Tuesday, February 12, 2019

Merasakan Bahana Nongsa Neptune Regatta Dari Pulau Batu Berlubang Di Lingga


Pulau Batu Berlubang terletak di kawasan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Pulau ini menjadi salah satu pulau tempat persinggahan para yachter internasional dalam ajang balap yacht di event Nongsa Neptune Regatta  dengan tajuk “Sail to Lingga”.

Nongsa Regatta sendiri adalah event berkelas internasional yang rutin diadakan di Batam dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Nongsa Neptune Regatta akan mengambil start awal di daerah Nongsa, Batam, dan finishnya juga akan dilakukan di Nongsa Point Marina, Batam, Kepri.


Nah, untuk menyaksikan para yachter internasional ini berlaga di garis khatulistiwa, aku dan beberapa blogger dari negeri jiran, Malaysia dan media dari Singapura mendapat kesempatan untuk mengekplor Pulau Batu Berlubang dan ikut langsung mengabadikan keseruan singgahnya para yachter ini di Pulau Batu Berlubang.

Perjalanan kami mulai dari Pelabuhan Ferry Telagapunggur, Batam. Aku buru-buru datang lebih awal ke pelabuhan ini untuk menghindari keterlambatan untuk naik ke kapal. Soalnya, kapal yang berangkat menuju Lingga hanya ada satu trip setiap paginya. Jika sampai terlambat, habis sudah kesempatan untuk menyaksikan kehebohan Nongsa Neptune Regatta Sail To lingga dan mengunjungi Pulau Batu Berlubang ini.

Suasana Pelabuhan Ferry Telaga Punggur sesaat sebelum keberangkatan.

Sesampainya di Pelabuhan Ferry Telaga Punggur, Asih dan Danan, blogger dari Batam yang juga turut serta di dalam perjalanan ini sudah lebih dulu sampai. Dua orang lainnya yang ikut dalam perjalanan ini dari pihak travel adalah Doni dan Itun, yang juga baru aku kenal di pelabuhan ini. Berarti kami hanya menunggu rombongan para blogger Malaysia dan media Singapura saja.

Tak berapa lama, para blogger dan media luar inipun sampai ke Pelabuhan Telagapunggur. Tiket menuju ke Lingga-pun dibagikan kami oleh Mas Edi selaku organizer dalam perjalanan ini. Rombongan-pun menuju ke lantai dasar pelabuhan, untuk kemudian langsung menuju ke pelantar pelabuhan, dimana sebuah kapal ferry menuju Lingga sudah menunggu kami.

Menuju Cempa

Kapal ferry yang membawa kamipun mengangkat jangkarnya, pelayaran menuju Lingga dimulai. Setidaknya kami akan menghabiskan 4 jam waktu perjalanan laut di atas kapal ferry ini untuk mencapai Lingga.

Potensi yang akan didapat oleh Kota Batam dan Kepulauan Riau pun sangat luar biasa dari pagelaran Nongsa Neptune Regatta kali ini. Boat-boat yang masuk, atau dibawa peserta, dikenakan biaya Rp. 9 Juta per unit plus kaptennya. Untuk kru, dikenai biaya Rp5 Juta per orang. Dengan kata lain, event Nongsa Neptune Regatta ini minimal menangguk devisa Rp.171 Juta.

Jumlah ini asalnya tentu saja dari total kapal-kapal yang masuk sebagai peserta. Angkanya diprediksi akan terus bertambah. Karena, ada potensi lain pemasukan dari para kru. Mengacu regulasi IRC 218, OMR, dan Texel, lomba ini tidak membatasi jumlah dan dan berat kru. Kapal hanya diwajibkan melengkapinya dengan asuransi.

Dalam hitungan di atas kertas, pembiayaan ini tentu saja sangat ideal. Karena, selain menikmati pertarungan di laut, para peserta juga memiliki peluang menikmati eksotisnya perairan Batam dan Kepri. Perputaran uang dari event ini sangat menjanjikan. Di luar pembiayaan tersebut, para peserta pasti bertransaksi untuk aktivitas belanja juga. Mereka memiliki kemampuan money spending yang bagus.

Nongsa Neptune Regatta ini juga memiliki impact ekonomi yang lebih luas. Karena, jalur race-nya lebih luas dari Nongsa Regatta 2019, serta waktunya yang lebih lama, yakni 9 hari. Selain itu jumlahnya boat pesertanya yang bertanding juga banyak, dan sebaran race-nya juga sangat luas. Potensi-potensi ini sangat menguntungkan bagi perekonomian masyarakat yang akan merasakannya langsung.

