dalam visi saya sebagai seorang pendaki, merdeka itu
seharusnya harga tiket pesawat tidak menjajah saya, sehingga jika saya ingin
naik gunung dimanapun di nusantara ini, kocek saya tidak terkuras sampai ke
dasarnya. Artinya? Saya akui bahwa sebagai pendaki saya masih belum merdeka.
Bagi
anda sahabat pendaki, dalam visi sebagian dari anda, bisa jadi “merdeka” itu
adalah ketika jatah cuti selama dua belas hari dalam setahun tidak cukup!
Sehingga saat masa cuti itu habis dipakai untuk berbagai macam keperluan,
tetiba gebetan kamu ngajak naik gunung. Nah, situasi ini dapat kamu gunakan
nantinya untuk memperlancar pedekate – baca; pendekatan – kamu yang tentunya di
suatu pos bayangan sana bisa kamu ungkapkan perasaan hatimu ke si dia. Namun apalah
daya, jatah cuti sudah selesai, dan kamu harus merelakan si doi ditemani
sahabatmu yang yang lagi santai – nganggur – untuk menemaninya di jalur.
Kamu
sahabat pendaki, sedang dijajah oleh pekerjaanmu. Gamangnya lagi, kamu sedang
diokupansi oleh sahabatmu sendiri. Rasa
gamang itu akan semakin perih saat calon doi mu setelah turun gunung malah
resmi jadi doi sahabatmu. Harus kamu akui bahwa kamu belum merdeka!
Kamu,
sahabat pendaki lainnya, tentunya mempunyai banyak hal yang membuat kamu belum
merdeka sebagai pendaki. Coba renungkan sejenak! Bisa jadi satu atau dua alasan
yang sedang menjajahmu. Tidak dapat restu dari orang tua untuk naik gunung? Budget untuk naik gunung tidak terkumpul
tepat waktu, atau kesehatanmu yang tidak memungkinkan. Bisa jadi kekasihmu
mengultimatum putus, jika kamu naik gunung tanpa seizinnya. Kamu bisa ajah
bilang, “lebih baik putus dengan kekasih hati daripada gak bisa naik gunung”.
Itu jika kekasih hatimu standar. Nah, jika kekasih hatimu ga ada selisihnya ama
Via Vallen? Serius mau putus lo..?
Jika
ditanyakan ke saya, mending saya hibahkan jutaan peralatan naik gunung itu buat
anda sahabat pendaki, dari pada saya putus sama Via Vallen. Trus saya mimpi
lagi beli gear yang baru sama pacaran ama artis baru lagi untuk tulisan saya
yang berikutnya, hi hi hi…
Bicara
“merdeka” tentunya kita tidak lepas dari bendera. Mungkin sahabat pendaki ada
yang belum tahu apa yang dimaksud dengan “bendera”? Di pelajaran formal, maksud
kata “bendera” ini sangat jarang diketahui. Padahal kita selalu mengucapkannya.
Anak-anak sekolah setiap senin bahkan selalu mengikuti upacara pengibaran
bendera di sekolahnya masing-masing.
Yang
dimaksud “bendera” sendiri artinya saya dapatkan pada masa mengikuti kegiatan
kepramukaan saat di jenjang bangku es em pe (SMP/ Sekolah Menengah Pertama)
dulu. Kakak Pembina mengajarkan bahwa, bendera adalah secarik kain yang
dibentuk sedemikian rupa dan dijadikan lambang kehormatan. Kira-kira demikian
artinya yang masih sangat saya ingat sampai saat ini.
Bendera,
atau dalam hal ini adalah Sang Merah Putih, saya yakin sering dibawa naik
gunung oleh anda sahabat pendaki, apalagi saat pendakian di Bulan Agustus.
Bahkan memang dikhususkan membawa bendera merah putih untuk dikibarkan di
puncak gunung. Rasa patriot dan nasionalis memang sedang tinggi-tingginya di
bulan ini.
Karena
pentingnya secarik bendera, jangan salah, karena secarik bendera saja sudah
cukup untuk menghebohkan diskusi di media sosial tentang bagaimana Lalu Zohri
kesulitan mencari bendera negaranya untuk melakukan selebrasi setelah menjuari
kejuaraan lari internasional kategori 100 m di Finlandia beberapa waktu lalu,
atau bagaimana hebohnya nitizen saat salah satu pesebakbola dari negeri jiran
Malaysia yang mengunggah bendera Indonesia dalam posisi terbalik di akun media
sosialnya.
Di
satu sisi, bendera dapat mempersatukan kita. Kita akan merasa senasib
sepenanggungan jika berada di bawah bendera yang sama. Namun di sisi lain,
bendera dapat memecah belah kita, karena memisahkan kita menjadi berbeda bangsa,
berbeda organisasi, atau berbeda aviliasi.
Sebagai
pendaki, mungkin sahabat pendaki ada yang selalu tidak pernah ketinggalan
membawa bendera di setiap perjalanannya. Saya salut dengan anda. Banyak dari
anda juga mungkin melupakan hal “kecil” ini. Kita lebih sibuk mengingat barang
bawaan kecil mana lagi yang belum masuk ke dalam carrier. Nesting, buff,
pembalut, kacamata, dan seterusnya. Bendera? Lupa…
Sayapun
demikian juga adanya. Sering melupakan membawa bendera saat pendakian, dan hal
ini benar-benar saya sesali sebagai suatu keteledoran saya. Walaupun demikian,
kita pasti akan sangat menyesalkan bahwa ada sahabat pendaki yang tidak lupa
membawa benderanya ke gunung, namun malah mencoret-coret bendera tersebut
sebagai selebrasi bagi mereka. Ini tugas anda sahabat pendaki untuk memberikan
pencerahan kepada mereka.
