Pulau Batu Berlubang terletak di kawasan
Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Pulau ini menjadi salah satu pulau tempat
persinggahan para yachter internasional dalam ajang balap yacht di event Nongsa
Neptune Regatta dengan tajuk “Sail to
Lingga”.
Nongsa Regatta sendiri adalah event
berkelas internasional yang rutin diadakan di Batam dalam kurun waktu beberapa
tahun terakhir. Nongsa
Neptune Regatta akan mengambil start awal di daerah Nongsa, Batam, dan
finishnya juga akan dilakukan di Nongsa Point Marina, Batam, Kepri.
Nah,
untuk menyaksikan para yachter internasional ini berlaga di garis khatulistiwa,
aku dan beberapa blogger dari negeri jiran, Malaysia dan media dari Singapura
mendapat kesempatan untuk mengekplor Pulau Batu Berlubang dan ikut langsung
mengabadikan keseruan singgahnya para yachter
ini di Pulau Batu Berlubang.
Perjalanan kami mulai dari
Pelabuhan Ferry Telagapunggur, Batam. Aku buru-buru datang lebih awal ke
pelabuhan ini untuk menghindari keterlambatan untuk naik ke kapal. Soalnya,
kapal yang berangkat menuju Lingga hanya ada satu trip setiap paginya. Jika
sampai terlambat, habis sudah kesempatan untuk menyaksikan kehebohan Nongsa
Neptune Regatta Sail To lingga dan mengunjungi Pulau Batu Berlubang ini.
Suasana Pelabuhan Ferry
Telaga Punggur sesaat sebelum keberangkatan.
Sesampainya di Pelabuhan
Ferry Telaga Punggur, Asih dan Danan, blogger dari Batam yang juga turut serta
di dalam perjalanan ini sudah lebih dulu sampai. Dua orang lainnya yang ikut
dalam perjalanan ini dari pihak travel adalah Doni dan Itun, yang juga baru aku
kenal di pelabuhan ini. Berarti kami hanya menunggu rombongan para blogger
Malaysia dan media Singapura saja.
Tak berapa lama, para
blogger dan media luar inipun sampai ke Pelabuhan Telagapunggur. Tiket menuju
ke Lingga-pun dibagikan kami oleh Mas Edi selaku organizer dalam perjalanan
ini. Rombongan-pun menuju ke lantai dasar pelabuhan, untuk kemudian langsung
menuju ke pelantar pelabuhan, dimana sebuah kapal ferry menuju Lingga sudah menunggu
kami.
Menuju Cempa
Kapal ferry yang membawa
kamipun mengangkat jangkarnya, pelayaran menuju Lingga dimulai. Setidaknya kami
akan menghabiskan 4 jam waktu perjalanan laut di atas kapal ferry ini untuk
mencapai Lingga.
Potensi yang akan didapat oleh
Kota Batam dan Kepulauan Riau pun sangat luar biasa dari pagelaran Nongsa
Neptune Regatta kali ini. Boat-boat yang
masuk, atau dibawa peserta, dikenakan biaya Rp. 9 Juta per unit plus kaptennya.
Untuk kru, dikenai biaya Rp5 Juta per orang. Dengan kata lain, event Nongsa Neptune Regatta ini minimal
menangguk devisa Rp.171 Juta.
Jumlah ini asalnya
tentu saja dari total kapal-kapal yang masuk sebagai peserta. Angkanya
diprediksi akan terus bertambah. Karena, ada potensi lain pemasukan dari para
kru. Mengacu regulasi IRC 218, OMR, dan Texel, lomba ini tidak membatasi jumlah
dan dan berat kru. Kapal hanya diwajibkan melengkapinya dengan asuransi.
Dalam hitungan di atas kertas, pembiayaan ini tentu saja sangat ideal. Karena, selain menikmati pertarungan di laut, para peserta juga memiliki peluang menikmati eksotisnya perairan Batam dan Kepri. Perputaran uang dari event ini sangat menjanjikan. Di luar pembiayaan tersebut, para peserta pasti bertransaksi untuk aktivitas belanja juga. Mereka memiliki kemampuan money spending yang bagus.