Nongsa Neptune Regatta 2019 ini diikuti oleh puluhan boat dari 6 kelas. Kelas yang ditawarkan adalah Premier Cruising dengan peserta 3 boat, lalu Cruising yang diikuti 9 boat. Sementara baru 1 boat yang masuk kelas Cruising Mutihull dan 4 boat ada di kelas Racing Multihull. Untuk kelas Motor Yacht Rally diikuti 3 boat hingga 2 boat di kelas IRC.

Setelah 4 jam terombang- ambing di atas lautan, kapal ferry yang kami tumpangi merapat di dermaga Cempa, Lingga. Dari sini kami akan bertukar kapal untuk menuju ke Pulau Batu Berlubang. Sembari menunggu speed boat yang menjemput kami, arak- arakan awan di langit yang cerah mampu menarik minat teman- teman blogger untuk berpose di pelabuhan Cempa ini.
Keindahan laut di Dermaga Cempa, Lingga.

Blogger Malaysia berswafoto di Dermaga Cempa.

Kami habiskan waktu 30 menit lagi di atas speed boat dari dermaga Cempa menuju ke pelabuhan di Pulau Batu Berlubang. Di pulau ini kami disambut langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga, Bapak Raja Fahrurrazi. Rombongan blogger dan media ini langsung dipandu menuju ke sebuah rumah penduduk, dimana makan siang ala warga tempatan sudah terhidang.


Entah karena perut yang memang sudah lapar karena waktu yang hampir menyentuh pukul tiga sore atau karena pengaruh ayunan ombak di atas kapal ferry tadi, kamipun langsung menyerbu makan siang yang telah disiapkan.


Rasa khas makanan Melayu yang diramu sedemikian rupa bersama hasil laut berupa ikan, udang dan sotong menambah nikmatnya selera makan kami. Tendangan dari rasa asam yang timbul dari cabe mangga yang dibuat oleh warga Pulau Batu Berlubang (warga setempat biasanya mempersingkat penyebutannya dengan nama Batu Belobang) semakin menambah kenikmatan makan di siang itu. 

Suasana makan siang di Pulau Batu Belubang.


Selesai makan siang, kamipun dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian kelompok- kelompok ini diarahkan untuk menginap di rumah warga Batu Belobang. Aku bersama beberapa orang blogger Malaysia dan empat orang dari Kementrian Pariwisata RI kebagian untuk menginap di rumah bertingkat dua milik pak Asnan, warga setempat.

Setelah meletakan tas- tas bawaan, kami semua diajak mengunjungi sebuat situs yang menjadi asal muasal nama pulau ini, yakni batu berlubang (batu belobang).

Batu Berlubang

Beberapa anak tempatan mengiringi langkah kami menapaki jalan trotoar di kampung Pulau Batu Berlubang ini. Di bawah rerimbunan pohon kelapa, di salah satu tanah yang cukup datar dan lapang, beberapa anak kecil sedang asik bermain gasing kayu. Gasing memang permainan khas di negeri- negeri Melayu.

Langkah kakipun terbawa melewati pemakaman kampung. Beberapa nisan tegak menonjol sebagai penanda. Jarak pemakaman ini tidak terlalu jauh dari deretan rumah warga. Berbelok ke  arah kanan dari pemakaman kampung, kami melintasi hutan savanna kecil setinggi pinggang orang dewasa. Di ujung savanna ini laut biru nan jernih membentang seluas mata memandang. Pantulan sinar mentari di siang itu membuat permukaannya berkilauan. Pasirnya yang bersih ditaburi kerikil- kerikil beraneka warna. Di sana- sini beberapa kerang dan cangkang siput berserakan, beberapa bergoyang- goyang dimainkan deburan ombak.
Melintasi savanna di Pulau Batu Belobang.

Pemandangan pantai Barat Pulau Batu Berlubang.

Kami menyusuri pantai ini ke  arah sebelah kiri. Sekitar 30 meter, jalan yang ditempuhpun mulai menanjak. Ya, kami menaiki sebuah bukit kecil. Tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu rimbun, namun suasana di dalam pepohonan yang menaungi jalur mendaki ini cukup teduh.