Membawa
bendera naik ke gunung tentu saja lebih banyak faedahnya bagi pendaki. Yang
paling umum tentunya untuk ber-selfie ria dengan berbagai macam gaya. Siapa
tahu nanti stok fotonya dapat diikutkan dalam suatu kompetisi foto berhadiah. Dalam
keadaan darurat, bendera yang dibawa dapat dijadikan pembalut pada luka. Jadi
ala-ala masa perjuangan gitu. Ujung-ujungnya tetap difoto juga dengan caption
yang dibuat sepatriot mungkin. “Walaupun darah membanjiri, bla bla blab la… “.
Gagah abang loh dek… Atau bendera bisa dimodifikasi menjadi tourniquet untuk menghentikan
pendarahan, atau bisa jadi bidai bagi tangan yang patah. Dalam keadaan darurat
lainnya saat tersesat, bendera dapat digunakan sebagai pemancing pembakaran
awal dalam membuat api atau serpihannya dapat dijadikan sebagai penanda jalur.
Dalam
satu kesempatan pendakian ke Gunung Kerinci di tahun 1995, selembar bendera
merah putih pernah berjasa bagi tim pendakian saya saat itu. Tim kami saat itu
berjumlah tiga orang (saya, Rino dan Bang Heri). Pendakian kami mulai setelah
waktu zuhur, dan rencananya tim kami akan langsung camp di shelter dua Gunung
Kerinci, karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan dan dilibas oleh hujan
badai, dengan terpaksa tim kecil ini merapat untuk beristirahat di shelter satu
Gunung Kerinci.
Pendakian
saat itu kami mulai empat hari sebelum pergantian tahun. Jika sekarang,
seminggu sebelum tahun barupun Gunung Kerinci sudah seperti pasar – tiba-tiba
kangen suasana sepi gunung di masa lalu – dan ramainya minta ampun. Tapi di
tahun itu, di jalur pendakian hanya ada kami bertiga.
Merapat
dalam keadaan badan basah kuyup di shelter satu, lalu mendirikan tenda,
tentunya minuman hangat atau mie kuah hangat adalah impian yang sangat menggoda
untuk perut tiga orang pendaki kampung yang kurus ceking. Tapi apalah daya,
stok persediaan air kami telah habis. Bang Heri, yang tertua di antara kami
pergi mencari air di sekitar shelter satu, tak berapa lama dia datang dengan
membawa air sebotol ukuran 1,5 liter penuh. Hati gembira dunk… Uap kopi dan
aroma mie kuah sudah serasa di ujung hidung.
Setelah
dekat baru kami menyadari bahwa air di dalam botol itu seperti kopi susu.
Coklat kehitaman. Seolah dapat membaca pikiran saya dan Rino, Bang Heri
mendahului dengan ucapan, “Hujan barusan merubah warna semua hal di gunung ini.
Termasuk wajah kalian!”. Saya dan Rino-pun langsung melengos memalingkan wajah.
Hanya sebotol air berwarna coklat keruh dengan serpihan-serpihan daun mati
melayang-layang di dalam botol yang kami punya malam itu.
Disinilah
peran bendera merah putih yang kami bawa setelah nongol dari pembongkaran dari
dalam carrier. Air coklat di botol kami saring dengan bendera ke dalam nesting.
Sampah-sampah dedaunannya tertinggal di bendera. Masih tidak yakin… Saring
kembali airnya untuk kedua dan ketiga kalinya dengan lipatan bendera yang lebih
tebal. Hasil akhirnya tetap saja, coklat…
Tidak
ada pilihan lain! Toh, di situasi ini
kami bisa sekalian bereksperimen dan menghasilkan penemuan yang spektakuler di
abad ini, yaitu setelah airnya dimasak dan dicampur kopi warna coklatnya jadi
hilang, berubah menjadi warna hitam! Rasanya juga berubah menjadi manis. Hanya
saja saat bereksperimen dengan mencampurkan mie rebus ke dalam air coklat itu,
ditemukan bahwa warna coklat tidak mengalami perubahan sama sekali, kecuali
buih-buih dari didihan airnya terlihat seperti berwarna bening.
Warna
bening ini setidaknya berperan dalam memberikan harapan yang sangat besar kepada
kami yang sedang kelaparan. Kami berharap bahwa setelah air dididihkan maka
airnya juga akan ikut berubah warna menjadi bening juga, menguapkan semua warna
coklat yang ada. Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Mungkin kami lupa
memperhitungkan faktor suhu dan elevasi pada saat eksperimen ini. Inti dari
eksperimen ini adalah, walau dalam keadaan bagaimanapun anda di gunung, jangan
sampai anda kehilangan hal paling berharga yang ada di dalam diri anda.
Harapan…
Gunakan
hati saat mendaki.
Salam satu jiwa.
* * * * *
“Harapan
adalah mimpi dari seorang yang terjaga”
(Aristoteles)
Semoga
jiwamu tercerahkan.
No comments:
Post a Comment