Festival Jong 2019 digelar pada Rabu
(13/3) oleh Pemerintah Kota Batam melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora)
Kota Batam. Festival yang selalu ditunggu-tunggu oleh para wisatawan dalam dan
luar negeri ini, seperti tahun-tahun sebelumnya tetap digelar di Pantai Mak
dare, Kampung Tua Melayu, Batubesar Nongsa.
Event tahunan yang selalu digelar pada bulan
Maret setiap tahunnya ini, dikemas dalam bentuk Festival Jong. Festival Jong ini
merupakan lomba balap perahu mini tanpa awak yang digerakan sepenuhnya oleh
angin. Lomba perahu jong ini adalah permainan yang sangat populer dan dikenal
luas di dalam masyarakat Melayu, terutama masyarakat Melayu Kepulauan Riau yang
identik dan akrab dengan budaya maritimnya.
Dipilihnya lokasi Kampung Tua Kampung
Melayu, tepatnya di Pantai Mak Dare, Nongsa sebagai venue dari Festifal jong ini bukan tanpa alasan. Lokasi ini sangat
tepat sekali untuk menggelar lomba balap perahu jong, karena pantainya yang
landai dan membentuk seperti sebuah cerukan atau teluk kecil, sehingga para
pemain jong dapat melepaskan perahu jong milik mereka dari ujung teluk terluar,
mengarah ke teluk bagian dalam.
Selain itu, hembusan angin yang sangat
kuat di sekitar Pantai Mak Dare ini juga turut mendukung kemeriahan festival
ini, karena lomba perahu jong ini memang sepenuhnya bergantung kepada tiupan
angin.
Menggali sejarah jong sendiri tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh etnis Tionghoa sudah datang ke Indonesia sebelum orang
Belanda. Perantauan orang Tionghoa ke Nusantara,
khususnya untuk keperluan dagang, baru muncul pada zaman dinasti Ming,
persisnya pada akhir abad ke 14, ketika diberitakan adanya beberapa pedagang
Cina yang menetap di Palembang dan Temasik (Singapura). Keadaan ini terus
berlanjut sampai pada zaman kerajaan Melaka yang berlangsung dari tahun 1400
sampai 1511.
Perbandingan
antara kapal jung Cheng Ho ("kapal harta") (1405) dengan kapal "Santa
Maria" Colombus, 1941/93. Santa Maria panjangnya 19 m
sedangkan kapal harta Cheng Ho 136 m. Wikipedia.co.id
Hubungan Tiongkok-Nusantara
mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming dengan tujuh kali muhibah Laksamana
Cheng Ho ini ke Nusantara. Para cendekiawan Tiongkok yang mendampingi Cheng Ho
membuat catatan perjalanan yang umumnya menggambarkan keadaan sosial- budaya di
Nusantara. Tak heran jika di masa inilah terdapat bahan sejarah paling kaya dan
lengkap mengenai hubungan kedua bangsa.
Etnis
Tionghoa dalam perkembangannya menguasai sepenuhnya perdagangan di
Tanjungpinang yaitu pada tahun 1808. Pada tahun itu Tanjungpinang tumbuh
sebagai pusat perdagangan gambir. Oleh karena Raja Djafar Yang Dipertuan Muda
Riau VI memindahkan pusat kekuasaan Yang Dipertuan Muda ke Pulau Penyengat. Ia
membangun gedung- gedung baru yang menyebabkan Pulau Penyengat menjadi ramai
dan Tanjungpinang semakin berkembang.
Sesudah
tahun 1830 penduduk etnis Tionghoa dan India di Tanjungpinang semakin
bertambah. Hal itu, disebabkan adanya perjanjian antara Sultan Riau dan Belanda
melalui kontrak politik tahun 1857 yang menyatakan bahwa golongan etnis
Tionghoa dan India disamakan dengan golongan Eropa. Mereka menjadi bagian
penduduk pemerintah Belanda bukan sebagai bagian penduduk Kerajaan Riau. Sampai
tahun 1857 etnis Tionghoa tetap dikepalai oleh seorang pemimpin dengan pangkat
Kapitan.
Pada
tahun 1906-1910, Tanjungpinang merupakan kota yang didominasi oleh etnis
Tionghoa dengan persentase terbesar di antara kota lain di Indonesia yaitu
sebesar 58,86% . Data mengenai perkembangan etnis Tionghoa sesudah tahun
1906-1910 belum cukup memadai. Sementara itu, sampai tahun 1914 banyak
didatangkan etnis Tionghoa sebagai kuli kontrak. Akan tetapi banyak etnis
Tionghoa yang datang atas inisiatif sendiri. Etnis Tionghoa tersebut tidak
kembali ke negeri asalnya setelah masa kontrak selesai.
Butuh
angin laut untuk melayarkan jong.
Sementara
itu beberapa ahli sejarah berasumsi, secara resmi etnis Tionghoa pertama datang
ke Nusantara baru pada abad ke-7 M pada masa Dinasti Tang. Ketika itu letak
geografis Nusantara, khususnya Jawa, sudah tercatat. Pada periode Dinasti Tang ini
mungkin mereka sudah menggunakan kapal sendiri (kapal Tiongkok). Namun kita
tidak tahu seberapa besar armadanya.