Butuh setidaknya 10 menit mendaki ke bukit kecil ini, lalu sedikit menurun. Di sebuah bibir jurang yang terbuka, aku sempat terpana. Pemandangan di bawah sana sungguh sangat luar biasa indahnya. Laut biru yang membentang, air bening nan jernih, dan pantai yang melekuk panjang. Jika seperti “wajah” sebagian kecil Indonesia, untuk apa mencari rindu di Maldive atau Bahama sana. Kita cukup datang ke Lingga, Anambas atau Natuna sana.

Menunggu teman- teman yang lain menuruni tebing yang curam ini, akku menyempatkan diri mengambil beberapa dokumentasi dan video untuk kenang- kenangan di tempat ini. Setelah semua teman- teman habis turun ke bawah, barulah aku yang terakhir bersama dua orang anak tempatan yang baru duduk di bangku kelas tujuh menyusul turun.

Pemandangan dari atas bukit di Pulau Batu Berlubang.


Di bawah tebing kami langsung menjumpai pantai berbatu licin karena lumut- lumut menyelimutinya. Berbelok ke  arah kanan, kira- kira jarak 15 meter, di sanalah letak situs “Batu Berlubang”, yang kini menjadi nama pulau indah ini.

Letaknya tepat di bawah tebing bukit yang kami daki tadi. Lubang ini tercipta oleh abrasi yang disebabkan oleh deburan ombak pantai yang terus menerus. Ada tiga lubang di dinding bukit ini. Lebarnya sekitar 1 meter dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Lubang di bagian tengah tingginya mencapai 2 meter. Orang dewasa dapat masuk ke dalamnya. Saat pasang naik, tentunya lubang ini tidak dapat dicapai.

Puas mengambil dokumentasi di lokasi batu berlubang ini, akupun baru menyadari bahwa hanya aku dan Alfie, salah satu media Reuters dari Singapura yang tertinggal di sini. Kami memang menunggu teman- teman lainnya beranjak, sehingga Batu Belobang ini dapat kami ambil gambarnya secara kosong, ada seorangpun di dalam frame foto. 
Batu Berlubang (Batu Belobang).

Situs Batu Berlubang di Pulau Batu Belubang.

Kami bergegas menuju ke pelantar utama Pulau Batu Belobang ini, teman- teman lain pasti sudah menunggu. Agenda selanjutnya adalah rombongan ini akan menuju ke Pulau Sekeling yang letaknya tak seberapa jauh dari Pulau batu Belobang. Di sana para kru dan yacht mereka sedang melego jangkar dan menjadikan Pulau Sekeling ini sebagai tempat peristirahatan mereka.

Pesona Sunset dari Pulau Sekeling, Pulau Mayat

Benar saja perkiraanku, teman- teman yang telah jalan duluan rupanya telah naik ke atas atap speed boat yang akan membawa kami ke Pulau Sekeling. Mereka bergerombol di atas atap speed boat, tidak ada yang masuk ke dalam boat. Tentunya karena di atas atap boat pemandangan lebih luas dan lebih leluasa mengambil gambar ke segala arah.

Speed boat berjalan pelan di tengah kencangnya angin laut yang berhembus. Pulau Sekeling terlihat di ujung sana. Bagi warga Pulau Batu Belubang, mereka kadangkala menyebut pulau kosong itu sebagai “Pulau Mayat”.

Ternyata penyebutan nama Pulau Mayat itu sangat beralasan. Pulau sekeling jika dilihat dari jauh memang mirip persis seperti mayat terbaring dan sedang bersedekap di dada.
Pulau Sekeling, dikenal juga dengan sebutan Pulau Mayat.

Semakin mendekati Pulau Sekeling, beberapa yacht yang terparkir di laut mulai kelihatan. Para kru-nya sedang berada di darat. Yacth- yacht itu dibiarkan terobang- ambing di sekitar laut terdekat.

Speed boat yang kami tumpangi berjalan pelan mendekati terparkirnya yacht tersebut, hari semakin senja. Di ujung sana, mentari mulai turun ke peraduannya, meninggalkan bias- bias kuning kemerahan. Momen yang tak dapat terlupakan.
Yacth yang sedang parkir di Pulau Sekeling, Lingga.

Suasana senja dilihat dari Pulau Sekeling, Lingga.

Speed boat membawa kami untuk kembali ke Pulau Batu Belobang. Makan malam sudah menunggu untuk disantap bersama ikan bakar dan cumi goreng. Tiba- tiba warna kekuningan melintas di ufuk mata, ingatan akan sambal mangga siang tadi bergelayut manja. Menggoda...

