Rabu,
19 Maret 2014. Matahari sedang di ubun- ubun kepala. Pk. 12:10 Waktu Pendakian.
Di sinilah aku, duduk sendiri di pelataran luar kedatangan Bandara
Internasional Minang Kabau (BIM), Kota Padang, Sumatera Barat. Butuh kurang
lebih satu jam terbang dari Batam ke Padang ini dengan salah satu maskapai
nasional hanya untuk melepas “dahaga” akan sebuah pendakian. Ini adalah
perjalan seorang diri, mungkin perjalanan seorang diri yang untuk kesekian
kalinya harus aku lalui dalam lembaran hidup ini. Aku lebih suka menyebutnya
“perjalanan sanubari”.
Bandara Internasional
Minangkabau.
Inilah
nasib seorang pendaki yang bermukim di Pulau Batam, kota industry yang tidak
ada gunung di sana. Untuk sekedar mendakipun harus mengeluarkan budget ekstra untuk
transportasi dengan pesawat terbang atau menggunakan kapal cepat ke daerah
terdekat yang ada gunungnya. Uang sejumlah Rp. 349.800,- pun harus keluar dari
dalam dompet untuk mahar tiket pesawat tersebut.
Tak
lama kemudian, bus Damri angkutan bandara-pun datang. Aku bergegas naik sambil
membawa carrier kesayangan. Ini carrier terbaruku. Baru dipakai untuk
satu pendakian sebelumnya di gunung negeri tetangga, Malaysia. Yah, Batam
memang berbatasan langsung dengan Johor Bahru, Malaysia. Sesekali waktu, untuk
melepaskan “dahaga” pendakian aku kadang mendaki ke negeri tetangga tersebut.
Lumayan,,, tambah pengalaman dan tambah teman antar Negara.
Kondektur
bus-pun mendatangi aku untuk mengutip ongkos. Sejujurnya aku tidak tahu berapa
harga ongkos busnya. Aku hanya memberikan selembar uang Rp. 50.000,- dan
dikembalikan sebanyak Rp. 35.000,- . Oh, jadi ongkos bus hanya Rp. 15.000,-
rupanya. Sekalian juga aku berpesan ke kondektur untuk diturunkan di jalan raya
Lubuk Buaya, tepatnya di bawah jembatan layang arah Bandara. Yah, dari sana
nanti aku sudah harus mencari kendaraan lainnya ke arah Kota Bukit Tinggi yang
terkenal dengan Jam Gadang-nya, namun aku turun di Koto Baru, sebelum masuk ke
Kota Bukit Tinggi. Koto Baru adalah titik awal pendakian ke Gunung Marapi
(2.981 mdpl).
Matahari
mulai condong ke arah Barat. Pk. 12:40
Waktu Pendakian. Aku turun di Jalan Raya Lubuk Buaya, tidak perlu menunggu lama
untuk angkutan ke Kota Bukit Tinggi. Beberapa travel sudah menunggu di pinggir
jalan, mereka sudah paham betul bahwa ada beberapa penumpang yang membutuhkan
jasa mereka sehabis landing di Bandara. Sejak mulai turun dari bus tadi para
supir travel sudah meneriakan jurusan yang akan ditempuh oleh travel mereka.
Aku mendekati salah satu travel dan tanpa menunggu, sang supir membuka pintu
bagasi belakang travelnya untuk menyimpan carrier
di pundakku. Ini travel yang cukup menarik, mobil avanza yang dijadikan
travel.
Begitu
naik ke travelnya, si supir langsung memacu kendaraan tersebut menuju Kota
Bukit Tinggi. Tidak begitu banyak penumpangnya, hanya lima orang termasuk aku.
Sekali
lagi, ini adalah perjalanan sanubari. Jalanan ini pernah kutempuh terakhir kali
untuk pendakian di Tahun 1998. Artinya kini sudah berlalu 16 tahun lamanya.
Waktu yang cukup panjang untuk bernostalgia akan masa lalu.
