Tuesday, November 11, 2014

HARIMAU MENUNTUN JALAN KAMI

Catatan perjalanan
By : Bams Nektar

Jejak kaki itu masih baru, tercetak sangat jelas di tengah jalan setapak yang basah karena sisa hujan semalam, berukuran cukup besar, kira- kira selebar jengkal orang dewasa luasnya. Dengan kedalaman kira- kira sedalam dua ruas jari pada tanah basah, Aku mengira- ngira berapa besar dan beratnya makhluk yang meninggalkan jejak yang masih baru tersebut ?. Ya, jejak dengan cetakan kuku runcing tersebut adalah jejak Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang biasanya akrab disebut “Inyiak” atau “Ayek” oleh orang Minang, yang bersinonim dengan kata “Nenek” dalam Bahasa Indonesia.


Gn. Tandikat (kiri) dan Gn. Singgalang dilihat dari Gn. Marapi.


Kisah perjalanan ini di mulai beberapa tahun yang lalu, tepatnya 31 May 1997, di Gunung Tandikat atau disebut juga gunung Tandikek atau Tandikai yang membentang di dataran tinggi Minangkabau Sumatra Barat, kira – kira 7.5 km dari kota Padang Panjang, Gunung ini membentang lebar kearah selatan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Danau Maninjau, salah satu danau yang terkenal di Sumatera Barat. Sementara di sebelah utara gunung ini berdampingan dengan Gunung Singgalang, dan sebelah timur merupakan gugusan volcanic Tersier yang sudah tua.

Tandikat juga merupakan bagian dari 3 puncak gunung di Minangkabau yang dikenal dengan Puncak-puncak Tri Arga (yaitu Singgalang, Marapi dan Tandikat).

Di puncak Gn. Tandikat dengan background Gn. Singgalang.

Gunung Tandikat tidak terlalu tinggi, puncaknya mencapai 2.438 mdpl, dan mempunyai pemandangan yang sangat indah sebagaimana layaknya sebuah gunung api. Istimewanya di gunung ini, kita bisa turun ke dasar kawah gunung ini, di mana terdapat beberapa lubang kecil kepundan yang mengeluarkan asap belerang serta berbunyi menderu. Pada dasar kawah ini cukup luas dan bisa mendirikan tenda. Selain itu juga terdapat telaga kecil tapi airnya berasa belerang.

Di kawasan hutan lindung nya segala jenis hewan liar masih sangat mudah ditemui, rangkong, simpai dan siamang akan senantiasa menyertai perjalan mendaki gunung Tandikat, dan jika “beruntung”, Harimau Sumatera  (Panthera tigris sumatrae) yang saat ini diperkirakan berjumlah 400- 500 ekor, juga dapat kita jumpai.

Suatu Sabtu siang di 31 May 1997, dua orang pendaki yang tidak Saya kenal (Tomi dan Mora) datang ke tempat Saya kos di Kota Padang untuk meminjam perlengkapan mendaki atas rekomendasi teman pendaki lainnya,,, yang juga tidak Saya kenal, nah loohhh…

Namun karena sesama pendaki itu bersaudara, perlengkapannya Saya pinjamkan dengan catatan Saya boleh turut serta karena Saya juga belum pernah mendaki ke sana. Jadilah siang itu kami bertiga langsung berangkat ke target pendakian dari Kota Padang menggunakan bus ke  arah Kota Bukit Tinggi sekitar dua jam dan turun di Koto Baru. Dari simpang Koto Baru perjalanan dilanjutkan dengan menaiki oplet pedesaan sampai di titik awal pendakian.

Aku (kanan) dan Tomi.