Lomba Layar di Garis Khatulistiwa

Pukul 5:30 wib, Alfie, fotografer reuters dari Singapura sudah mulai hunting foto sunrise di pinggir pantai, bersama dua temannya yang lain, yang juga dari Singapura. Punggung badan mereka perlahan menghilang di dalam temaramnya subuh yang baru berlalu.

Aku menunggu setengah jam kemudian untuk menyusul mereka guna berburu sunrise di pinggir pantai yang jaraknya hanya 30 meter dari homestay tempat kami bermalam. Bias- bias matahari terbit perlahan naik di belakang awan yang berarak. Foto- foto siluet-pun menjadi andalan di waktu ini. Di sisi lain, Danan, blogger dari Batam tengah sibuk mengatur kamera Dji mini-nya untuk pengambilan video time lapse.
Suasana pagi di Pulau Batu Berlubang.

Di pelantar rumah penduduk tepat di seberang aku berburu sunrise, Bang Edo, salah satu perwakilan Kementerian Pariwisata dari Jakarta yang juga turut pada perjalanan ini melambaikan tangan, memanggilku sambil berteriak bahwa di tempat pelantar penduduk itu, bagus untuk mengambil foto siluet. Jadilah aku bergabung bersama Bang Edo di pelantar rumah penduduk, di atas laut untuk berburu foto siluet.

Sehabis sarapan pagi, ada waktu kosong yang lumayan panjang, karena di dalam jadwalnya, para yachter akan turun ke Pulau Batu Belobang sekitar pukul 11:00 wib. Aku dan Danan sepakat untuk kembali mengeksplor daerah pantai tempat sebelum kami naik ke bukit kemarin.  Rasanya belum puas kemarin untuk menikmati birunya laut di pantai sebelah Barat Pulau Batu Belobang ini. 


Keindahan pantai Barat Pulau Batu Berlubang.

Kurang lebih dua jam lamanya kami di pantai bagian Barat pulau ini. Membuat beberapa video dan foto- foto perjalanan sebagai sekedar penghias blog, atau bahan status pamer di facebook, dan buat bahan pajangan di instagram, serta tentunya buat konten di chanel youtube kita.

Pukul 11:30 wib, para yachter mulai berdatangan dengan dua kapal penuh dari Pulau Sekeling. Mereka disambut dengan tabuhan rebana yang dimainkan oleh penduduk setempat, dan dengan diantar oleh anak- anak Pulau Batu Belobang secara bergandeng tangan dengan bule- bule itu, mereka diarak ke pantai Timur Pulau Batu Belobang, tempat dimana acara penyambutan diadakan.

Acara ini dipimpin oleh Mas Edi dengan santai, hangat dan penuh keakraban. Dibuka dengan doa dan kemudian para yachter sangat antusias mengambil video dan foto saat pencak silat Melayu ditampilkan, dan disambung dengan tarian Sekapur Sirih.
Mas Edi, pemandu acara.

Bp. Raja Fahrurrazi, Kadisbudpar Lingga berserta jajarannya.


Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga, Bapak Raja Fahrurrazi, dalam sambutannya yang dibawakan dalam bahasa Inggris menyampaikan bahwa , masyarakat Lingga, khususnya masyarakat Pulau Batu Belobang sangat senang pulau mereka disinggahi dalam pagelaran Nongsa Neptune Regatta 2019 ini. Lingga memiliki banyak pulau dan pantai- pantai yang jernih dan biru, serta cantik, dengan keramahtamahan warga yang hangat, serta kuliner yang lezat. Semua itu adalah potensi yang sangat luar biasa untuk dinikmati oleh para wisatawan. Pintu Lingga selalu terbuka lebar jika para yachter ingin kembali ke Lingga untuk menikmati keindahan alamnya.

Belakangan aku baru tahu, ternyata Pak Raja Fahrurrazi dahulunya pernah berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Pantas cuap- cuapnya dalam bahasa Inggris mengalir deras begitu saja.

Sebelum Nongsa Neptune Regatta ini, terlebih dahulu digelar Nongsa Regatta 2019, di tanggal 25-27 Januari 2019. Venue-nya sama, yakni di Nongsa Point & Resort. Meski sama-sama lomba layar, kedua event ini berbeda. Nongsa Regatta hanya memberi lokasi berlayar di seputaran perairan Nongsa, Batam. Untuk Nongsa Neptune Regatta lokasinya luas hingga ke khatulistiwa. Berarti ini adalah event pertama kali di dunia, dengan tajuk lomba layar melalui garis khatulistiwa. Dan itu diadakan di Lingga. Keren bukan?

