By : Bams Nektar
Inspirasi bagi
Pendaki #17
Beberapa
waktu lalu Saya sempat memposting sebuah link cerita evakuasi dua orang pendaki
perempuan yang cedera di Gunung Marapi (2.981 mdpl), Sumatera Barat, pada wall FB sebuah grup penggiat alam bebas.
Tidak berapa lama kemudian, Saya mendapat notifikasi add friend dari seorang
pendaki dengan nama FB, Zifanno. Setelah Saya approve, inbox di layar laptop
Saya pun berdentang tanda adanya satu message yang baru saja masuk. Rupanya
dari saudaraku Zifanno yang pertemanannya di FB baru saja Saya terima.
Berlangsunglah
percakapan antara Saya dan Zifanno di FB, transkrip percakapannya kira- kira
sebagai berikut:
Zifanno : “Assalamu'alaykum
Om. Maaf, berita tentang 2 mahasiswi *** itu rombongan ane om. Sekitar
Tanggal 25 Mei kemaren”.
Bams
: “Wah,,,, ketemu dengan saksi hidup
nih. Emang betul jumlahnya 15 orang saat itu ?”.
Zifanno : “Iya...
Jadi, pas jam 6 pagi, kami 4 orang stay di Cadas. Sementara yg lain ke Puncak,
ane udah bilang ke Rekan- rekan, kalo ke Puncak kagak usah ke Taman atau dekat
kawah, kerena petugas udah bilang gak boleh mendekati kawah radius 300 m.
Mereka cuma bilang iya. Kami yang berempat istirahat di camp cadas”.
Zifanno : “Jam
10, salah seorang rekan yang di puncak menelpon kami bahwa saudari N cidera
kaki dan A mengalami pingsan. Ya udah, bersegeralah ane dan 2 rekan menjemput
ke atas. Hingga jam 11.30 kami baru bisa melanjutkan evakuasi sahabat kami ke bawah
om”.
Bams
: “Cewek yang 2 orang itu apakah baru
pertama kali ini mendaki? Atau sebelumnya sudah pernah ?”.
Zifanno : “Saudari
A dan N udah pernah nanjak sebelumnya om. Bahkan A pernah nanjak ke Mt. Sibayak
di Sumatera Utara”.
Zifanno : “A
bisa berjalan walau pelan. Tapi, N gak bisa jalan sama sekali. Harus digendong
om, bayangin kami menggendong N secara bergantian menuruni cadas. Pas jam 2.30 siang,
kami sampai di camp. Makan dan istirahat. Kami packing dan siap- siap turun.
Rombongan kami bagi dua. Di antara 15 orang tersebut, 7 orang terdiri dari N , ane
dan lima pria di belakang, yang lainnya ane suruh duluan ke pos. Tepat jam 4
sore, Ane di rombongan belakang memapah N yang cedera kakinya. Bergantian
menggendong memapah, hingga di ketinggian 1.700 mdpl sebelum kilometer 4 dari
puncak, kami stop total karena kami lupa meminta logistik dengan rombongan yang
duluan ke pos”.
Bams
: “Hasil dari penelusuran, mengapa bisa
terjadi begitu yah? Mengingat keduanya sudah punya pengalaman mendaki. Faktor
fisik atau ada faktor lainnya? Mungkin karena elevasi ?”.
Zifanno : “Saudari
A dan N mungkin kelelahan Om. Mereka semangat banget pas Sunrise langsung ke
puncak”.
Zifanno : “Om
bisa liat foto evakuasi kami di album Foto ane”.
Bams
: “Ok, ane cek dulu fotonya.... Berarti
kejadian insidennya di sekitaran Tugu Abel yah ?”.
Zifanno : “Bukan
Om, di pelataran dekat Puncak Garuda”.
Bams
: “Oooo, i see,,,, itu di foto sampul,
orang- orang yang lagi rame di belakang Zifanno itu yang lagi evakuasi yah? Yang
cedera, cewek yang pake jaket hijau?”.
Zifanno : “Waktu
itu iya Om.. Tapi, alhamdulillah, pas petugas pos bertemu kami, N langsung
dipijit kakinya”.
Bams
: “Ok, thanks informasinya brader, btw
inti percakapan kita ini akan Saya jadikan bahan tulisan untuk inspirasi bagi
para pendaki di beberapa grup pendaki. Tentunya dengan beberapa revisi untuk
melindungi identitas korban. Nama kangmas Zifanno tetap akan Saya show-kan
sebagai referensi, dan fotonya yang lagi menggendong korban di cadas itu Saya
mohon izin nantinya akan Saya gunakan untuk sampul depan tulisan Saya yah…. “.
Zifanno : “Inshaallah,
buat sebuah i'tibar, ane setuju om.. Mudah- mudahan, rekan- rekan pendaki yang
lain bisa mengambil pelajaran om”.
Dua
orang pendaki wanita yang cedera dan menjadi survivor tersebut sangat
beruntung. Mereka memiliki teman- teman seperjalanan yang sangat luar biasa.
Yang peduli untuk menggendong ataupun memapahnya untuk turun dari puncak sebuah
gunung melalui cadas dan hutan belantara, hanya berlandaskan pada rasa
kesetiakawanan yang dalam di lubuk hati mereka.
Jikalau
Saya yang berada di posisi survivor tersebut, mungkin Saya sudah bernazar,,,
“Seandainya ada yang menolong Saya dan menggendong Saya sampai selamat ke kaki
gunung, jika dia laki- laki akan Saya jadikan saudara, dan jika dia wanita,
akan Saya jadikan istri,,,”. Untuk kasus saudaraku Zifanno di atas, Saya lupa
menanyakan kepadanya, “Apakah si survivor A dan N juga punya nazar yang seperti
itu…???”.
