Sebenarnya perjalanan ke Danau
Kaco ini sudah lama saya idam- idamkan. Bukan hanya karena Saya terpesona oleh
keindahan foto- fotonya yang belakangan ini berseliweran di media sosial, namun
juga karena rasa penasaran Saya, kenapa di masa lalu lokasi Danau Kaco ini
tidak pernah Saya dengar? Padahal Saya dilahirkan dan bersekolah sampai di
bangku SMU di Kabupaten Kerinci, namun memang saat itu cerita tentang Danau
Kaco ini tidak pernah terdengar sama sekali.
Di dalam hati seolah- olah muncul
perasaan “aneh” saja rasanya, seorang putra tempatan tidak tahu dan belum
mengunjungi lokasi yang indah di tanah kelahirannya. Juga ada rasa “iri” dengan
orang- orang luar daerah yang datang dari jauh malah sudah menginjakan kaki ke
Danau Kaco ini.
Karena itu, dengan tekad yang
membara akhirnya Saya cari waktu luang untuk pulang ke Kerinci, apalagi jika
bukan untuk menyambangi Danau Kaco.
Kamis, 14 Mei 2015. Dengan diantar
oleh dua orang teman – Inai dan Rivo – kami memulai perjalanan. Butuh sekitar
satu jam berkendaraan dari Kota Sungai Penuh menuju ke Desa Lempur, Kecamatan
Gunung Raya, dengan jarak lebih kurang 40 KM. Jika kita menggunakan angkutan
umum, ongkos yang diperlukan sekitar Rp. 15.000,- untuk sekali jalan. Turunnya
di Simpang Desa Lempur, bilang saja ke supir angkutan umumnya bahwa kita akan
ke Danau Kaco, nantinya akan diturunkan oleh si supir titik mulai trekking ke
Danau Kaco tersebut.
Dari Simpang Desa Lempur, tidak
ada angkutan umum atau ojek ke arah
dalam, ke arah Benteng – tempat parkir
kendaraan dan tempat pendaftaran/ registrasi – di mana trekking yang sebenarnya
dimulai. Benteng ini dapat dicapai dengan berjalan kaki yang menghabiskan waktu
tempuh sekitar 1 s.d. 1,5 jam. Jangan khawatir, rasa penat itu dapat diobati
dengan pemandangan hijau di kiri- kanan jalur, sawah yang subur dan deretan
bukit barisan yang terkenal itu.
Di Benteng – dulunya merupakan
benteng pertahanan Depati Parbo (Salah seorang pahlawan nasional Kerinci) saat
melawan penjajahan Belanda – terdapat satu pos registrasi yang dikelola oleh
masyarakat tempatan. Dengan membayar Rp. 10.000,- kita sudah bisa memulai
trekking ke Danau Kaco. Menurut informasi yang Saya dapat di lokasi pos ini,
registrasi hanya dikutip pada hari
Minggu saja, sedang di hari biasa atau di tanggal merah, registrasi tidak
diberlakukan.
Perjalanan dari pos Benteng menuju
Danau Kaco memakan waktu sekitar 2 s.d. 2,5 jam. Jalur yang dilalui sangat
jelas dan lumayan lebar. Sepertinya jalur ini sering digunakan oleh para
penduduk desa menuju ladang mereka dengan menggunakan gerobak yang ditarik oleh
sapi atau kerbau. Kondisi jalur becek di sana- sini. Hal ini dikarenakan oleh
curah hujan yang lumayan tinggi dan hutan yang masih lebat, sehingga kelembaban
tanah subur yang dinaunginya tetap terjaga.
Di akhir jalur yang cukup lebar
tersebut, akan kita jumpai jalur jalan setapak yang sempit dan menembus semak-
semak lumayan rapat. Beberapa kali melintasi anak sungai kecil dan memasuki hutan
bambu kita akan menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar dengan meniti
jembatan bambu yang dibangun sebelumnya oleh team SAR saat misi pencarian satu
orang survivor yang tersesat dan hilang di Danau Kaco ini di Bulan Desember
2014 yang lalu. Sebelumnya kejadian tersebut, pengunjung harus melintasi sungai
sedalam sepinggang orang dewasa ini saat
melewati jalur ini.
Tak berapa lama kemuadian, Danau
Kaco-pun terlihat di sela- sela lebatnya hutan hujan Sumatera. Danau yang
terletak di ketinggian 1.289 mdpl ini berwarna biru tosca. Keindahan pancaran
warnya betul- betul menyilaukan mata yang memandangnya.
Legenda dan cerita rakyat tumbuh
dan berkembang menjadi sebuah “misteri” tentang Danau Kaco ini. Dari cerita
yang Saya dapatkan, pada suatu masa, di Gunung Raya ada seorang wanita cantik
bernama Puti Suluh Makan. Berasal dari Tanjung Gagak, berdekatan dengan Muara
Air Dikit atau Ujung Buki Pematang Suo. Dusun Tanjung Gagak dikuasai oleh Raja
Gagak. Nama gagak diambil dari nama sejenis burung yaitu burung gagak.