Perjalanan yang kami lalui bertiga awalnya melalui kebun tebu dan setelah itu mengikuti jalan setapak pada selokan irigasi penduduk yang telah tersemenisasi. Lima belas menit setelah irigasi tersebut kami jumpai sebuah sungai dengan hamparan bebatuan yang hitam mengkilat. Di bebatuan tersebut kami istirahat untuk makan siang dengan nasi bungkus yang telah kami beli sebelumnya di Koto Baru. Makan siang ternikmat dengan ditemani alunanan gemerisik air sungai dan celoteh suara siamang di kejauhan.

Setelah makan siang perjalanan kami lanjutkan dengan memasuki hutan hujan Sumatera dengan jalur yang menanjak, berudak- undak dengan akar- akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Sinar Matahari sudah susah untuk menembus lebatnya pepohonan.

Di bibir kawah Gn. Tandikat.

Sekitar empat jam lamanya perjalanan kami tempuh, namun shelter untuk beristirahat belum juga kami jumpai. Sampai pada suatu tempat yang agak terbuka dengan dua cabang jalan yang kami sebut “Titik X”, cabang jalan ke kanan menurun, sedang cabang jalan ke kiri mendaki namun “sedikit” tertutup ranting pohon. Di percabangan jalan ini kami ragu, harus mengambil jalan ke kiri atau ke kanan ?. Setelah berdiskusi, akhirnya kami mengambil jalan ke kiri dengan menyingkirkan ranting pohon yang menutupi jalan tersebut, dengan pertimbangan bahwa, kita mendaki gunung pasti jalannya naik, bukan turun. Jalan ke  arah kiri naik, sedang ke  arah kanan menurun. Jadi,,, kami ke arah kiri…

Pendakian tersebut kami teruskan. Sayangnya, setelah gelap tiba dan kami perkirakan sudah tiga perempat perjalanan mendaki ke puncak, ternyata kami tersesat. Senja beranjak datang dan hari mulai gelap. Senterpun sebagai alat penerangan yang telah dipersiapkan sebelumnya tiba- tiba saja berulah tidak bisa menyala. Betul- betul tersesat tanpa ada jalan dan di sekeliling kami hanya ada gelapnya hutan belantara Sumatera tempat habitat Harimau Sumatera berada. 

Menuruni dinding kawah menuju dasar kawah Gn. Tandikat.

Kepanikan tentu saja melandaku, apalagi setelah Aku interogasi dua orang teman pendaki yang mengiringiku tersebut (Tomi dan Mora), ternyata juga baru pertama kali ini ke Tandikat…. Ya Salam…. (tepuk jidat geleng-geleng kepala).

Akhirnya kami putuskan untuk balik kanan, namun apa yang terjadi ? Jalan yang telah kami tempuh beberapa saat yang lalu sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanya bayangan pohon, gelap, dan pekik serak burung malam. Kami memutuskan untuk menerobos hutan belantara itu karena tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda dan beristirahat pada tempat semula yang banyak ditumbuhi semak belukar.


Salah satu titik sumber belerang di dinding kawah Gn. Tandikat.

Saat- saat menerobos hutan rimba yang rapat, tanah gembur yang apabila diinjak maka kaki terbenam sampai ke paha, ranting yang penuh onak berduri, tanpa bantuan cahaya, adalah saat- saat dramatis yang sulit untuk dilupakan. Perasaan takut, khawatir dan dekat dengan kematian dan mungkin sebentar lagi akan berjumpa dengan Tuhan, sulit untuk diabaikan.

Dalam perjalanan malam menembus hutan rimba itu kadang kami harus memutar ke sebelah kiri karena terbentur oleh semak yang sangat rapat. Kadang harus memutar kembali ke sebelah kanan jalur untuk menghindari “sesuatu” yang kami prediksi adalah sarang babi hutan atau mungkin sarang ular. Akhirnya perjalanan tersebut membentuk suatu jalur zig- zag yang malah lebih memusingkan kami.

Kadang kami terpaksa berhenti sebentar hanya untuk menarik nafas, minum sedikit persediaan air yang tersisa, saling menguatkan antara teman dengan kata- kata semangat dan membesarkan harapan. Kadang memang harus berhenti saat pakaian tersangkut duri rotan atau kulit kaki tertusuk duri. Jangan ditanya bagaimana rasanya…

Aku (kanan) dan Mora.