Menetap jauh dari negeri mereka di Pulau Bintan, tidak
serta- merta membuat etnis Tionghoa ini lupa akan beberapa tradisi dan
kebudayaan mereka. Salah satunya adalah tradisi ritual memberikan sesaji ke
lautan. Dalam sesaji tersebut terdapat sebuah kue bernama “Jong Kong”. Sesaji
itu dibawa oleh sebuah perahu kecil ke lautan hingga hanyut tak terlihat lagi.
Dibandingkan tradisi melarung ini dengan perahu
larungnya, orang Melayu yang melihatnya lebih tertarik pada bentuk perahu
kecilnya yang dapat dijadikan mainan yang menyenangkan di permukaan air laut.
Nama kue dalam ritual pelarungan perahu mungil inilah yang dijadikan nama untuk
permainan perahu ini, “Perahu Jong”.
Jong sendiri terdiri dari beberapa
bagian, yakni terutama badan sampan dengan Sauk
yang merupakan seni dan ciri khas dari tradisi Melayu. Ukuran sauk harus sama dengan kayu yang telah
dipahat. Dalam pembuatan jong ini biasanya tidak menggunakan paku. Karena paku cepat
berkarat dan memberatkan jong. Fungsi sauk
adalah untuk meluruskan atau menyeimbangkan Jong.
Jong dengan layarnya yang berwarna-warni.
Bagian lainnya adalah Ganda Kate, yaitu sebatang kayu lurus yang
digunakan untuk memberi imbangan kepada jong. Ganda Kate ini di masukkan ke dalam lubang yang disediakan di
tengah jong. Ganda Kate ini selalu mengikuti
arah angin, jika angin dari arah selatan, Ganda
Kate akan dimasukkan dari kiri. Jika angin dari arah utara, Ganda Kate akan dimasukkan dari kanan
jong.
Bagian lain jong yang tak kalah
penting adalah Layar dan jeep yang berfungsi untuk merubah
putaran angin supaya jong menjadi terarah.
Biasanya jong dibuat sepanjang 1,5
meter dengan lebar sejengkal tangan orang dewasa, dengan tinggi layar tidak
lebih dari 2 meter. Kayu yang dipilih untuk membuat jong ini biasanya adalah
jenis kayu pulai.
Cara memainkannyapun juga sangat
sederhana, jong cukup diletakan di atas permukaan laut di pantai. Tiupan angin
laut akan mendorong jong untuk berlayar menuju tengah laut.
Para peserta jong bersiap sebelum bertanding.
Jong
dimainkan pada saat musim Angin Utara, sekitar bulan Desember hingga April
setiap tahunnya, dimana pada musim itu angin bertiup kencang di perairan Kepri dan
pulau- pulau terdekatnya. Ketinggian ombak di tengah laut sedang tinggi,
sehingga para nelayan tidak dapat melaut. Untuk mengisi waktu luang mereka
selama menunggu musim Angin Utara reda, mereka membuat dan mempertandingkan
perahu Jong ini, termasuk bagi masyarakat pesisir di Pulau Batam.
Hingga
kini, Festival Jong sudah menjadi agenda pariwisata Kota Batam dan menarik
banyak minat wisatawan untuk datang menyaksikannya. Tidak hanya menarik para
wisatawan, Festival Jong di Pantai Mak Dare, Batubesar, Nongsa, Batam ini juga
lebih banyak lagi menarik para pemain jong setiap tahunnya. Para peserta jong
dari luar daerah di sekitar Pulau Batam dan Riau daratan, bahkan dari Negara
tetangga, Malaysia dan Singapura juga
berdatangan memenuhi panggilan festival tahunan ini.
Festival ini dibuka hari Rabu (13/3)
oleh H.M. Rudi selaku Walikota Batam, sedangkan untuk pertandingan jong sendiri
sudah dimulai pada pukul 08:00 wib. Hendriana Gustini selaku Kepala Dinas
Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Batam, mengatakan, bahwa lomba jong ini
merupakan olah raga rekreasi yang sangat diminati oleh masyarakat Kepri. “Para
peserta jong bukan hanya berasal dari Batam saja, namun juga dari kabupaten
lainnya, seperti dari Karimun, Meranti, bahkan juga dari Negara tetangga
terutama dari Malaysia. Namun, untuk peserta dari Malaysia akan bermain di hari
kedua nanti dalam bentuk pertandingan eksibisi,” jelasnya.
“Festival jong sendiri baru kita
jalankan selama tiga tahun ini dengan menggunakan dana yang bersumber dari APBD
Batam, walaupun demikian sebenarnya perlombaan jong ini sudah digelar oleh
masyarakat secara swadaya selama 18 tahun. Ke depan kita juga ingin
mengembangkan event ini lebih besar lagi, misalnya selain perlombaan jong, kita
gelar juga cara membuat jong agar masyarakat dan wisman yang datang dapat mengetahui
seluk- beluk jong ini, sehingga mengangkat dan melestarikan budaya Melayu yang
ada ini,” ujarnya.