Wajah yang cantik dimiliki oleh
Puti Suluh Makan ini membuat para pemuda dan anak-anak remaja yang ada di desa
Tanjung Banuang Dusun Tinggi dan Tanjung Kasri Kegirangan. Mereka jatuh cinta
kepada Puti Suluh Makan dan berkeinginan menjadikannya istri, karena kecantikan
dan kemolekannya banyak anak-anak raja dan pemuda waktu itu berkeinginan
melamarnya. Namun, Puti Suluh Makan selalu menolak lamaran yang diterimanya.
Titipan tanda ikatan janji,
seperti emas dan intan serta permata diberikan oleh anak raja dan pemuda
seantaro kawasan negeri itu kepada Puti Suluh Makan, telah memenuhi kendi yang
terbuat dari tanah. Keinginan anak raja dan pemuda terhadap Puti , memunculkan
cerita versi lain bahwa ayahnya Puti Suluh Makan, yakni Raja Gagak juga jatuh cinta
pada anaknya, hingga membuat niat durjana dan gilanya bangkit, bahkan ingin
menikah dengan anaknya sendiri untuk dijadikan isteri.
Makin hari keinginan untuk
menikahi anaknya makin kuat. Niat jahat untuk menikah dengan anaknya sendiri
tersebut akhirnya diketahui oleh isterinya. Terjadilah pertengkaran antara Raja
Gagak dengan sang isteri, serta timbul niat jahatnya untuk membunuh isterinya.
Setelah isterinya meninggal raja gagak membawa anaknya Puti untuk pindah ke
Gunung Kunyit Bagian Barat, di pinggiran Sungai Manjuto. Mereka menetap di sana
dan mendirikan sebuah desa yang hingga kini masih ada desa tersebut. Itulah
Dusun Batong Limok Purot.
Kawasan yang dihuni oleh Raja
Gagak dan anaknya Puti beserta rakyatnya tidak aman, karena mereka sering diganggu
oleh ular yang banyak sekali, baik di dalam maupun di luar rumah. Merasa tidak
aman tinggal di negeri itu, maka Raja Gagak membawa anaknya lari dari rakyatnya
dengan membawa emas, intan dan permata pemberian anak- anak raja yang
sebelumnya terkumpul di kendi tanah.
Dalam pelarian itu, konon kabar
Puti sedang dalam keadaan mengandung yang disebabkan oleh bapak sendiri.
Kepergian Raja Gagak tersebut adalah hendak menyembunyikan emas dan intan yang
ada di dalam kendi ke dalam Lubuk Muara Labing. Namun, sesaat setelah
disembunyikan, ternyata kemilau cahaya emas, intan permata tersebut berpendar
ke alam sekitarnya. Dengan demikian Raja Gagak takut akan ketahuan tempat
penyimpanannya itu diketahui oleh orang lain.
Raja Gagak mengambil kembali kendi
tadi dan berjalan mengikuti arus Sungai Manjuto di Lempur. Tidak berapa jauh
dari Sungai Manjuto, Raja Gagak menyembunyikan emas, intan permatanya di dasar
Danau Kaco.
Berdasarkan riwayat Kendi berisi
emas, intan permata yang berkilauan di dasar Danau Kaco itulah, sampai saat
ini, diyakini oleh masyarakat setempat – emas, intan dan permata itu masih
tersimpan didasar Danau - yang membuat
Danau Kaco Itu memantulkan cahaya, apalagi saat Bulan Purnama.
Percobaan pengambilan harta
terpendam ini telah pernah diusahakan oleh Lisyuar Yusuf, salah satu warga Koto
Payang, yang berakhir dengan tewasnya Lisyuar Yusuf tersebut.
Setelah Raja Gagak menyembunyikan
harta tersebut di dasar Danau Kaco, ia dan Puti melanjutkan perjalanan menuju
Bukit Lintang. Di sana Raja Gagak panik karena anaknya si Puti sudah mulai
membesar perutnya oleh sebab perbuatannya sendiri. Untuk menutupi aib tersebut,
tidak ada jalan lain lagi, Puti Suluh Makan, si gadis cantik yang menarik hati
itu berakhir di ujung keris ayahandanya.
Puti Suluh Makan dimakamkan di
Puncak Bukit Lintang, tepatnya di puncak Bukit Lintang, sebelah kanan jalan
dari Desa Ipuh menuju ke Desa Lempur.
Terlepas dari benar atau tidaknya
hikayat tentang emas, intan dan permata tersebut, Danau Kaco tetap saja adalah
sebuah “permata” yang berkilauan di tengah lebatnya rimba belantara.
Salam satu jiwa.
*B4MS*
* * * * *
Tulisan ini diikutsertakan di dalam Kompetisi Menulis pada
Kategori Review Peralatan Hiking yang diadakan oleh salah satu toko outdoor
sport ternama di Surabaya. Linknya dapat dilihat di sini http://cadventura.com/danau-kaco-kisah-permata/
Beberapa kali aku juga liat postingan teman ttg Danau Kaco ini, mas.. keren banget yaa...
ReplyDeleteSekali saja mba dian... sekali saja sebelum ajal menjemput harus datang ke danau kaco... 😄
Delete