Tengah malam, tanpa penerangan tiba- tiba saja kami keluar dari lebatnya hutan dan semak berduri dan menjumpai area tanah yang agak lapang. Kemudian baru sama- sama kami sadari bahwa tempat tersebut adalah “Titik X”. Titik awal kami salah mengambil jalur ke  arah kiri. Seharusnya kami mengambil jalur menurun ke  arah kanan. Kelegaan langsung hinggap di dada. Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukan jalan keluar dari kesukaran. Kami putuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat di “Titik X” tersebut.

Kami bertiga di dasar kawah dengan tongsis (tongkat narsis) zaman batu :D

Pagi esok harinya, kami teruskan perjalanan, namun kali ini mengambil jalur kanan yang menurun. Kira- kira 5 menit kemudian kami jumpai mata air yang jernih dan camping ground yang lumayan luas di dekat mata air tersebut. Kami tertipu….. Setelah semalam camping di “Titik X” yang konturnya agak miring , padahal shelter yang datar dan berlimpah sumber airnya hanya berjarak sepelemparan batu dari “Titik X”.

Ada satu batu besar yang baru saja kami lewati dan beberapa saat kemudian jejak itu terlihat di tanah. Melihat dan menyentuh jejak Harimau di tanah basah, adalah pengalaman pertama bagiku. Setelah kami menyadari itu adalah jejak Harimau, kemudian kami serentak lari terbirit- birit sambil ngos- ngosan kea rah batu besar yang sebelumnya kami jumpai.

Kami beristirahat di batu besar itu sambil berdiskusi apakah perjalanan tersebut akan dilanjutkan atau langsung turun saja. Aku memaksa untuk melanjutkannya sambil membujuk kedua teman seperjalananku , bahwa Harimau itu hanya mau menunjukan jalan saja kepada kami karena semalam kami sudah tersesat di hutan. Akhirnya Tomi dan Mora mau melanjutkan perjalanan dengan syarat Aku di depan jadi leadernya, nah,,, loh,,, terpaksa kusetujui.

Disepanjang jalan, jejak Harimau itu kadang terlihat, kadang menghilang. Kadang kami jumpai berupa bekas cakaran di tanah dan kadang ada bekas cakaran di pohon- pohon di pinggir jalan setapak. Jejak tersebut berakhir di bibir kawah Gunung Tandikek pada titik kami harus menuruni dinding kawah untuk menuju dasar kawah.

Ini gunung yang luar biasa. Luar biasa karena kami dapat turun ke kawahnya. Luar biasa karena di dinding kawah yang kami lalui banyak mengeluarkan asap belerangnya. Luar biasa juga karena kami sempat tersesat di rimbanya dan lebih luar biasa lagi karena horror Harimaunya. Ini benar- benar gunung yang luar biasa.

Salam satu jiwa.

* * * *  *
Adrenalin kadang- kadang menjadi bumbu dalam suatu perjalanan, asal jangan menjadi “pemburu” adrenalin.

Semoga jiwamu tercerahkan.

Tulisan ini juga Saya dedikasikan untuk teman- teman sejalur yang sangat luar biasa di jalur Tandikek. Tomi dan Mora.

*B4MS*

* * * *  *

Bams mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT MENDAKI”


Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Artikel yang diadakan oleh cadventura.com untuk kategori CATATAN PERJALANAN. Tulisan ini juga dapat dibaca di cadventura.com – HARIMAU MENUNTUN JALAN KAMI 




BAMS2 photo BAMS2.jpg YULI2 photo OELIEL2.jpg ZAKI photo ZAKI.jpg RAIHAN photo RAIHAN.jpg RAKAN photo RAKAN.jpg KEENAN photo KEENAN.jpg

No comments:

Post a Comment