Dalam hitungan di atas kertas, pembiayaan ini tentu saja sangat ideal. Karena, selain menikmati pertarungan di laut, para peserta juga memiliki peluang menikmati eksotisnya perairan Batam dan Kepri. Perputaran uang dari event ini sangat menjanjikan. Di luar pembiayaan tersebut, para peserta pasti bertransaksi untuk aktivitas belanja juga. Mereka memiliki kemampuan money spending yang bagus.
Nongsa Neptune Regatta ini juga memiliki impact ekonomi yang lebih luas. Karena, jalur race-nya lebih luas dari Nongsa Regatta 2019, serta waktunya yang lebih lama, yakni 9 hari. Selain itu jumlahnya boat pesertanya yang bertanding juga banyak, dan sebaran race-nya juga sangat luas. Potensi-potensi ini sangat menguntungkan bagi perekonomian masyarakat yang akan merasakannya langsung.
Nongsa Neptune Regatta 2019 ini
diikuti oleh puluhan boat dari 6 kelas. Kelas yang ditawarkan adalah Premier Cruising dengan peserta 3 boat, lalu Cruising yang diikuti 9 boat.
Sementara baru 1 boat yang masuk
kelas Cruising Mutihull dan 4 boat ada di kelas Racing Multihull. Untuk kelas Motor
Yacht Rally diikuti 3 boat hingga
2 boat di kelas IRC.
Setelah 4 jam terombang- ambing di atas lautan, kapal ferry yang
kami tumpangi merapat di dermaga Cempa, Lingga. Dari sini kami akan bertukar
kapal untuk menuju ke Pulau Batu Berlubang. Sembari menunggu speed boat yang menjemput kami, arak-
arakan awan di langit yang cerah mampu menarik minat teman- teman blogger untuk
berpose di pelabuhan Cempa ini.
Keindahan laut di Dermaga Cempa, Lingga.
Blogger Malaysia berswafoto di Dermaga Cempa.
Kami habiskan waktu 30 menit lagi di atas speed boat dari dermaga Cempa menuju ke pelabuhan di Pulau Batu
Berlubang. Di pulau ini kami disambut langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Lingga, Bapak Raja Fahrurrazi. Rombongan blogger dan media
ini langsung dipandu menuju ke sebuah rumah penduduk, dimana makan siang ala
warga tempatan sudah terhidang.
Entah karena perut yang memang sudah lapar karena waktu yang
hampir menyentuh pukul tiga sore atau karena pengaruh ayunan ombak di atas
kapal ferry tadi, kamipun langsung menyerbu makan siang yang telah disiapkan.
Rasa khas makanan Melayu yang diramu sedemikian rupa bersama hasil
laut berupa ikan, udang dan sotong menambah nikmatnya selera makan kami. Tendangan
dari rasa asam yang timbul dari cabe mangga yang dibuat oleh warga Pulau Batu
Berlubang (warga setempat biasanya mempersingkat penyebutannya dengan nama Batu
Belobang) semakin menambah kenikmatan makan di siang itu.
Suasana makan siang di Pulau Batu Belubang.
Selesai makan siang, kamipun dibagi menjadi beberapa kelompok yang
kemudian kelompok- kelompok ini diarahkan untuk menginap di rumah warga Batu
Belobang. Aku bersama beberapa orang blogger Malaysia dan empat orang dari
Kementrian Pariwisata RI kebagian untuk menginap di rumah bertingkat dua milik
pak Asnan, warga setempat.
Setelah meletakan tas- tas bawaan, kami semua diajak mengunjungi
sebuat situs yang menjadi asal muasal nama pulau ini, yakni batu berlubang
(batu belobang).