Travel
melewati Pasar Kota Lubuk Alung, aku berusaha mengingat kembali rumah seorang
teman di pinggir jalan tersebut. Travel melewati Kota Sicincin, aku berusaha
mengingat kembali di rumah makan mana dulunya pernah singgah untuk makan ikan
bakar Sicincin yang terkenal lezatnya. Travel melewati Kota Kayu Tanam, kelebat
wajah seorang mantan kekasih tiba- tiba muncul di sini. Yah, ini kampungnya :D
. Travel melewati Lembah Anai dengan tempat wisata Air Terjun Lembah Anai-nya
di pinggir jalan sebelah kiri, alur sungai jernih di sisi kanan jalan, hijaunya
hutan hujan Sumatera dan pendakian yang curam sampai memasuki Kota Padang
Panjang. Outlet Sate Mak Sukur di sebelah kiri jalan tetap seperti 16 tahun
yang lalu, tetap menggoda selera…
Perlahan
aku me-review kembali peralatan yang sudah masuk ke dalam carrier. Tenda, sleeping bag,
peralatan memasak, survival kit, first
aid, tripod untuk kamera, sepertinya
sudah semua. Jangan sampai barang- barang itu ketinggalan. Ini pendakian
soloist (seorang diri), tanpa teman sebagai pendukung. Jika terjadi sesuatu
yang buruk nantinya di pendakian, paling tidak aku sudah memperlengkapi diri
peralatan dan barang- barang tersebut. Selebihnya ? Aku serahkan kepada Tuhan
dan takdir.
Dahulu
aku pernah melakukan pendakian soloist juga ke Gunung Marapi ini. Itu pada masa
kuliah di Kota Padang. Dua kali… Ya, dua kali soloist ke Marapi, dan ini adalah
kali ketiga. Setidaknya aku menyimpan sedikit memory tentang jalurnya, medan
pendakian dan cuacanya.
Matahari
tak terlihat karena kabut di Koto Baru. Pk. 15:05 Waktu Pendakian. Travel
berhenti di Pasar Koto Baru, aku turun di sana. Membayar ongkos Rp. 25.000,-
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling pasar. Masih pasar yang sama seperti 16
tahun yang lalu. Tidak ada perubahan…
Aku
beranjak menuju Warung Uncu, warung di mana dulunya aku sering makan malam saat
akan mendaki ke Gunung Marapi atau Gunung Singgalang. Namun ternyata warung
tersebut sudah tutup. Kosong… Hanya ini yang berubah di Koto Baru, tutupnya
Warung Uncu setelah 16 tahun lamanya tidak ke sini. Warung nasi lainnya sekitar
20 meter dari Warung Uncu, di sanalah aku membeli nasi bungkus untuk makan
malam nanti, biar tidak ribet.
Dan,
pendakian ini akhirnya dimulai. Mengikuti rel kereta api yang sudah tidak
terpakai, dan aku berusaha keras untuk mengingat jalan setapak di sebelah pemukiman penduduk
yang menuju ke atas, ke arah Tower
Marapi. Melewati perkebunan penduduk, di beberapa jalan baru yang telah terkena
semenisasi aku terpaksa harus bertanya kepada petani yang ada di pinggir jalan,
apakah jalan tersebut adalah jalan menuju tower? Soalnya jalan yang sudah
disemen lebar tersebut seingatku dahulu adalah jalan setapak tanah yang sempit
dengan semak belukar dahulunya. Ternyata benar, itu jalannya.
Matahari masih tidak terlihat, Pk. 16:50 Waktu
Pendakian, saat aku sampai di Tower Marapi. Ini adalah bangunan tower salah
satu relay dari operator telepon
selular. Ada beberapa warung dari bambu di depannya tempat pedagang berjualan
dan tempat pendaki meregistrasi kunjungannya. Aku mengisi buku tamu dan
membayar Rp. 5.000,- untuk uang registrasinya, dan melanjutkan perjalanan
kembali menuju Pos BKSDA. Untuk mencapai pos ini aku harus mengikuti jalan
berbatu yang membelah ladang penduduk. Luar biasa perubahannya. 16 Tahun yang
lalu, ladang- ladang ini belum ada, hanya semak belukar, lalu masuk ke hutan
petai liar, setelah itu memasuki hutan bambu.
