Catatan perjalanan
By : Bams Nektar
Gn. Tandikat (kiri) dan Gn.
Singgalang dilihat dari Gn. Marapi.
Kisah perjalanan ini
di mulai beberapa tahun yang lalu, tepatnya
31 May 1997, di Gunung Tandikat atau disebut juga gunung Tandikek atau Tandikai yang membentang di dataran tinggi
Minangkabau Sumatra Barat, kira – kira 7.5 km dari kota Padang Panjang,
Gunung ini membentang lebar kearah selatan, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Danau Maninjau, salah satu danau yang terkenal di Sumatera Barat.
Sementara di sebelah utara gunung ini berdampingan dengan Gunung Singgalang,
dan sebelah timur merupakan gugusan volcanic
Tersier yang sudah tua.
Tandikat juga merupakan bagian
dari 3 puncak gunung di Minangkabau yang dikenal dengan Puncak-puncak Tri Arga
(yaitu Singgalang, Marapi dan Tandikat).
Di puncak Gn. Tandikat dengan
background Gn. Singgalang.
Gunung
Tandikat tidak
terlalu tinggi, puncaknya mencapai 2.438 mdpl, dan mempunyai
pemandangan yang sangat indah sebagaimana layaknya sebuah gunung api.
Istimewanya di gunung ini, kita bisa turun ke dasar kawah gunung ini, di mana
terdapat beberapa lubang kecil kepundan yang mengeluarkan asap belerang serta
berbunyi menderu. Pada dasar kawah ini cukup luas dan bisa mendirikan tenda.
Selain itu juga terdapat telaga kecil tapi airnya berasa belerang.
Di kawasan hutan
lindung nya segala jenis hewan liar masih sangat mudah ditemui, rangkong,
simpai dan siamang akan senantiasa menyertai perjalan mendaki gunung Tandikat,
dan jika “beruntung”, Harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) yang saat ini diperkirakan berjumlah 400- 500 ekor,
juga dapat kita jumpai.
Suatu Sabtu siang di 31 May 1997,
dua orang pendaki yang tidak Saya kenal (Tomi dan Mora) datang ke tempat Saya
kos di Kota Padang untuk meminjam perlengkapan mendaki atas rekomendasi teman
pendaki lainnya,,, yang juga tidak Saya kenal, nah loohhh…
Namun
karena sesama pendaki itu bersaudara, perlengkapannya Saya pinjamkan dengan
catatan Saya boleh turut serta karena Saya juga belum pernah mendaki ke sana.
Jadilah siang itu kami bertiga langsung berangkat ke target pendakian dari Kota
Padang menggunakan bus ke arah Kota
Bukit Tinggi sekitar dua jam dan turun di Koto Baru. Dari simpang Koto Baru
perjalanan dilanjutkan dengan menaiki oplet pedesaan sampai di titik awal
pendakian.
Aku (kanan) dan Tomi.
Perjalanan
yang kami lalui bertiga awalnya melalui kebun tebu dan setelah itu mengikuti
jalan setapak pada selokan irigasi penduduk yang telah tersemenisasi. Lima
belas menit setelah irigasi tersebut kami jumpai sebuah sungai dengan hamparan
bebatuan yang hitam mengkilat. Di bebatuan tersebut kami istirahat untuk makan
siang dengan nasi bungkus yang telah kami beli sebelumnya di Koto Baru. Makan
siang ternikmat dengan ditemani alunanan gemerisik air sungai dan celoteh suara
siamang di kejauhan.
Setelah
makan siang perjalanan kami lanjutkan dengan memasuki hutan hujan Sumatera
dengan jalur yang menanjak, berudak- undak dengan akar- akar pohon yang
menyembul dari dalam tanah. Sinar Matahari sudah susah untuk menembus lebatnya
pepohonan.
Di bibir kawah Gn. Tandikat.
Sekitar
empat jam lamanya perjalanan kami tempuh, namun shelter untuk beristirahat
belum juga kami jumpai. Sampai pada suatu tempat yang agak terbuka dengan dua
cabang jalan yang kami sebut “Titik X”, cabang jalan ke kanan menurun, sedang
cabang jalan ke kiri mendaki namun “sedikit” tertutup ranting pohon. Di
percabangan jalan ini kami ragu, harus mengambil jalan ke kiri atau ke kanan ?.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami mengambil jalan ke kiri dengan menyingkirkan
ranting pohon yang menutupi jalan tersebut, dengan pertimbangan bahwa, kita
mendaki gunung pasti jalannya naik, bukan turun. Jalan ke arah kiri naik, sedang ke arah kanan menurun. Jadi,,, kami ke arah
kiri…
Pendakian tersebut kami teruskan. Sayangnya,
setelah gelap tiba dan kami perkirakan sudah tiga perempat perjalanan mendaki
ke puncak, ternyata kami tersesat. Senja beranjak datang dan hari mulai gelap. Senterpun
sebagai alat penerangan yang telah dipersiapkan sebelumnya tiba- tiba saja
berulah tidak bisa menyala. Betul- betul tersesat tanpa ada jalan dan di
sekeliling kami hanya ada gelapnya hutan belantara Sumatera tempat habitat
Harimau Sumatera berada.
Menuruni
dinding kawah menuju dasar kawah Gn. Tandikat.
Kepanikan tentu saja melandaku,
apalagi setelah Aku interogasi dua orang teman pendaki yang mengiringiku
tersebut (Tomi dan Mora), ternyata juga baru pertama kali ini ke Tandikat…. Ya
Salam…. (tepuk jidat geleng-geleng kepala).