Batu
Berlubang
Beberapa anak tempatan mengiringi langkah kami menapaki jalan
trotoar di kampung Pulau Batu Berlubang ini. Di bawah rerimbunan pohon kelapa,
di salah satu tanah yang cukup datar dan lapang, beberapa anak kecil sedang
asik bermain gasing kayu. Gasing memang permainan khas di negeri- negeri
Melayu.
Langkah kakipun terbawa melewati pemakaman
kampung. Beberapa nisan tegak menonjol sebagai penanda. Jarak pemakaman ini
tidak terlalu jauh dari deretan rumah warga. Berbelok ke arah kanan dari pemakaman kampung, kami
melintasi hutan savanna kecil setinggi pinggang orang dewasa. Di ujung savanna
ini laut biru nan jernih membentang seluas mata memandang. Pantulan sinar
mentari di siang itu membuat permukaannya berkilauan. Pasirnya yang bersih
ditaburi kerikil- kerikil beraneka warna. Di sana- sini beberapa kerang dan
cangkang siput berserakan, beberapa bergoyang- goyang dimainkan deburan ombak.
Melintasi savanna di Pulau Batu Belobang.
Pemandangan pantai Barat Pulau Batu Berlubang.
Kami menyusuri pantai ini ke
arah sebelah kiri. Sekitar 30 meter, jalan yang ditempuhpun mulai
menanjak. Ya, kami menaiki sebuah bukit kecil. Tidak terlalu tinggi, dan tidak
pula terlalu rimbun, namun suasana di dalam pepohonan yang menaungi jalur
mendaki ini cukup teduh.
Butuh setidaknya 10 menit mendaki ke bukit kecil ini, lalu sedikit
menurun. Di sebuah bibir jurang yang terbuka, aku sempat terpana. Pemandangan
di bawah sana sungguh sangat luar biasa indahnya. Laut biru yang membentang,
air bening nan jernih, dan pantai yang melekuk panjang. Jika seperti “wajah”
sebagian kecil Indonesia, untuk apa mencari rindu di Maldive atau Bahama sana.
Kita cukup datang ke Lingga, Anambas atau Natuna sana.
Menunggu teman- teman yang lain menuruni tebing
yang curam ini, akku menyempatkan diri mengambil beberapa dokumentasi dan video
untuk kenang- kenangan di tempat ini. Setelah semua teman- teman habis turun ke
bawah, barulah aku yang terakhir bersama dua orang anak tempatan yang baru
duduk di bangku kelas tujuh menyusul turun.
Pemandangan dari atas bukit di Pulau Batu Berlubang.
Di bawah tebing kami langsung menjumpai pantai berbatu licin
karena lumut- lumut menyelimutinya. Berbelok ke
arah kanan, kira- kira jarak 15 meter, di sanalah letak situs “Batu
Berlubang”, yang kini menjadi nama pulau indah ini.
Letaknya tepat di bawah tebing bukit yang kami daki tadi. Lubang
ini tercipta oleh abrasi yang disebabkan oleh deburan ombak pantai yang terus
menerus. Ada tiga lubang di dinding bukit ini. Lebarnya sekitar 1 meter dengan
tinggi sekitar 1,5 meter. Lubang di bagian tengah tingginya mencapai 2 meter.
Orang dewasa dapat masuk ke dalamnya. Saat pasang naik, tentunya lubang ini
tidak dapat dicapai.
Puas
mengambil dokumentasi di lokasi batu berlubang ini, akupun baru menyadari bahwa
hanya aku dan Alfie, salah satu media Reuters dari Singapura yang tertinggal di
sini. Kami memang menunggu teman- teman lainnya beranjak, sehingga Batu
Belobang ini dapat kami ambil gambarnya secara kosong, ada seorangpun di dalam frame foto.
Batu
Berlubang (Batu Belobang).
Situs
Batu Berlubang di Pulau Batu Belubang.