Ribuan jong ikut serta dalam Festival Jong 2019.
Saat disinggung tentang jumlah jumlah
jong yang ikut bertanding pada Festival Jong tahun 2019 ini, Hendriana Gustini
menjelaskan, bahwa jumlah jong-nya bertambah dibandingkan tahun kemarin.
“Festival Jong 2019 ini diikuti oleh 1.869 jong dan diperkirakan perlombaannya
akan menghabiskan waktu selama tiga hari. Belajar dari tahun kemarin yang
menghabiskan waktu tanding hingga lima hari, Dispora Kota Batam sudah menutup
pendaftaran pada H-7 festival. Jika tidak demikian, pada hari festival
dilaksanakan akan masih ada saja peserta baru yang mendaftar, sehingga panitia
akan kewalahan dari segi waktu untuk melayani para peserta baru ini,” bebernya.
Pada
tahun- tahun awal diadakannya Festival Jong ini, hanya memakan waktu satu hari
penuh agar semua peserta dapat ikut bertanding. Tahun berikutnya, satu hari
tidak dapat menampung semua pertandingan jong yang ada. Di tahun- tahun lalu
lalu malah Festival Jong ini pernah menghabiskan waktu lima hingga 6 hari penuh
karena animo para peserta balap jong yang tinggi. Nah, di tahun 2019 ini, Festival
Jong tetap dilaksanakan dalam waktu tiga hari, yakni dari tanggal 13 Maret
hingga 15 Maret 2019.
Di
Dalam Festival Jong ini, perlombaan jong sendiri dibagi menjadi empat kategori,
yakni kelas jong kecil dengan ukuran 1- 1,29 meter, jong sedang berukuran 1,3-
1,59 meter, jong besar 1,6- 1,9 meter, dan ada juga kelas jong untuk anak-
anak.
Sementara
untuk hadiah yang diperebutkan pada tahun ini sebesar Rp. 61 juta, dan
memperebutkan piala bergilir Walikota Batam yang tahun lalu dibawa pulang
oleh Persatuan Jong Teluk Dalam dari
Pulau Buru, Kabupaten Karimun, Kepri.
Jong yang bertanding tiba di garis finish.
Selain
perlombaannya, tentu saja layar jong yang berwarna- warni ini sangat menarik
sekali untuk dijadikan tempat berswafoto dan tentu saja instagramable. Tak
heran jika Festival Jong ini selalu ditunggu oleh kawula muda untuk sekedar
mengambil dokumentasi guna memperindah tampilan laman media sosial mereka.
Jika
kamu tertarik untuk melihat kemeriahan festival Jong ini, dari Bandar Udara
Hang Nadim Batam jaraknya sangat dekat. Keluar bandara kamu tinggal naik taxi
atau ojek ke arah Batubesar, Nongsa. Kamu tinggal bilang ke supir taksi atau
ojeknya mau ke Pantai Mak Dare di Kampung Melayu Batubesar untuk menyaksikan
Festival Jong. Perjalanan dari Bandar udara hanya menghabiskan waktu 10 menit
saja ke venue festival ini.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Ardiwinata menjelaskan, bahwa Festival
Jong ini sudah lama diangkat menjadi salah satu atraksi wisata andalan Kota
Batam. “Permainan rakyat ini sangat unik dan menarik, para wisatawan sangat
tertarik menyaksikan perahu yang dapat berjalan sendiri tanpa awak dan digerakan
sepenuhnya dengan angin. Ke depan kita tinggal mengemasnya dengan lebih baik
lagi dengan promosi yang lebih gencar dan lebih banyak,” ucapnya.
Ardiwinata tidak menampik adanya
beberapa kendala di dalam pelaksanaan Festival Jong di Kampung Melayu, Nongsa
ini. “Kendala kita lebih kepada cuaca di Batam, karena angin yang dibutuhkan
untuk menggerakan jong ini selalu berubah- ubah, sehingga dalam menetapkan hari
dan tanggal yang pasti guna pelaksanaan festival ini di tahun berikutnya tidak
dapat dipastikan. Namun tetap saja kita dapat memastikan bahwa festival ini
tetap dilaksanakan di dalam bulan Maret. Hal ini nanti akan kita dudukan
bersama dengan Dispora selaku user event
ini,” imbuhnya.
Wisatawan
berpose dengan jong.
Mengetahui tentang event ini, Buralimar
selaku Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepri juga berkomentar senada.” “Wisman
sangat suka dengan atraksi yang berbau tradisional ini, dan bukan hanya
perlombaannya saja yang dapat kita tonjolkan, namun kita dapat menjual cara
pembuatannya serta cara memainkannya. Jadi wisatawan tidak hanya menonton saja
secara pasif,” terangnya ketika dikonfirmasi.
“Jong
sendiri adalah ciri khas Kepri dan ada di beberapa daerah di Kepri ini. Karena
unik dan spesifik, event ini bagus sekali untuk menarik wisman crossborder,
terutama dari Malaysia dan Singapura,” jelasnya lebih lanjut.
Bams @2019
No comments:
Post a Comment