Masih
segar dalam ingatanku, saat terakhir kali melakukan pendakian soloist ke Marapi
ini, di hutan bambu ini ada suara langkah kaki orang mengikuti perjalananku.
Saat dilihat ke belakang, tidak ada siapa- siapa. Saat aku jalan kembali, suara
itupun terdengar kembali, sayup- sayup namun jelas sekali terdengar di
kupingku. Saat kulihat ke belakang lagi, tetap tidak ada siapapun di sana. Aku
berhenti dan menduga- duga, siapa yang mengikutiku dari belakang ? Di dalam
hutan ??? Atau jangan- jangan ??? Pikiran buruk tentang makhluk astralpun
berkelebat. Cepat- cepat aku menepisnya. Aku memeriksa isi dalam carier,
mengguncang carrier tersebut, ternyata suara yang sama persis ada di dalam
carrier. Setelah kucermati lagi, ini dia sumber masalahnya, penempatan nesting
yang longgar bergesekan dengan pisau serba guna (multi blade) di sebelahnya. Sehingga menimbulkan suara- suara mirip
langkah kaki di atas ranting. Aku tertipu…
Pos
BKSDA, Matahari masih entah di mana. Pk. 17:45 Waktu Pendakian. Beristirahat
sejenak di sini, makan malam dan menyiapkan persediaan air untuk pendakian. Air
dapat diambil dari pipa air yang bocor yang mengalir ke arah tower. Pos ini batas akhir kebun
penduduk. Terbuat dari kayu dengan lebar sekitar 4 x 4 meter dengan model
panggung bercat hijau. Beberapa pendaki dari Kerinci, Jambi sudah ada di sana
mendirikan tenda. Mereka rencananya akan memulai pendakian esok hari. Sementara
beberapa pendaki dari Kota Bukit Tinggi sedang bercengkrama di Pos BKSDA.
Matahari
sudah menghilang. Gelap lebih cepat datang di sini. Pk. 19:00 Waktu Pendakian.
Langkah kaki pertamapun di mulai. Memasuki hutan hujan dengan jalan setapak
yang mendatar, menyeberangi sungai dalam di atas jembatan bambu, dan akhirnya
aku sampai di dataran yang dulunya pernah aku ingat sebagai tempat pendaki
beristirahat dengan gubuk- gubuk bambu di sekelilingnya. Tapi sekarang, gubuk
tersebut sudah tidak ada, digantikan oleh semak belukar.
Matahari
entah di mana saat aku melihat jam tangan Pk. 22:30 Waktu Pendakian. Aku rasa
sudah mencapai setengah perjalanan pendakian di jalur ini. Mungkin… Ya, mungkin
saja, karena semua yang terlihat hanyalah gelap. Beristirahat sendirian di
jalur pendakian dalam kegelapan malam adalah “sesuatu”. Kesunyian hanya ada di
dalam pikiran ku. Sendiri tak berarti sepi di Marapi ini. Masih ada kicau
burung malam yang menemani, desiran angin sepoi dan gemeretak patahan ranting
kayu yang terjatuh dari dahan ke Bumi adalah metafora lainnya dari simfoni.
16
Tahun yang lalu beristirahat sendiri di jalur Marapi ini dalam gelap malam juga
pernah aku lakoni. Bedanya saat itu adalah mendaki hanya dengan sebatang lilin
di tangan kerena senter yang aku bawa saat itu tiba- tiba bermasalah setelah
sesaat baru digunakan di pendakian tersebut, tiba- tiba tidak mau hidup.
Alhasil, lilin adalah satu- satunya alternatif pengganti penerangan. Saat duduk
melepas lelah di lebatnya hutan Sumatera ini dengan hanya berteman nyala
sebatang lilin, kisah hororpun muncul. Angin yang bertiup perlahan ikut
menggoyang nyala api di lilin. Api yang bergoyang menciptakan figur- figur aneh
bayangan yang bergerak di sela- sela pepohonan, dan pikiran malah jadi ikut
berimajinasi merekayasa bentuk- bentuk bayangan yang bergerak itu. Apakah yang
sedang bergerak itu berbentuk genderuwo ? Buto ijo ?? Atau kuntilanak ???