Dalam
suatu perjalanan pendakian gunung, teman seperjalanan yang baik adalah segala-
galanya. Dia ibarat tempat berbagi susah dan senang. Biasanya, di gunung akan
terlihat semua sifat dan karakter tersembunyi dari orang tersebut.
Tiba-
tiba Ingatan Saya melambung ke masa silam, masa di mana soloist (mendaki
sendirian) pernah menjadi jalan hidup Saya. Beberapa gunung memang pernah Saya
tempuh dengan mendaki sendirian. Langkah kaki yang diiringi lolongan anjing
saat Bulan Purnama di tengah ladang tebu, Berjalan diam dalam keheningan
belantara, duduk termenung di jalur pendakian yang gelap gulita saat malam,
meraba jalur baru dibantu cahaya lilin di tangan atau meringkuk kedinginan
sendirian di dalam tenda sambil mendengarkan celetuk burung malam, patahan
ranting yang mendarat di permukaan bumi atau gemerisik rintik hujan kala dini
hari.
Hal-
hal semacam potensi bahaya yang mungkin terjadi pada saat itu menjadi kabur
seiring meningkatnya adrenalin di dalam tubuh. Butuh keterampilan dan fisik
serta keahlian yang luar biasa untuk melakukan soloist. Rasa takut pasti ada,
karena Saya juga bukan orang yang pemberani banget. Saya Cuma bermental challenge oriented
(berorientasi kepada tantangan). Kalau ditanya tantangan apa? Tantangan yang
Saya berikan untuk diri Saya sendiri, apakah Saya berani melakukan soloist ?
Dan ternyata Saya bisa membuktikan bahwa Saya dapat melakukannya. Parahnya, hal
itu membuat addicted…!!! Yah… Kecanduan….
Saya
pribadi menyarankan untuk tidak melakukan pendakian solo (soloist). Dalam
prosedur pendakian hal ini sebenarnya dilarang. Untuk itu kita mengenal adanya
buddy system, yakni selalu berjalan minimal berdua beriringan. Hal ini sebagai
system preventif (pencegahan) jika terjadi kondisi emergency pada pendaki. Jika
emergency tersebut terjadi, pendaki yang satunya dapat melakukan pertolongan
dan atau dapat mencari bantuan.
Tidak
terbayangkan bukan? Jika dalam kisah saudaraku Zifanno di atas, jika saja
pendaki solo yang mendapat musibah itu? Misalkan saja cedera patah kaki.
Bagaimana pendaki tersebut akan turun gunung sendirian? Apalagi soloist-nya
dilakukan saat musim pendakian lagi sepi. Butuh mental yang lebih tebal dari
baja untuk merangkak atau ngesot di jalur turun, dan tentunya butuh
perlengkapan, teknik dan pengetahuan first aid yang mampuni agar merangkak atau
ngesot tersebut dapat dihindari.
Dalam
suatu forum trekking Malaysia, di mana Saya juga ikut menjadi salah satu
anggotanya, informasi krusial tentang bahaya soloist ini pernah Saya dapatkan.
Suatu waktu di Malaysia, ada seorang soloist yang melakukan trekking ke dalam
hutan dan hilang tanpa kabar berita. Empat hari kemudian tim SAR menemukan
jenazahnya di jalur trekking dengan kondisi memilukan. Tubuhnya terkena banyak
sengatan tawon hutan. Dari sms yang ada di handphone-nya yang tidak sempat
terkirim karena ketiadaan sinyal di TKP, dapat diketahui bahwa kejadian
tersebut terjadi di siang hari.
Bayangkan…!!!
Selama ini Saya hanya terfokus terhadap potensi bahaya jatuh, terkilir, patah,
pusing, muntah, hipotermia, hipoksia, ular,,,
Dan
tawon…??? Lebah…??? Mahluk kecil yang tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah
diperhitungkan sama sekali… Bagaimana dengan perampok… ??? Ternyata potensi
bahayanya banyak sekali.
Secara
statistic memang, fatality yang terjadi pada soloist mungkin hanya 1% saja dari
beberapa kurun waktu pendakian. Dan bahkan banyak insiden malah terjadi pada
pendakian dengan team. Namun sebenarnya bukan itu yang terjadi. Dua- duanya,
baik yang soloist maupun yang team sama- sama punya peluang 50% untuk insiden
fatality, hal ini hanya masalah, pendaki soloist lebih sedikit penganutnya jadi
insiden yang ada juga sedikit, sedang pendaki team lebih banyak, jadi insiden
yang ada juga lumayan banyak.
Nah,
kawan- kawan pendaki sekalian, menjadi pendaki soloist maupun pendaki team
adalah pilihan masing- masing dari diri anda. Anda dapat mempertimbangkan
segala resikonya, menelaah segala keuntungan dan kerugiannya, menetapkan semua
keputusannya. Apapun keputusannya terhadap dua pilihan tersebut, tetap saja
anda harus mempersiapkan perlengkapannya
dan mempelajari ilmunya.
Keep
climb, keep safety.
Salam
satu jiwa.
* * * * *
Batas antara “gelap” dan “terang” itu sangat
jelas,,, ilmu…
Semoga jiwamu
tercerahkan.
*B4MS*
* * * * *
Bams mengajak
untuk :
“GUNAKAN
HATI SAAT MENDAKI”
No comments:
Post a Comment