Akhirnya kami putuskan untuk balik
kanan, namun apa yang terjadi ? Jalan yang telah kami tempuh beberapa saat yang
lalu sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanya bayangan pohon, gelap, dan pekik
serak burung malam. Kami memutuskan untuk menerobos hutan belantara itu karena
tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda dan beristirahat pada tempat semula
yang banyak ditumbuhi semak belukar.
Salah satu titik sumber belerang di dinding kawah
Gn. Tandikat.
Saat- saat menerobos hutan rimba
yang rapat, tanah gembur yang apabila diinjak maka kaki terbenam sampai ke
paha, ranting yang penuh onak berduri, tanpa bantuan cahaya, adalah saat- saat
dramatis yang sulit untuk dilupakan. Perasaan takut, khawatir dan dekat dengan
kematian dan mungkin sebentar lagi akan berjumpa dengan Tuhan, sulit untuk
diabaikan.
Dalam
perjalanan malam menembus hutan rimba itu kadang kami harus memutar ke sebelah
kiri karena terbentur oleh semak yang sangat rapat. Kadang harus memutar
kembali ke sebelah kanan jalur untuk menghindari “sesuatu” yang kami prediksi
adalah sarang babi hutan atau mungkin sarang ular. Akhirnya perjalanan tersebut
membentuk suatu jalur zig- zag yang malah lebih memusingkan kami.
Kadang kami terpaksa berhenti sebentar hanya
untuk menarik nafas, minum sedikit persediaan air yang tersisa, saling
menguatkan antara teman dengan kata- kata semangat dan membesarkan harapan.
Kadang memang harus berhenti saat pakaian tersangkut duri rotan atau kulit kaki
tertusuk duri. Jangan ditanya bagaimana rasanya…
Aku (kanan) dan Mora.
Tengah malam, tanpa
penerangan tiba- tiba saja kami keluar dari lebatnya hutan dan semak berduri
dan menjumpai area tanah yang agak lapang. Kemudian baru sama- sama kami sadari
bahwa tempat tersebut adalah “Titik X”. Titik awal kami salah mengambil jalur
ke arah kiri. Seharusnya kami mengambil
jalur menurun ke arah kanan. Kelegaan
langsung hinggap di dada. Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukan jalan
keluar dari kesukaran. Kami putuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat di
“Titik X” tersebut.
Kami bertiga di dasar kawah dengan
tongsis (tongkat narsis) zaman batu :D
Pagi
esok harinya, kami teruskan perjalanan, namun kali ini mengambil jalur kanan
yang menurun. Kira- kira 5 menit kemudian kami jumpai mata air yang jernih dan
camping ground yang lumayan luas di dekat mata air tersebut. Kami tertipu…..
Setelah semalam camping di “Titik X” yang konturnya agak miring , padahal
shelter yang datar dan berlimpah sumber airnya hanya berjarak sepelemparan batu
dari “Titik X”.
Ada
satu batu besar yang baru saja kami lewati dan beberapa saat kemudian jejak itu
terlihat di tanah. Melihat dan menyentuh jejak Harimau di tanah basah,
adalah pengalaman pertama bagiku. Setelah kami menyadari itu adalah jejak
Harimau, kemudian kami serentak lari terbirit- birit sambil ngos- ngosan kea
rah batu besar yang sebelumnya kami jumpai.
Kami
beristirahat di batu besar itu sambil berdiskusi apakah perjalanan tersebut
akan dilanjutkan atau langsung turun saja. Aku memaksa untuk melanjutkannya
sambil membujuk kedua teman seperjalananku , bahwa Harimau itu hanya mau
menunjukan jalan saja kepada kami karena semalam kami sudah tersesat di hutan.
Akhirnya Tomi dan Mora mau melanjutkan perjalanan dengan syarat Aku di depan
jadi leadernya, nah,,, loh,,, terpaksa kusetujui.
Disepanjang
jalan, jejak Harimau itu kadang terlihat, kadang menghilang. Kadang kami jumpai
berupa bekas cakaran di tanah dan kadang ada bekas cakaran di pohon- pohon di
pinggir jalan setapak. Jejak tersebut berakhir di bibir kawah Gunung Tandikek
pada titik kami harus menuruni dinding kawah untuk menuju dasar kawah.
Ini gunung
yang luar biasa. Luar biasa karena kami dapat turun ke kawahnya. Luar biasa
karena di dinding kawah yang kami lalui banyak mengeluarkan asap belerangnya.
Luar biasa juga karena kami sempat tersesat di rimbanya dan lebih luar biasa
lagi karena horror Harimaunya. Ini benar- benar gunung yang luar biasa.
Salam
satu jiwa.
* * * *
*
Adrenalin
kadang- kadang menjadi bumbu dalam suatu perjalanan, asal jangan menjadi
“pemburu” adrenalin.
Semoga
jiwamu tercerahkan.
Tulisan
ini juga Saya dedikasikan untuk teman- teman sejalur yang sangat luar biasa di jalur
Tandikek. Tomi dan Mora.
*B4MS*
* * * *
*
Bams
mengajak untuk :
“GUNAKAN HATI SAAT
MENDAKI”
Tulisan
ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Artikel yang diadakan oleh
cadventura.com untuk kategori CATATAN PERJALANAN. Tulisan ini juga dapat dibaca di cadventura.com – HARIMAU MENUNTUN JALAN KAMI
No comments:
Post a Comment