Hiiiiiii….. Daripada tersiksa dengan pikiran sendiri, lebih baik lilinnya
dimatikan saja. Gelap ternyata lebih baik.
Matahari
saat ini mungkin ada di balik bumi dan jika ditarik satu garis lurus, mungkin
berbanding lurus dengan telapak kakiku. Pk. 1:20 dinihari Waktu Pendakian.
Dinginnya mulai menusuk tulang saat aku menjejakan kaki di batas vegetasi
Marapi. Aku temukan sedikit lokasi dataran yang cukup untuk mendirikan satu
tenda. Di sinilah tempat peristirahatan sebelum memulai summit attack beberapa jam lagi. Berusaha untuk menutup mata,
sekedar untuk memulihkan tenaga yang terkuras selama enam jam belakangan.
Matahari
sudah mulai mengintip, langit Timur yang merona adalah tandanya. Kamis , 20
Maret 2014. Pk. 6:00 Waktu Pendakian. Setelah menghabiskan dua potong roti,
tujuh butir kurma dan segelas minuman berenergi, aku sudah memulai summit attack melewati batas vegetasi,
menanjak ke cadas yang mempunyai jalur zig- zag. Perlahan saja, toh tidak lari
gunung dikejar. Baru kusadari bahwa malam
tadi ada tenda pendaki lain di sekitar batas vegetasi Gunung Marapi ini.
Tenda tersebut terlihat dari cadas, di dirikan sedikit menjauh dari jalan
setapak menuju cadas. Tiga orang pendaki ada di sekitarnya.
Matahari
mulai berkedip di balik awan. Pk. 7:10 Waktu Pendakian. Aku akhirnya mencapai
Tugu Abel Tasman. Tugu untuk memperingati tewasnya seorang pendaki beberapa
puluh tahun yang lalu karena pada saat dia mendaki di Marapi ini, tiba- tiba
Marapi meletus pagi itu dan menghamburkan batu panas dari kawahnya yang menimpa
si Abel Tasman. Aku teringat kembali kronologis cerita itu yang kebetulan
diceritakan langsung oleh salah satu pendaki wanita saksi hidup kejadian itu
yang saat ini berdomisili di Batam. Bekas goresan lava pijar yang dihamburkan
oleh Marapi pagi itu di pipi kanan pendaki wanita itu adalah kenang- kenangan kisah
kejadian horror pagi itu. Tak terlupakan.
Dari
Tugu Abel hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit perjalanan menuju Puncak
Merpati, Puncak Tertinggi Gunung Marapi. Aku harus melewati lapangan pasir luas
seukuran tiga kali lapangan bola sebelumnya dan sampai di pinggir kawah Gunung
Marapi, baru kemudian memutar ke arah
kanan untuk naik ke Puncak Merpati. Di sebelah barat, lautan awan perlahan
menggumpal mengelilingi Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek di seberang sana,
membuat mata dimanjakan dengan pemandangan ini. Indonesia sangat indah. Ini
benar- benar sekeping tanah Surga. Singgalang seolah- olah menggodaku untuk
kembali mencumbunya seperti waktu lalu. Ya, 19 Tahun yang lalu, tepatnya Tahun
1995 double visit ini secara soloist pernah aku lakukan. Naik ke Gunung Marapi
sendirian, lalu turun dan langsung naik ke Gunung Singgalang juga masih
sendirian. Pengalaman yang tak terlupakan.
Tidak
terlalu lama di lokasi ini aku bergegas untuk turun, masih khawatir akan gas
beracun yang mungkin saja dilepaskan oleh kawah Marapi. Gunung ini masih sangat
aktif dan sulit diprediksi seperti kejadian pada Abel Tasman. Aku tidak mau ada
tambahan tugu peringatan di Marapi ini yang tertulis atas namaku.