Kami
bergegas menuju ke pelantar utama Pulau Batu Belobang ini, teman- teman lain
pasti sudah menunggu. Agenda selanjutnya adalah rombongan ini akan menuju ke
Pulau Sekeling yang letaknya tak seberapa jauh dari Pulau batu Belobang. Di
sana para kru dan yacht mereka sedang
melego jangkar dan menjadikan Pulau Sekeling ini sebagai tempat peristirahatan
mereka.
Pesona Sunset dari
Pulau Sekeling, Pulau Mayat
Benar
saja perkiraanku, teman- teman yang telah jalan duluan rupanya telah naik ke
atas atap speed boat yang akan membawa kami ke Pulau Sekeling. Mereka
bergerombol di atas atap speed boat, tidak ada yang masuk ke dalam boat.
Tentunya karena di atas atap boat pemandangan lebih luas dan lebih leluasa
mengambil gambar ke segala arah.
Speed boat
berjalan pelan di tengah kencangnya angin laut yang berhembus. Pulau Sekeling
terlihat di ujung sana. Bagi warga Pulau Batu Belubang, mereka kadangkala
menyebut pulau kosong itu sebagai “Pulau Mayat”.
Ternyata
penyebutan nama Pulau Mayat itu sangat beralasan. Pulau sekeling jika dilihat
dari jauh memang mirip persis seperti mayat terbaring dan sedang bersedekap di
dada.
Pulau
Sekeling, dikenal juga dengan sebutan Pulau Mayat.
Semakin
mendekati Pulau Sekeling, beberapa yacht
yang terparkir di laut mulai kelihatan. Para kru-nya sedang berada di darat. Yacth- yacht itu dibiarkan terobang-
ambing di sekitar laut terdekat.
Speed boat
yang kami tumpangi berjalan pelan mendekati terparkirnya yacht tersebut, hari semakin senja. Di ujung sana, mentari mulai
turun ke peraduannya, meninggalkan bias- bias kuning kemerahan. Momen yang tak
dapat terlupakan.
Yacth
yang sedang parkir di Pulau Sekeling, Lingga.
Suasana
senja dilihat dari Pulau Sekeling, Lingga.
Speed boat
membawa kami untuk kembali ke Pulau Batu Belobang. Makan malam sudah menunggu
untuk disantap bersama ikan bakar dan cumi goreng. Tiba- tiba warna kekuningan
melintas di ufuk mata, ingatan akan sambal mangga siang tadi bergelayut manja.
Menggoda...
Lomba Layar di Garis
Khatulistiwa
Pukul
5:30 wib, Alfie, fotografer reuters dari Singapura sudah mulai hunting foto
sunrise di pinggir pantai, bersama dua temannya yang lain, yang juga dari
Singapura. Punggung badan mereka perlahan menghilang di dalam temaramnya subuh
yang baru berlalu.
Aku
menunggu setengah jam kemudian untuk menyusul mereka guna berburu sunrise di
pinggir pantai yang jaraknya hanya 30 meter dari homestay tempat kami bermalam.
Bias- bias matahari terbit perlahan naik di belakang awan yang berarak. Foto-
foto siluet-pun menjadi andalan di waktu ini. Di sisi lain, Danan, blogger dari
Batam tengah sibuk mengatur kamera Dji mini-nya untuk pengambilan video time lapse.
Suasana
pagi di Pulau Batu Berlubang.
Di
pelantar rumah penduduk tepat di seberang aku berburu sunrise, Bang Edo, salah
satu perwakilan Kementerian Pariwisata dari Jakarta yang juga turut pada
perjalanan ini melambaikan tangan, memanggilku sambil berteriak bahwa di tempat
pelantar penduduk itu, bagus untuk mengambil foto siluet. Jadilah aku bergabung
bersama Bang Edo di pelantar rumah penduduk, di atas laut untuk berburu foto
siluet.