Nongsa Neptune Regatta ini terbuka untuk siapapun. Apalagi, ada kelas Non Racing Fleet. Jadi, siapapun dapat memiliki kesempatan lebih lama untuk menikmati beragam view eksotis sepanjang rute lomba layar ini.

Di Nongsa Neptune Regatta, power boats juga bisa digunakan. Namun, keduanya menggunakan regulasi sama. Acuannya adalah, World Sailing Racing Rules of Sailing 2017-2020. Detailnya terkait OMR, Texel Rules, dan One Design kapal plus kelasnya masing-masing.

Dua event ini sangat ideal, dengan wilayahnya yang didominasi perairan. Pasarnya juga sangat besar khususnya di mancanegara. Mereka sudah tahu menariknya rute yang ditawarkan oleh dua event ini. Terkait Nongsa Neptune Regatta, tantangannya tentu saja lebih menarik ditinjau dari kelas yang dilombakan.
Nongsa Neptune Regatta ini pada dasarnya terbagi dalam 6 Race. Race ke-1 menjalani rute Nongsa menuju Pulau Riau. Start-nya berada di Pantai Turi Utara dengan lokasi finish pada Pulau Riau. Race 2 melanjutkan rute dari Pulau Riau menuju Pulau Sekeling. Berikutnya, race ke-3 adalah jalur menuju ke garis khatulistiwa. Pada race ke-4, di sini para yachter menuju balik ke Pulau Riau, setiap kapal wajib menghubungi Race Committee melalui VHF 69 2-minute menjelang balik.

Wisatawan berswafoto dengan anak-anak Pulau Batu Berlubang.


Pada race ke-5, rutenya adalah dari Pulau Sekeling menuju ke Pulau Mubut Darat. Berikutnya, peserta kembali berlayar menuju Nongsa dari Pulau Mubut Darat. Jalannya lomba layar ini dijamin akan semakin bergairah karena tidak ada batasan jumlah juga berat crew. Hanya saja, setiap kapal harus terdaftar dalam asuransi. Salinan asuransi harus dilampirkan dalam proses registrasi kapal ini.

Balapan layar ini juga menampilkan dua kelas besar, yakni kelas Motor Yacht Rally dan Sailing Yacht Rally. Ada 6 kategori yang dipertandingkan. Untuk kategori Racing Fleet sendiri masuk ke dalam regulasi balapan. Kategori ini terdiri dari kategori Cruising Multihull, Cruising Monohull, Classic Yacht, hingga Racing Multihull. Kategori lainnya adalah Non Racing Fleet. Kategori tersebut memakai kapal bukan untuk balapan.

Para petarung lautan ini berasal dari berbagai Negara, seperti Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Prancis, serta Australia. Mereka menempuh total jarak tempuh sampai 892 Mil Laut. Spot tersebut hanya berjarak 11 Mil Laut dari Singapura dan Johor (Malaysia).

Goyang 60-an, Nona Singapura

Sehabis makan siang bersama, alunan lagu- lagu Melayu dilantunkan secara live oleh musikus setempat. Beberapa penari anak dara menarik para wisatawan mancanegara ke gelanggang untuk berjoget bersama. Alunan nada “Tanjung Katung” berdentang dengan ceria mengiringi rentak kaki para wisatawan yang berjoget. Senyum dan tawa mereka lepas di siang yang terik itu.
 Wisatawan berjoget bersama.

Blogger dan media asing bergoyang bersama penari.

Lagu kedua, yang dikenal di Singapura dengan sebutan Goyang 60-an dengan judul lagu “Nona Singapura” menambah semaraknya suasana. Kali ini para blogger dan media mancanegara menunjukan kebolehan mereka dalam berjoget ria. Tawa terdengar menggema di mana- mana, baik dari peserta yang sedang menari, maupun dari warga yang menonton kelucuan gerakan dari awak media yang sedang berjoget.

Aku sendiri, memandang berseri pada mereka yang sedang ceria menari, dan kagum akan khazanah budaya negeri ini. Berharap dengan sambutan hangat warga Pulau Batu Belobang ini, nantinya dapat meninggalkan gurat- gurat kenangan indah di hati mereka, sehingga ketika mereka memandang laut, mereka hanya mengingat nama Lingga, Lingga, dan hanya Lingga.

Bams @2019


Kamu penasaran pingin lihat kehebohan suasana di Pulau Batu Berlubang ini? Videonya dapat juga kamu tonton di sini …

Dan juga di video berikut...







No comments:

Post a Comment