Matahari
sepenggalan naik. Pk. 8:50 Waktu Pendakian. Tenda sudah dipacking ke dalam carrier dan perut sudah diisi lagi dengan beberapa
cemilan. Ini waktu untuk turun kembali ke lembah. Aku membersihkan area di
sekitar tendaku, mengumpulkan sampah yang ada, termasuk sampah- sampah yang
tercecer bekas pendaki lainnya untuk dibawa turun, agar gunung ini tetap
bersih, tetap lestari, tetap dapat dinikmati oleh pendaki lainnya di masa yang
akan datang. Perjalanan turun ini terasa sedikit menyiksa, sedikit nyeri di
lutut kanan menghambat kecepatan gerakku. Ternyata umur tidak bisa dibohongi :D
.
Saat
Matahari meninggi. Pk. 11:45 Waktu Pendakian. Aku berselisih jalan dengan para
pendaki dari Kerinci yang kemarin aku jumpai di Pos BKSDA. Kami bertegur sapa
dan ngobrol beberapa saat penuh keakraban, karena ternyata ada beberapa temanku
yang juga menjadi teman mereka rupanya.
Matahari
sudah di atas kepala. Pk. 13:15 Waktu Pendakian. Aku melaporkan diri di pos
pendaftaran di area tower, bahwa aku sudah turun dengan selamat dan langsung
turun kembali ke Pasar Koto Baru. Semalam saja di jalur Marapi sudah cukup
menimbulkan rasa kangen pada bakso atau soto dan segelas teh botol dingin di
lembah sana. 10 menit cukup untuk mencapai Koto Baru dengan ojek yang kebetulan
naik ke tower mengantarkan seorang petani. Cukup ditukar jasanya dengan
selembar Rp. 5.000,- .
Setelah
mengisi perut di Koto Baru, aku menyetop sebuah travel yang menuju ke Kota
Padang, dan terlelap di dalamnya untuk 2 jam kemudian. Kembali sepi di sini. Di
dalam mimpi pada Marapi.
Salam
satu jiwa
*
B4MS *
* * * *
*
Estimasi biaya pendakian :
Tiket
pesawat menuju Kota Padang : Fluktuatif, tergantung dari posisi kota
kedatangannya si pendaki dan tergantung pada musim (Liburan atau hari biasa).
Airport
tax : Tergantung pada bandara tempat dimulainya
penerbangan.
Logistik : Menyesuaikan kebutuhan dan selera untuk
pendakian 2 hari 1 malam.
Damri
Bandara Minang Kabau – Jln. Raya : Rp. 15.000,-
Jln.
Raya Lubuk Buaya – Koto Baru : Rp. 25.000,-
Koto
Baru – Tower : Rp. 5.000,-
Registrasi
di Tower : Rp. 5.000,-
Total : Rp. 50.000,- Sekali jalan. (Kalikan dua
untuk kembalinya ke Kota Padang).
* * * *
*
Estimasi Waktu Perjalanan & Pendakian :
Bandara
– Koto Baru : ± 2 jam (Dengan travel).
Koto
Baru – Tower Gn. Marapi : ± 1 -1,5 jam hiking.
Tower
Gn. Marapi – Pos BKSDA : ± 1 jam hiking.
Pos
BKSDA – Batas Vegetasi : ± 6 jam hiking.
Batas
Vegetasi – Tugu Abel Tasman : ± 1 jam hiking.
Tugu
Abel Tasman – Puncak Gn. Marapi : ± 20 – 30 menit.
* * * *
*
Tulisan
ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis "Pengalaman Mendaki Gunung" yang diadakan oleh pendakigunung.org dan meraih nominasi JUARA 1. Tulisan ini juga dapat di lihat di pendakigunung.org – SENDIRI TAK BERARTI SEPI DI MARAPI
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/webseries-lost-in-jakarta-serunya.html
ReplyDeletehttp://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/di-dunia-orang-indonesia-yang-paling.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/tak-disangka-ini-6-keuntungan.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/kurang-tidur-justru-menjauhkan-dari.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- Skype : Vip_Domino
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
- No Hp : +855-8173-4523