Sehabis
sarapan pagi, ada waktu kosong yang lumayan panjang, karena di dalam jadwalnya,
para yachter akan turun ke Pulau Batu
Belobang sekitar pukul 11:00 wib. Aku dan Danan sepakat untuk kembali
mengeksplor daerah pantai tempat sebelum kami naik ke bukit kemarin. Rasanya belum puas kemarin untuk menikmati
birunya laut di pantai sebelah Barat Pulau Batu Belobang ini.
Keindahan
pantai Barat Pulau Batu Berlubang.
Kurang
lebih dua jam lamanya kami di pantai bagian Barat pulau ini. Membuat beberapa
video dan foto- foto perjalanan sebagai sekedar penghias blog, atau bahan status
pamer di facebook, dan buat bahan pajangan di instagram, serta tentunya buat
konten di chanel youtube kita.
Pukul
11:30 wib, para yachter mulai
berdatangan dengan dua kapal penuh dari Pulau Sekeling. Mereka disambut dengan
tabuhan rebana yang dimainkan oleh penduduk setempat, dan dengan diantar oleh
anak- anak Pulau Batu Belobang secara bergandeng tangan dengan bule- bule itu, mereka
diarak ke pantai Timur Pulau Batu Belobang, tempat dimana acara penyambutan
diadakan.
Acara
ini dipimpin oleh Mas Edi dengan santai, hangat dan penuh keakraban. Dibuka
dengan doa dan kemudian para yachter
sangat antusias mengambil video dan foto saat pencak silat Melayu ditampilkan,
dan disambung dengan tarian Sekapur Sirih.
Mas
Edi, pemandu acara.
Bp.
Raja Fahrurrazi, Kadisbudpar Lingga berserta jajarannya.
Kepala
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga, Bapak Raja Fahrurrazi, dalam
sambutannya yang dibawakan dalam bahasa Inggris menyampaikan bahwa , masyarakat
Lingga, khususnya masyarakat Pulau Batu Belobang sangat senang pulau mereka
disinggahi dalam pagelaran Nongsa Neptune Regatta 2019 ini. Lingga memiliki
banyak pulau dan pantai- pantai yang jernih dan biru, serta cantik, dengan
keramahtamahan warga yang hangat, serta kuliner yang lezat. Semua itu adalah
potensi yang sangat luar biasa untuk dinikmati oleh para wisatawan. Pintu
Lingga selalu terbuka lebar jika para yachter
ingin kembali ke Lingga untuk menikmati keindahan alamnya.
Belakangan
aku baru tahu, ternyata Pak Raja Fahrurrazi dahulunya pernah berprofesi sebagai
guru bahasa Inggris. Pantas cuap- cuapnya dalam bahasa Inggris mengalir deras
begitu saja.
Sebelum Nongsa Neptune Regatta ini, terlebih dahulu
digelar Nongsa Regatta 2019, di tanggal 25-27 Januari 2019. Venue-nya sama, yakni di Nongsa Point
& Resort. Meski sama-sama lomba layar, kedua event ini berbeda. Nongsa Regatta hanya memberi lokasi berlayar di
seputaran perairan Nongsa, Batam. Untuk Nongsa Neptune Regatta lokasinya luas
hingga ke khatulistiwa. Berarti ini adalah event
pertama kali di dunia, dengan tajuk lomba layar melalui garis khatulistiwa. Dan
itu diadakan di Lingga. Keren bukan?
Nongsa Neptune Regatta ini terbuka untuk siapapun.
Apalagi, ada kelas Non Racing Fleet.
Jadi, siapapun dapat memiliki kesempatan lebih lama untuk menikmati beragam view eksotis sepanjang rute lomba layar
ini.
Di Nongsa Neptune Regatta, power boats juga bisa digunakan. Namun, keduanya menggunakan
regulasi sama. Acuannya adalah, World
Sailing Racing Rules of Sailing 2017-2020. Detailnya terkait OMR, Texel Rules, dan One Design kapal plus
kelasnya masing-masing.
Dua event ini
sangat ideal, dengan wilayahnya yang didominasi perairan. Pasarnya juga sangat
besar khususnya di mancanegara. Mereka sudah tahu menariknya rute yang
ditawarkan oleh dua event ini.
Terkait Nongsa Neptune Regatta, tantangannya tentu saja lebih menarik ditinjau dari
kelas yang dilombakan.
Nongsa Neptune Regatta ini pada dasarnya terbagi dalam
6 Race. Race ke-1 menjalani rute Nongsa menuju Pulau Riau. Start-nya berada di Pantai Turi Utara
dengan lokasi finish pada Pulau Riau.
Race 2 melanjutkan rute dari Pulau
Riau menuju Pulau Sekeling. Berikutnya, race
ke-3 adalah jalur menuju ke garis khatulistiwa. Pada race ke-4, di sini para yachter
menuju balik ke Pulau Riau, setiap kapal wajib menghubungi Race Committee melalui VHF 69 2-minute
menjelang balik.
Wisatawan berswafoto dengan anak-anak Pulau Batu
Berlubang.
Pada race
ke-5, rutenya adalah dari Pulau Sekeling menuju ke Pulau Mubut Darat.
Berikutnya, peserta kembali berlayar menuju Nongsa dari Pulau Mubut Darat. Jalannya
lomba layar ini dijamin akan semakin bergairah karena tidak ada batasan jumlah
juga berat crew. Hanya saja, setiap kapal harus terdaftar dalam asuransi.
Salinan asuransi harus dilampirkan dalam proses registrasi kapal ini.
Balapan layar ini juga menampilkan dua kelas besar,
yakni kelas Motor Yacht Rally dan Sailing Yacht Rally. Ada 6 kategori yang
dipertandingkan. Untuk kategori Racing
Fleet sendiri masuk ke dalam regulasi balapan. Kategori ini terdiri dari
kategori Cruising Multihull, Cruising Monohull, Classic Yacht, hingga Racing
Multihull. Kategori lainnya adalah Non
Racing Fleet. Kategori tersebut memakai kapal bukan untuk balapan.
Para petarung lautan ini berasal dari berbagai Negara,
seperti Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Prancis, serta Australia. Mereka menempuh total jarak tempuh sampai 892 Mil Laut. Spot tersebut hanya berjarak 11 Mil Laut
dari Singapura dan Johor (Malaysia).
Goyang 60-an, Nona Singapura
Sehabis makan siang bersama, alunan
lagu- lagu Melayu dilantunkan secara live oleh musikus setempat. Beberapa
penari anak dara menarik para wisatawan mancanegara ke gelanggang untuk
berjoget bersama. Alunan nada “Tanjung Katung” berdentang dengan ceria
mengiringi rentak kaki para wisatawan yang berjoget. Senyum dan tawa mereka lepas
di siang yang terik itu.
Wisatawan berjoget bersama.
Blogger dan media asing bergoyang bersama
penari.
Lagu kedua, yang dikenal di Singapura
dengan sebutan Goyang 60-an dengan judul lagu “Nona Singapura” menambah
semaraknya suasana. Kali ini para blogger dan media mancanegara menunjukan
kebolehan mereka dalam berjoget ria. Tawa terdengar menggema di mana- mana,
baik dari peserta yang sedang menari, maupun dari warga yang menonton kelucuan
gerakan dari awak media yang sedang berjoget.
Aku sendiri, memandang berseri pada mereka
yang sedang ceria menari, dan kagum akan khazanah budaya negeri ini. Berharap
dengan sambutan hangat warga Pulau Batu Belobang ini, nantinya dapat
meninggalkan gurat- gurat kenangan indah di hati mereka, sehingga ketika mereka
memandang laut, mereka hanya mengingat nama Lingga, Lingga, dan hanya Lingga.
Bams @2019
Kamu penasaran pingin lihat kehebohan
suasana di Pulau Batu Berlubang ini? Videonya dapat juga kamu tonton di sini …
Dan juga di video berikut...
No comments:
Post a Comment